Kota dan Nama Jalan sebagai Etalase Sejarah
A
A
A
Sarkawi B Husain
Dosen “Sejarah Kota” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
dan penulis buku “Negara di Tengah Kota: Politik Representasi
dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)”
POLEMIK penamaan jalan yang akhir-akhir ini bergulir, baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya menarik untuk dicermati. Berbeda dengan Jakarta yang hendak mengganti nama Jalan Warung Buncit Raya di Jakarta Selatan dengan Jalan Jenderal Besar AH Nasution, dengan maksud menghormati jasa besar AH Nasution, tiga kota lainnya bermaksud untuk melakukan rekonsialiasi sejarah agar tidak ada lagi “dendam sejarah” yang diwariskan turun-temurun kepada generasi baru Jawa dan Sunda.
Terlepas dari keabsahan atas peristiwa Perang Bubat 661 tahun silam atau tahun 1357 Masehi, antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pasundan yang menjadi dasar rekonsiliasi itu, polemik sudah menjadi bola liar. Pertanyaannya adalah mengapa nama jalan menjadi begitu sensitif memicu polemik?
Dalam studi yang dilakukan oleh P J M Nas dan Freek Colombijn, nama jalan dikelompokkan ke dalam salah satu simbol politik kota. Menurut keduanya, studi tentang simbol kota menarik dan penting untuk dilakukan dengan tiga pertimbangan. Pertama, sebagian besar simbol menggunakan ruang fisik, misalnya monumen. Kedua, simbol-simbol berpengaruh terhadap penggunaan ruang lainnya, dan sebaliknya dipengaruhi oleh penggunaan ruang yang lain. Ketiga, dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan.
Nama jalan tentu bukan sekadar nama, tetapi dia merepresentasikan sesuatu, terutama yang berhubungan dengan sejarah. Dengan kata lain, nama jalan seperti juga simbol kota lainnya adalah “etalasi sejarah” dari sebuah kota. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau politik penamaan jalan menjadi hal yang sangat sensitif. Dan, hal ini pemerintah kadang-kadang kurang peka atas masalah ini.
Perjalanan sejarah Kota Surabaya misalnya, mengajarkan banyak hal bagaimana kontestasi masyarakat begitu besar atas penamaan jalan yang menurut mereka tidak berakar pada sejarah kota ini. Beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia misalnya, penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran.
Bahkan terdapat kecenderungan mengganti nama jalan tanpa memperhatikan sejarah dan ciri khas suatu tempat. Hal ini terutama terjadi pada masa DPR-GR. Pada masa itu ditetapkan nama-nama jalan seperti Jalan Patrice Lumumba, Yos Sudarso, Ade Irma Nasution, Jaksa Agung Suprapto, (dulu hampir bernama Letjen Suparman), Wali Kota Mustadjab, Basuki Rahmat, Samodra, dan lain-lain.
Pengantian nama jalan dilakukan karena nama jalan merupakan salah satu simbol yang menyimpan kenangan kolektif. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan semua kenangan itu dianggap perlu dihapus. Himpunan nama jalan perkotaan memadukan ruang dan waktu. Nama jalan menjadi waktu yang membeku di dalam kota. Ia adalah bayangan dan etos kota, serta melambangkan hakikatnya.
Nama-nama jalan yang berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang Indonesia, tetapi kenangan orang Belanda. Sebuah kenangan yang dipaksakan, yang sedikit sekali relevansinya bagi orang Indonesia yang menganggap masa kolonial sebagai semata-mata masa penghinaan oleh Belanda.
Oleh karena itu, dapat dipahami ketika Altingstraat diubah menjadi Jalan Trunodjoyo, Bothstraat menjadi Jalan Dr Wahidin, Carpentierstraat menjadi Jalan Untung Surapati, Coen Boulevard menjadi Jalan Raya Dr Sutomo, Daendelstraat diubah menjadi Jalan Imam Bonjol, van Heutzstraat diganti dengan nama musuhnya Teuku Umar. Perubahan nama-nama Belanda ini tidak hanya terjadi di Kota Surabaya, tetapi juga terjadi di sejumlah kota besar lainnya.
Di Kota Surabaya, penamaan jalan ini terjadi beberapa kali. Bataviaweg misalnya, sesudah proklamasi diubah menjadi Jalan Djakarta, tetapi pada tahun 1974 diubah lagi menjadi Jalan Sisingamangaraja sebagai “kompensasi” atas penolakan masyarakat dengan penggantian nama Jalan Jemursari menjadi Jalan Sisingamangaraja. Namun demikian, jika kita meminta abang becak atau ojek ke Jalan Sisingamangaraja hampir pasti dia tidak mengetahuinya. Tetapi jika kita meminta diantar ke Jalan Jakarta pasti mereka tahu.
Kasus lain misalnya adalah usul penggantian nama-nama jalan yang berbahasa Tionghoa pada tahun 1958. Pada tahun tersebut, Panitia Pekerjaan Umum Kotapradja Surabaya mengusulkan agar dilakukan perubahan nama-nama jalan seperti Jalan Peiping, Tjaipo, Topekong, dan Jalan Leong menjadi nama-nama Wali Songo. Realisasi atas usulan ini memakan waktu empat tahun.
