Refleksi Hari Perempuan dan Hari Ginjal Sedunia
A
A
A
Djoko Santoso
Guru Besar Penyakit Dalam FK Unair
Sungguh istimewa Kamis (8/3) ini. Hari itu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional sekaligus Hari Ginjal Sedunia. Karena kebersamaan itulah, tema Hari Ginjal Sedunia kali ini adalah Kidney and Women's Health: Include, Value, and Empower (Ginjal dan Kesehatan Perempuan: Melibatkan, Menghargai, dan Memberdayakan). Inilah momentum penting peduli kaum perempuan sekaligus peduli kesehatan ginjal mereka.
Khalayak diharapkan berusaha untuk lebih memahami aspek khas penyakit ginjal pada perempuan sehingga bisa diharapkan untuk memperkuat penerapan pembelajaran ini secara lebih luas. Bagaimanapun, kaum perempuan adalah ibu generasi. Kesehatan mereka sangat berpengaruh pada kesehatan umat manusia.
Seperti sudah diketahui, ginjal merupakan organ yang menakjubkan. Bentuknya hanya setara sepasang kepalan tangan, tapi fungsinya sangat luar biasa untuk menjaga tubuh dari racun yang lewat darah. Ketika ginjal terganggu akan sangat fatal bagi kehidupan tubuh, sering menyebabkan kematian lewat kesakitan yang panjang. Angka fatalitas penyakit ginjal ini bahkan masuk dalam 20 penyebab kematian terbesar dalam skala dunia.
Selain itu dari segi pembiayaan, khususnya penanganan dialisis atau cuci darah, di Indonesia telah menguras biaya BPJS. Pada 2017 disebutkan sampai Rp1,3 triliun, urutan keempat dalam penyakit katastropik setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Bahkan, tahun sebelumnya di urutan pertama, menghabiskan Rp2,59 triliun, disusul kanker Rp2,35 triliun. Pasien gagal ginjal bisa cuci darah 2-3 kali dengan biaya setidaknya sekitar Rp1 juta sekali datang.
Tentu di antara penderita penyakit ginjal itu banyak kaum perempuan. Kesehatan ginjal perempuan sendiri mengikuti kodrat tubuh perempuan apa adanya. Ini sesuai yang ditakdirkan untuk berperan penting terutama dalam rangkaian rentang hidupnya sebelum, selama, dan setelah (pembuahan dan kehamilan). Kondisi tersebut harus beradaptasi dalam kedinamisan dan akan menjadi lebih rentan pada perempuan kelompok termarginalkan di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Lantas bagaimana penjelasan hubungannya keduanya hingga pantas menjadi tema khusus kesehatan ginjal perempuan, selain memang itu bersamaan dengan Hari Perempuan Internasional?
Penjelasan pertama, dirajut dari sisi jumlah, bahwa anak perempuan dan perempuan secara alamiah memberikan kontribusi sekitar 50% populasi dunia. Angka di Indonesia, setiap 100 penduduk perempuan ada 101 laki-laki (BPS, 2014). Kaum perempuan sungguh unik dengan kekhasan hormon dan fisiknya hingga memungkinkan berperan dalam peristiwa kelahiran, mengasuh anak, dan berkontribusi besar untuk pembangunan kesehatan keluarga dan masyarakat tentunya.
Kekhasan hormon berpeluang besar terjadinya kekerapan munculnya penyakit autoimun atau sistem kekebalan tubuh yang berbalik menyerang organ dalam tubuh. Salah satu targetnya adalah terserangnya ginjal, seperti yang terjadi pada penyakit lupus. Unit penyaring di ginjal menjadi rusak sehingga ginjal gagal berfungsi. Kejadian dan tingkat keparahannya bisa sangat tinggi pada gender perempuan. Hal ini tidak terlepas dari proses interaksi kompleks hormon perempuan dengan kodrat genetiknya. Ukuran uretra yang lebih pendek juga menjadikan perempuan berisiko lebih tinggi terpapar infeksi ginjal.
Beban kesehatan masyarakat juga dapat menambah peningkatan morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) di kalangan perempuan sepanjang masa kehidupan dewasanya. Kondisi nyata banyak perempuan belum mendapatkan keadilan dalam berbagai urusan hidup (bias gender). Salah satunya akses terhadap pendidikan dan perawatan medis begitu tidak adilnya bagi perempuan. Lebih khusus, untuk urusan berbagai penelitian pun mereka tetap kurang terwakili sehingga membatasi bukti sebagai landasan rekomendasi untuk memastikan hasil terbaik. Dengan demikian, populasi kaum perempuan pun paralel dengan jumlah masalah yang berpeluang terjadi dalam kesehatan ginjal, tak terkecuali Indonesia.
