UU MD3 dan Akrobat Politik Jokowi
A
A
A
Muhammad Yahdi Salampessy
Dosen Fakultas Hukum Indonesia
UNDANG-UNDANG Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah resmi diberi nomor oleh pemerintah, yakni Undang-Undang No 2 Tahun 2018. Penomoran UU MD3 tersebut langsung menuai berbagai kecaman dari berbagai elemen masyarakat karena dinilai dapat mencederai demokrasi.
Sejumlah aksi penolakan atas UU MD3 ramai dilakukan di sejumlah daerah. Masyarakat ramai mencibir dan menyindir undang-undang tersebut melalui media sosial. Bahkan masyarakat juga menyebar petisi penolakan atas UU MD3.
Pada saat yang bersamaan, sudah ada permohonan uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga kini ada tiga pemohon uji materi UU MD3 yang teregister di MK. Ketiganya yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum Konstitusi (FKHK), dan pemohon perseorangan warna negara atas nama Zico Leonard Djagardo dan Joshua Satria Collins.
Akibat Hukum Penolakan Presiden
Kontroversi UU MD3 mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menandatangani UU tersebut. Padahal UU MD3 tersebut telah dibahas bersama antara DPR dan pemerintah serta telah mendapatkan persetujuan bersama. Persetujuan bersama itu menjadi penanda UU MD3 telah disepakati dan diterima dengan segala materi muatan yang terkandung di dalamnya.
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Selanjutnya Pasal 20 ayat (4) mengatur presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Merujuk pada Pasal 20 ayat (2) dan (4) UUD 1945 tersebut, pemerintah yang dipimpin Presiden seakan mengamini seluruh ketentuan pasal yang ada di dalam UU MD3. Lalu kenapa hingga detik-detik terakhir Presiden mengambil sikap menolak untuk menandatangani UU MD3?
Padahal mengacu pada Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), sebuah RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Menjadi pertanyaan adalah, apakah tidak ditandatanganinya sebuah RUU membawa dampak hukum yang berarti terhadap RUU tersebut? Jawabannya tidak. Tidak adanya tanda tangan Presiden tidak membawa dampak hukum apa pun karena pada saat sebuah RUU sudah disepakati bersama oleh DPR dan Presiden, secara otomatis berarti Presiden dianggap telah setuju terhadap seluruh ketentuan pasal yang terkandung dalam undang-undang tersebut.
Akrobat Politik Jokowi
Sikap Presiden yang tidak menandatangani UU MD3 sesungguhnya menghadirkan sejumlah pertanyaan. Apakah ini merupakan akrobat politik Presiden Jokowi di tahun politik? Presiden seolah tidak ingin kehilangan muka dan dukungan publik di tengah maraknya dan gencarnya kritik terhadap UU MD3.
Kendati secara politik sikap Presiden dapat dipahami, secara hukum apa yang dilakukan Presiden tersebut menciptakan sebuah anomali hukum. Dalam logika sederhana, Presiden dengan jelas mengetahui dan terlibat dalam proes pembuatan UU MD3 dari awal sampai akhir pembahasan sampai undang-undang tersebut pada akhirnya mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Jika Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tidak setuju dengan materi muatan yang terkandung dalam revisi UU MD3, seharusnya penolakan Presiden dilakukan dalam fase pembahasan dan/ atau persetujuan bersama DPR. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan secara etis hukum ketika suatu RUU yang sudah mendapatkan persetujuan bersama dalam sidang, kemudian tidak ditandatangani atau tidak disahkan Presiden.
Sikap “menolak” yang saat ini dilakukan Presiden terkesan bak pahlawan kesiangan karena toh nasi telah menjadi bubur. UU MD3 telah disahkan dan tidak adanya tanda tangan dari Presiden tidak berarti apa-apa.
Fenomena tersebut juga dapat ditangkap sebagai indikasi buruknya komunikasi antara Presiden dan pejabat yang ditunjuk untuk membahas UU MD3 bersama DPR pada saat sidang.
Pertaruhan di 2019
Polemik UU MD3 bagai sebuah panggung pertunjukan dan pemerintah terkesan memainkan dua peran. Demi menyelamatkan muka pemerintah di hadapan publik, Presiden kemudian mengambil langkah untuk tidak mengesahkan UU MD3 dalam bentuk tidak membubuhkan tanda tangannya.
Menghadapi tahun politik di 2019 nanti disinyalir kuat menjadi alasan Jokowi untuk mendapatkan apresiasi publik. Elektabilitas Jokowi tentu harus dijaga dan dikawal.
