Refleksi Hari Perempuan dan Hari Ginjal Sedunia

Kamis, 08 Maret 2018 - 08:35 WIB
Refleksi Hari Perempuan dan Hari Ginjal Sedunia
Refleksi Hari Perempuan dan Hari Ginjal Sedunia
A A A
Djoko Santoso
Guru Besar Penyakit Dalam FK Unair


Sungguh istimewa Kamis (8/3) ini. Hari itu di­per­ingati sebagai Hari Pe­rem­pu­an Internasional sekaligus Ha­ri Ginjal Sedunia. Karena k­e­ber­samaan itulah, tema Hari Gin­jal Sedunia kali ini adalah Kid­ney and Women's Health: In­clude, Value, and Empower (Gi­n­jal dan Kesehatan Perempuan: Me­libatkan, Menghargai, dan Mem­berdayakan). Inilah m­omen­t­um penting peduli kaum perempuan sekaligus peduli ke­se­hatan ginjal mereka.

Khalayak diharapkan ber­usa­ha untuk lebih memahami as­­pek khas penyakit ginjal pada pe­rempuan sehingga bisa diha­rap­kan untuk memperkuat pe­n­­e­rapan pembelajaran ini se­ca­ra lebih luas. Bagaimanapun, kaum perempuan adalah ibu ge­ne­rasi. Kesehatan mereka sa­ngat berpengaruh pada ke­se­hat­an umat manusia.

Seperti sudah diketahui, gin­jal merupakan organ yang me­nakjubkan. Bentuknya ha­nya setara sepasang kepalan tangan, tapi fungsinya sangat luar bia­sa untuk menjaga tubuh dari ra­cun yang lewat darah. Ketika gin­jal terganggu akan sangat fa­tal bagi kehidupan tubuh, se­ring menyebabkan kematian le­wat kesakitan yang panjang. Ang­ka fatalitas penyakit ginjal ini bahkan masuk dalam 20 pe­nye­bab kematian terbesar da­lam skala dunia.

Selain itu dari segi pem­bia­ya­an, khususnya penanganan di­alisis atau cuci darah, di In­do­ne­sia telah menguras biaya BPJS. Pada 2017 disebutkan sam­pai Rp1,3 triliun, urutan k­e­em­pat dalam penyakit ka­ta­s­tro­­pik setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Bah­kan, tahun sebelumnya di urut­an pertama, menghabiskan Rp2,59 triliun, disusul kanker Rp2,35 triliun. Pasien gagal gin­jal bisa cuci darah 2-3 kali ­de­ngan biaya setidaknya sekitar Rp1 juta sekali datang.

Tentu di antara penderita pe­nyakit ginjal itu banyak kaum pe­rempuan. Kesehatan ginjal pe­rempuan sendiri mengikuti kod­rat tubuh perempuan apa ada­nya. Ini sesuai yang dit­a­k­dir­kan untuk berperan pen­ting ter­­utama dalam rang­kaian ren­tang hi­dupnya sebelum, se­­la­ma, dan setelah (pem­­­buahan dan k­e­­hamilan). Kon­­­disi ter­se­but ha­­­rus ber­adap­ta­si dalam ke­di­na­mis­­­an dan akan me­n­­­jadi le­bih ren­­­tan pada pe­rem­­­puan k­e­lom­­­­pok ter­mar­­gi­­­n­­alkan di ham­­­­pir seluruh be­­­lahan dunia, ter­­m­­asuk Indonesia.

Lantas ba­gai­ma­­na pe­n­je­las­­an hu­bung­annya keduanya hing­­­­ga pantas menjadi tema khu­­sus kesehatan ginjal perem­­pu­­an, selain memang itu ber­­sa­­ma­an dengan Hari Pe­rem­pu­an Internasional?

Penjelasan pertama, dirajut da­ri sisi jumlah, bahwa anak pe­rem­puan dan perempuan se­ca­ra alamiah memberikan ko­n­tr­i­bu­si sekitar 50% populasi du­nia. Angka di Indonesia, setiap 100 penduduk perempuan ada 101 laki-laki (BPS, 2014). Kaum perempuan sungguh unik de­ngan kekhasan hormon dan fi­sik­nya hingga memungkinkan ber­p­­eran dalam peristiwa ke­la­hir­an, mengasuh anak, dan ber­kon­tribusi besar untuk pem­ba­ngun­an kesehatan keluarga dan ma­syarakat tentunya.

Kekhasan hormon ber­pe­luang besar terjadinya ke­ke­rap­­an munculnya penyakit au­to­­imun atau sistem kekebalan tu­buh yang berbalik me­nye­rang or­gan dalam tubuh. Salah sa­tu tar­getnya adalah ter­se­rang­nya gin­jal, seperti yang terjadi pada pe­nyakit lupus. Unit penyaring di­ ginjal men­jadi rusak sehingga gin­jal gagal ber­fungsi. Kejadian dan ting­kat keparahannya bisa sa­­ngat ting­gi pada gender pe­rem­­pu­an. Hal ini tidak terlepas da­­ri pro­ses interaksi kompleks hor­­­mon perempuan dengan kod­­­­rat genetiknya. Ukuran ure­­tra yang lebih pendek ju­ga men­ja­­dikan pe­rem­pu­an berisiko le­bih ting­gi ter­pa­par infeksi ginjal.