Dengan pertimbangan DPRD Kotapradja Surabaya dan Dewan Pemerintah Daerah, usul ini tidak dapat dipenuhi. Akan tetapi, dalam rapatnya pada 13/10/1962, DPRD-GR menyetujui perubahan nama-nama jalan di komplek Topekong ini dengan komprom, yakni tidak mengganti dengan nama wali tetapi dengan nama komoditas dagang seperti Karet, Teh, Cokelat, dan lain-lain.
Kasus-kasus seperti contoh di atas banyak terjadi di Surabaya dan bisa jadi juga di kota-kota besar lainnya seperti Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar. Beberapa kasus tersebut menunjukkan simbol kota tidaklah sekadar simbol, tetapi menjadi salah satu ruang bagi berlangsungnya kompetisi antara berbagai kepentingan politik. Menurut Brenda S. A. Yeoh (1996), penamaan jalan tidak hanya berkaitan dengan arti nama-nama tempat, tetapi juga wujud dari perebutan sosial untuk kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan lingkungan kota.
Oleh karena itu, belajar dari berbagai kasus penolakan nama jalan baru yang digagas oleh pemerintah, alangkah baiknya jika pemerintah memperhatikan beberapa hal. Pertama, harus disadari betul bahwa nama jalan merupakan refleksi dan “etalase” perjalanan sejarah sebuah kota. Bagi sebagian masyarakat, mengubah nama jalan berarti mencabut akar sejarah sebuah kota. Kedua, dengan kesadaran tersebut maka pertimbangan dari berbagai aspek terutama aspek historis perlu mendapat perhatian serius agar niat baik untuk melakukan “rekonsiliasi sejarah” bisa tercapai.
Ketiga, pemerintah perlu memikirkan cara lain selain mengubah nama jalan sebagai cara untuk menyelesaikan “dendam sejarah“. Keempat, pemerintah propinsi sebaiknya menghormati ketentuan tentang prosedur penamaan jalan yang sudah diatur dalam peraturan daerah (Perda). Kelima, karena usulan nama jalan baru berada di wilayah kota, maka dialog dengan pemerintah kota menjadi hal yang wajib dilakukan. Terakhir, upaya berdamai dengan masa lalu dan “rekonsiliasi sejarah” wajib dilakukan, tapi jangan sampai upaya tersebut mewariksan “dendam sejarah” yang baru kepada generasi berikutnya.
Dosen “Sejarah Kota” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
dan penulis buku “Negara di Tengah Kota: Politik Representasi
dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)”
POLEMIK penamaan jalan yang akhir-akhir ini bergulir, baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya menarik untuk dicermati. Berbeda dengan Jakarta yang hendak mengganti nama Jalan Warung Buncit Raya di Jakarta Selatan dengan Jalan Jenderal Besar AH Nasution, dengan maksud menghormati jasa besar AH Nasution, tiga kota lainnya bermaksud untuk melakukan rekonsialiasi sejarah agar tidak ada lagi “dendam sejarah” yang diwariskan turun-temurun kepada generasi baru Jawa dan Sunda.
Terlepas dari keabsahan atas peristiwa Perang Bubat 661 tahun silam atau tahun 1357 Masehi, antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pasundan yang menjadi dasar rekonsiliasi itu, polemik sudah menjadi bola liar. Pertanyaannya adalah mengapa nama jalan menjadi begitu sensitif memicu polemik?
Dalam studi yang dilakukan oleh P J M Nas dan Freek Colombijn, nama jalan dikelompokkan ke dalam salah satu simbol politik kota. Menurut keduanya, studi tentang simbol kota menarik dan penting untuk dilakukan dengan tiga pertimbangan. Pertama, sebagian besar simbol menggunakan ruang fisik, misalnya monumen. Kedua, simbol-simbol berpengaruh terhadap penggunaan ruang lainnya, dan sebaliknya dipengaruhi oleh penggunaan ruang yang lain. Ketiga, dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan.
Nama jalan tentu bukan sekadar nama, tetapi dia merepresentasikan sesuatu, terutama yang berhubungan dengan sejarah. Dengan kata lain, nama jalan seperti juga simbol kota lainnya adalah “etalasi sejarah” dari sebuah kota. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau politik penamaan jalan menjadi hal yang sangat sensitif. Dan, hal ini pemerintah kadang-kadang kurang peka atas masalah ini.
Perjalanan sejarah Kota Surabaya misalnya, mengajarkan banyak hal bagaimana kontestasi masyarakat begitu besar atas penamaan jalan yang menurut mereka tidak berakar pada sejarah kota ini. Beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia misalnya, penghapusan nama-nama jalan yang berbahasa Belanda mulai dilakukan secara besar-besaran.