Bagai panggung sandiwara, Jokowi terlihat enggan untuk berhadapan langsung dengan publik sehingga mengambil sikap seolah menolak UU MD3. Padahal, dalam kacamata Pasal 20, ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan UU P3, sebuah undang-undang tidak akan disahkan tanpa adanya persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden.
Di sisi yang lain, terlihat Presiden juga tidak ingin melakukan perang terbuka dengan DPR. Hal ini setidaknya terlihat dari pilihan Presiden yang tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merevisi dan/atu menghapus beberapa ketentuan Pasal dalam UU MD3 yang dinilai mencederai hak konstitusional warga negara.
Fakta di atas menunjukkan Presiden tidak serius dan sepenuh hati menolak UU MD3. Presiden terlihat sungkan head to head dengan kepentingan partai yang begitu dominan dalam UU MD3.
Penerbitan perppu juga disinyalir dapat memunculkan suatu kegaduhan hukum, tetapi perppu juga dipandang sebagai sikap tegas Presiden Jokowi dalam menolak sebagian Pasal UU MD3 yang sangat arogan.
Penerbitan perppu dapat dianggap sebagai cara Pemerintah untuk mencari jalan tengah dan cepat untuk mengatasi polemik UU MD3, walau tetap harus melalui persetujuan DPR jika ingin diterima sebagai Undang-Undang. Tidak pasti, tapi cukup untuk menunjukkan keseriusan Presiden untuk mengatasi persoalan atas hadirnya UU MD3.
Hal ini pernah dilakukan Presiden SBY ketika menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Berkaca dari sikap SBY itu, harusnya perppu bisa menjadi salah satu pilihan guna menegakkan demokrasi di Bumi Pertiwi.
Perppu bisa menjadi salah satu cara bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menyikapi UU MD3 yang begitu menyita perhatian publik. Namun pemerintah melalui Presiden Jokowi harus menimbang dan berhitung dengan cepat dan cermat apakah mengambil sikap menerbitkan perppu atau tetap bertahan untuk tidak menerbitkan perppu selain mengusulkan agar publik mengajukan uji materi UU MD3 ke MK.
Apa pun pilihan finalnya nanti, publik berharap ini bukan bagian dari skenario dan akrobat politik menuju Pilpres 2019.
Dosen Fakultas Hukum Indonesia
UNDANG-UNDANG Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah resmi diberi nomor oleh pemerintah, yakni Undang-Undang No 2 Tahun 2018. Penomoran UU MD3 tersebut langsung menuai berbagai kecaman dari berbagai elemen masyarakat karena dinilai dapat mencederai demokrasi.
Sejumlah aksi penolakan atas UU MD3 ramai dilakukan di sejumlah daerah. Masyarakat ramai mencibir dan menyindir undang-undang tersebut melalui media sosial. Bahkan masyarakat juga menyebar petisi penolakan atas UU MD3.
Pada saat yang bersamaan, sudah ada permohonan uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga kini ada tiga pemohon uji materi UU MD3 yang teregister di MK. Ketiganya yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum Konstitusi (FKHK), dan pemohon perseorangan warna negara atas nama Zico Leonard Djagardo dan Joshua Satria Collins.
Akibat Hukum Penolakan Presiden
Kontroversi UU MD3 mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menandatangani UU tersebut. Padahal UU MD3 tersebut telah dibahas bersama antara DPR dan pemerintah serta telah mendapatkan persetujuan bersama. Persetujuan bersama itu menjadi penanda UU MD3 telah disepakati dan diterima dengan segala materi muatan yang terkandung di dalamnya.
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Selanjutnya Pasal 20 ayat (4) mengatur presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Merujuk pada Pasal 20 ayat (2) dan (4) UUD 1945 tersebut, pemerintah yang dipimpin Presiden seakan mengamini seluruh ketentuan pasal yang ada di dalam UU MD3. Lalu kenapa hingga detik-detik terakhir Presiden mengambil sikap menolak untuk menandatangani UU MD3?
Padahal mengacu pada Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), sebuah RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Menjadi pertanyaan adalah, apakah tidak ditandatanganinya sebuah RUU membawa dampak hukum yang berarti terhadap RUU tersebut? Jawabannya tidak. Tidak adanya tanda tangan Presiden tidak membawa dampak hukum apa pun karena pada saat sebuah RUU sudah disepakati bersama oleh DPR dan Presiden, secara otomatis berarti Presiden dianggap telah setuju terhadap seluruh ketentuan pasal yang terkandung dalam undang-undang tersebut.