Beban kesehatan ma­sya­ra­kat juga dapat menambah pe­ning­katan morbiditas (ke­sa­kit­an) dan mortalitas (kematian) di kalangan perempuan sepa­n­jang masa kehidupan de­wa­sa­nya. Kondisi nyata banyak pe­rem­puan belum mendapatkan ke­adilan dalam berbagai urusan hi­dup (bias gender). Salah sa­tu­nya akses terhadap pendidikan dan perawatan medis begitu ti­dak adilnya bagi perempuan. Le­bih khusus, untuk urusan ber­­bagai penelitian pun mereka te­tap kurang terwakili sehingga mem­b­atasi bukti sebagai lan­das­an rekomendasi untuk me­m­a­s­tikan hasil terbaik. Dengan de­mikian, populasi kaum pe­rem­puan pun paralel dengan jum­lah masalah yang be­r­pe­luang terjadi dalam kesehatan gin­jal, tak terkecuali Indonesia.

Penjelasan kedua, aspek ke­ha­milan dari kebanyakan pe­rem­puan yang merupakan pe­ris­tiwa penting kehidupannya. Ke­hamilan berdampak selain pa­da kesehatan secara umum, ju­ga besar kemungkinan ber­dam­pak pada kesehatan ginjal itu sendiri. Dampaknya bisa lang­sung menyebabkan cedera gi­n­jal akut pada perempuan usia subur. Kondisi ini umu­m­nya dikenal istilah pre-eklampsi ber­dampak ke ginjal. Selain itu, dam­paknya dapat me­nye­bab­kan penyakit ginjal kronik juga mem­percepat pengembangan pe­nyakitnya sendiri hingga bisa me­nuju ke penyakit ginjal sta­dium akhir, sekaligus me­ru­pa­kan penyebab utama gagal gi­n­jal akut dan kematian ibu.

Selanjutnya, pre-eklampsi di­kaitkan dengan "bayi kecil" (bo­­bot di bawah normal), yang be­ri­siko terkena diabetes, sin­drom metabolik, penyakit ka­r­di­o­­vaskular, dan penyakit gin­jal kro­nis saat mereka menuju de­­wa­sa kelak. Dampak ikutan lain se­perti munculnya kasus kem­a­ti­an bayi dalam periode ke­­ha­mil­an atau dalam waktu mak­­si­mal sebulan pascaper­sa­lin­an, ke­guguran, kelahiran ba­y­i mati da­ri dalam kan­dung­an atau sem­ing­gu setelah la­hir, ba­yi be­rat badan lahir ren­dah, ke­­ca­cat­an bayi, atau ber­kem­­bang­nya pe­nyakit imu­no­lo­gi se­lama pe­rio­de kehamilan hing­­ga bisa meninggal.

Penjelasan ketiga, dalam kon­teks lebih dulu ayam atau te­lur juga berlaku pada kehamilan dan penyakit ginjal kronis. Kon­disi ini pun akan memberikan efek negatif pada kehamilan itu sen­diri sesuai tingkatannya se­ka­ligus memberikan pe­ning­kat­an risiko buruk dari per­kem­bang­an penyakit ginjal kronis pas­capersalinan. Karena itu, ada dilema etika pada seputar kon­sepsi dan pemeliharaan ke­ha­milan. Keadaan ini me­ru­pa­kan dampak lanjutan yang lebih jauh. Bisa jadi bayi dikorbankan de­mi proteksi ginjal ibu yang su­dah terganggu sebelumnya. Atau si ibu harus rela gugur demi ke­berlangsungan hidup ba­yi­nya ketika ginjal ibu rusak parah se­lama mengantarkan umur ke­la­hiran sang bayi.

Yang keempat, penjelasan di luar sifat biologis perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini, ak­ses terhadap terapi peng­gan­ti umumnya sangat tidak adil. Ini perlu menjadi perhatian uta­ma karena mereka dirugikan oleh kondisi diskriminasi yang su­dah mengakar bahkan me­lem­baga dalam sosiokultural. Ke­mungkinan inilah yang men­je­laskan bahwa laki-laki dila­por­kan lebih mungkin me­ne­ri­ma dialisis daripada per­em­pu­an. Perempuan juga cenderung ter­daftar pada daftar tunggu trans­plantasi dan menunggu le­b­ih lama dari inisiasi dialisis ke daf­tar tunggu. Contoh lain, pe­rem­puan lebih cenderung me­nyum­bangkan ginjal untuk trans­plantasi daripada me­ne­ri­ma ginjal di berbagai negara. Hal ini dikuatkan dengan penelitian di India yang melaporkan bah­wa dari 682 penerima ginjal, yang menerima ginjal sebanyak 606 orang (88,9%) adalah laki-laki dan yang menerima ginjal cang­kok sebanyak 76 orang (11,1 %) adalah wanita.

Dari analisis tersebut, pe­rem­puan jelas sangat memiliki ri­siko unik untuk penyakit gin­jal dan masalah yang berkaitan de­ngan akses layanan ke­se­hat­an. Advokasi untuk mem­per­baiki akses layanan kesehatan ba­gi perempuan sangat penting da­lam menjaga kesehatan ke­luar­ga, masyarakat, dan popu­la­si. Dibutuhkan kesadaran, me­tode praktis dalam men­diag­nosis, dan pengelolaan yang te­pat terhadap penyakit ginjal kro­­nis pada perempuan, khu­sus­nya saat hamil dan kondisi khu­s­us terkait penyakit au­to­imun. Adanya perbedaan jenis ke­lamin dalam urusan rang­kai­an perawatan. Penyakit ginjal kro­nis adalah risiko nyata yang di­hadapi khususnya para pe­rem­puan atau ibu.

Mari peduli kaum ibu, mari pe­­­du­li pada kesehatannya. De­­mi ke­se­hatan generasi umat manusia.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4071 seconds (0.1#10.140)