Bahkan terdapat kecenderungan mengganti nama jalan tanpa memperhatikan sejarah dan ciri khas suatu tempat. Hal ini terutama terjadi pada masa DPR-GR. Pada masa itu ditetapkan nama-nama jalan seperti Jalan Patrice Lumumba, Yos Sudarso, Ade Irma Nasution, Jaksa Agung Suprapto, (dulu hampir bernama Letjen Suparman), Wali Kota Mustadjab, Basuki Rahmat, Samodra, dan lain-lain.
Pengantian nama jalan dilakukan karena nama jalan merupakan salah satu simbol yang menyimpan kenangan kolektif. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan semua kenangan itu dianggap perlu dihapus. Himpunan nama jalan perkotaan memadukan ruang dan waktu. Nama jalan menjadi waktu yang membeku di dalam kota. Ia adalah bayangan dan etos kota, serta melambangkan hakikatnya.
Nama-nama jalan yang berbahasa Belanda dianggap sebagai bukan kenangan kolektif orang Indonesia, tetapi kenangan orang Belanda. Sebuah kenangan yang dipaksakan, yang sedikit sekali relevansinya bagi orang Indonesia yang menganggap masa kolonial sebagai semata-mata masa penghinaan oleh Belanda.
Oleh karena itu, dapat dipahami ketika Altingstraat diubah menjadi Jalan Trunodjoyo, Bothstraat menjadi Jalan Dr Wahidin, Carpentierstraat menjadi Jalan Untung Surapati, Coen Boulevard menjadi Jalan Raya Dr Sutomo, Daendelstraat diubah menjadi Jalan Imam Bonjol, van Heutzstraat diganti dengan nama musuhnya Teuku Umar. Perubahan nama-nama Belanda ini tidak hanya terjadi di Kota Surabaya, tetapi juga terjadi di sejumlah kota besar lainnya.
Di Kota Surabaya, penamaan jalan ini terjadi beberapa kali. Bataviaweg misalnya, sesudah proklamasi diubah menjadi Jalan Djakarta, tetapi pada tahun 1974 diubah lagi menjadi Jalan Sisingamangaraja sebagai “kompensasi” atas penolakan masyarakat dengan penggantian nama Jalan Jemursari menjadi Jalan Sisingamangaraja. Namun demikian, jika kita meminta abang becak atau ojek ke Jalan Sisingamangaraja hampir pasti dia tidak mengetahuinya. Tetapi jika kita meminta diantar ke Jalan Jakarta pasti mereka tahu.
Kasus lain misalnya adalah usul penggantian nama-nama jalan yang berbahasa Tionghoa pada tahun 1958. Pada tahun tersebut, Panitia Pekerjaan Umum Kotapradja Surabaya mengusulkan agar dilakukan perubahan nama-nama jalan seperti Jalan Peiping, Tjaipo, Topekong, dan Jalan Leong menjadi nama-nama Wali Songo. Realisasi atas usulan ini memakan waktu empat tahun.
Dengan pertimbangan DPRD Kotapradja Surabaya dan Dewan Pemerintah Daerah, usul ini tidak dapat dipenuhi. Akan tetapi, dalam rapatnya pada 13/10/1962, DPRD-GR menyetujui perubahan nama-nama jalan di komplek Topekong ini dengan komprom, yakni tidak mengganti dengan nama wali tetapi dengan nama komoditas dagang seperti Karet, Teh, Cokelat, dan lain-lain.
Kasus-kasus seperti contoh di atas banyak terjadi di Surabaya dan bisa jadi juga di kota-kota besar lainnya seperti Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar. Beberapa kasus tersebut menunjukkan simbol kota tidaklah sekadar simbol, tetapi menjadi salah satu ruang bagi berlangsungnya kompetisi antara berbagai kepentingan politik. Menurut Brenda S. A. Yeoh (1996), penamaan jalan tidak hanya berkaitan dengan arti nama-nama tempat, tetapi juga wujud dari perebutan sosial untuk kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan lingkungan kota.
Oleh karena itu, belajar dari berbagai kasus penolakan nama jalan baru yang digagas oleh pemerintah, alangkah baiknya jika pemerintah memperhatikan beberapa hal. Pertama, harus disadari betul bahwa nama jalan merupakan refleksi dan “etalase” perjalanan sejarah sebuah kota. Bagi sebagian masyarakat, mengubah nama jalan berarti mencabut akar sejarah sebuah kota. Kedua, dengan kesadaran tersebut maka pertimbangan dari berbagai aspek terutama aspek historis perlu mendapat perhatian serius agar niat baik untuk melakukan “rekonsiliasi sejarah” bisa tercapai.
Ketiga, pemerintah perlu memikirkan cara lain selain mengubah nama jalan sebagai cara untuk menyelesaikan “dendam sejarah“. Keempat, pemerintah propinsi sebaiknya menghormati ketentuan tentang prosedur penamaan jalan yang sudah diatur dalam peraturan daerah (Perda). Kelima, karena usulan nama jalan baru berada di wilayah kota, maka dialog dengan pemerintah kota menjadi hal yang wajib dilakukan. Terakhir, upaya berdamai dengan masa lalu dan “rekonsiliasi sejarah” wajib dilakukan, tapi jangan sampai upaya tersebut mewariksan “dendam sejarah” yang baru kepada generasi berikutnya.
(thm)