Akrobat Politik Jokowi
Sikap Presiden yang tidak menandatangani UU MD3 sesungguhnya menghadirkan sejumlah pertanyaan. Apakah ini merupakan akrobat politik Presiden Jokowi di tahun politik? Presiden seolah tidak ingin kehilangan muka dan dukungan publik di tengah maraknya dan gencarnya kritik terhadap UU MD3.
Kendati secara politik sikap Presiden dapat dipahami, secara hukum apa yang dilakukan Presiden tersebut menciptakan sebuah anomali hukum. Dalam logika sederhana, Presiden dengan jelas mengetahui dan terlibat dalam proes pembuatan UU MD3 dari awal sampai akhir pembahasan sampai undang-undang tersebut pada akhirnya mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Jika Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tidak setuju dengan materi muatan yang terkandung dalam revisi UU MD3, seharusnya penolakan Presiden dilakukan dalam fase pembahasan dan/ atau persetujuan bersama DPR. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan secara etis hukum ketika suatu RUU yang sudah mendapatkan persetujuan bersama dalam sidang, kemudian tidak ditandatangani atau tidak disahkan Presiden.
Sikap “menolak” yang saat ini dilakukan Presiden terkesan bak pahlawan kesiangan karena toh nasi telah menjadi bubur. UU MD3 telah disahkan dan tidak adanya tanda tangan dari Presiden tidak berarti apa-apa.
Fenomena tersebut juga dapat ditangkap sebagai indikasi buruknya komunikasi antara Presiden dan pejabat yang ditunjuk untuk membahas UU MD3 bersama DPR pada saat sidang.
Pertaruhan di 2019
Polemik UU MD3 bagai sebuah panggung pertunjukan dan pemerintah terkesan memainkan dua peran. Demi menyelamatkan muka pemerintah di hadapan publik, Presiden kemudian mengambil langkah untuk tidak mengesahkan UU MD3 dalam bentuk tidak membubuhkan tanda tangannya.
Menghadapi tahun politik di 2019 nanti disinyalir kuat menjadi alasan Jokowi untuk mendapatkan apresiasi publik. Elektabilitas Jokowi tentu harus dijaga dan dikawal.
Bagai panggung sandiwara, Jokowi terlihat enggan untuk berhadapan langsung dengan publik sehingga mengambil sikap seolah menolak UU MD3. Padahal, dalam kacamata Pasal 20, ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan UU P3, sebuah undang-undang tidak akan disahkan tanpa adanya persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden.
Di sisi yang lain, terlihat Presiden juga tidak ingin melakukan perang terbuka dengan DPR. Hal ini setidaknya terlihat dari pilihan Presiden yang tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merevisi dan/atu menghapus beberapa ketentuan Pasal dalam UU MD3 yang dinilai mencederai hak konstitusional warga negara.
Fakta di atas menunjukkan Presiden tidak serius dan sepenuh hati menolak UU MD3. Presiden terlihat sungkan head to head dengan kepentingan partai yang begitu dominan dalam UU MD3.
Penerbitan perppu juga disinyalir dapat memunculkan suatu kegaduhan hukum, tetapi perppu juga dipandang sebagai sikap tegas Presiden Jokowi dalam menolak sebagian Pasal UU MD3 yang sangat arogan.
Penerbitan perppu dapat dianggap sebagai cara Pemerintah untuk mencari jalan tengah dan cepat untuk mengatasi polemik UU MD3, walau tetap harus melalui persetujuan DPR jika ingin diterima sebagai Undang-Undang. Tidak pasti, tapi cukup untuk menunjukkan keseriusan Presiden untuk mengatasi persoalan atas hadirnya UU MD3.
Hal ini pernah dilakukan Presiden SBY ketika menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Berkaca dari sikap SBY itu, harusnya perppu bisa menjadi salah satu pilihan guna menegakkan demokrasi di Bumi Pertiwi.
Perppu bisa menjadi salah satu cara bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dalam menyikapi UU MD3 yang begitu menyita perhatian publik. Namun pemerintah melalui Presiden Jokowi harus menimbang dan berhitung dengan cepat dan cermat apakah mengambil sikap menerbitkan perppu atau tetap bertahan untuk tidak menerbitkan perppu selain mengusulkan agar publik mengajukan uji materi UU MD3 ke MK.
Apa pun pilihan finalnya nanti, publik berharap ini bukan bagian dari skenario dan akrobat politik menuju Pilpres 2019.
(whb)