Penjelasan kedua, aspek kehamilan dari kebanyakan perempuan yang merupakan peristiwa penting kehidupannya. Kehamilan berdampak selain pada kesehatan secara umum, juga besar kemungkinan berdampak pada kesehatan ginjal itu sendiri. Dampaknya bisa langsung menyebabkan cedera ginjal akut pada perempuan usia subur. Kondisi ini umumnya dikenal istilah pre-eklampsi berdampak ke ginjal. Selain itu, dampaknya dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik juga mempercepat pengembangan penyakitnya sendiri hingga bisa menuju ke penyakit ginjal stadium akhir, sekaligus merupakan penyebab utama gagal ginjal akut dan kematian ibu.
Selanjutnya, pre-eklampsi dikaitkan dengan "bayi kecil" (bobot di bawah normal), yang berisiko terkena diabetes, sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, dan penyakit ginjal kronis saat mereka menuju dewasa kelak. Dampak ikutan lain seperti munculnya kasus kematian bayi dalam periode kehamilan atau dalam waktu maksimal sebulan pascapersalinan, keguguran, kelahiran bayi mati dari dalam kandungan atau seminggu setelah lahir, bayi berat badan lahir rendah, kecacatan bayi, atau berkembangnya penyakit imunologi selama periode kehamilan hingga bisa meninggal.
Penjelasan ketiga, dalam konteks lebih dulu ayam atau telur juga berlaku pada kehamilan dan penyakit ginjal kronis. Kondisi ini pun akan memberikan efek negatif pada kehamilan itu sendiri sesuai tingkatannya sekaligus memberikan peningkatan risiko buruk dari perkembangan penyakit ginjal kronis pascapersalinan. Karena itu, ada dilema etika pada seputar konsepsi dan pemeliharaan kehamilan. Keadaan ini merupakan dampak lanjutan yang lebih jauh. Bisa jadi bayi dikorbankan demi proteksi ginjal ibu yang sudah terganggu sebelumnya. Atau si ibu harus rela gugur demi keberlangsungan hidup bayinya ketika ginjal ibu rusak parah selama mengantarkan umur kelahiran sang bayi.
Yang keempat, penjelasan di luar sifat biologis perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini, akses terhadap terapi pengganti umumnya sangat tidak adil. Ini perlu menjadi perhatian utama karena mereka dirugikan oleh kondisi diskriminasi yang sudah mengakar bahkan melembaga dalam sosiokultural. Kemungkinan inilah yang menjelaskan bahwa laki-laki dilaporkan lebih mungkin menerima dialisis daripada perempuan. Perempuan juga cenderung terdaftar pada daftar tunggu transplantasi dan menunggu lebih lama dari inisiasi dialisis ke daftar tunggu. Contoh lain, perempuan lebih cenderung menyumbangkan ginjal untuk transplantasi daripada menerima ginjal di berbagai negara. Hal ini dikuatkan dengan penelitian di India yang melaporkan bahwa dari 682 penerima ginjal, yang menerima ginjal sebanyak 606 orang (88,9%) adalah laki-laki dan yang menerima ginjal cangkok sebanyak 76 orang (11,1 %) adalah wanita.
Dari analisis tersebut, perempuan jelas sangat memiliki risiko unik untuk penyakit ginjal dan masalah yang berkaitan dengan akses layanan kesehatan. Advokasi untuk memperbaiki akses layanan kesehatan bagi perempuan sangat penting dalam menjaga kesehatan keluarga, masyarakat, dan populasi. Dibutuhkan kesadaran, metode praktis dalam mendiagnosis, dan pengelolaan yang tepat terhadap penyakit ginjal kronis pada perempuan, khususnya saat hamil dan kondisi khusus terkait penyakit autoimun. Adanya perbedaan jenis kelamin dalam urusan rangkaian perawatan. Penyakit ginjal kronis adalah risiko nyata yang dihadapi khususnya para perempuan atau ibu.
Mari peduli kaum ibu, mari peduli pada kesehatannya. Demi kesehatan generasi umat manusia.
Guru Besar Penyakit Dalam FK Unair
Sungguh istimewa Kamis (8/3) ini. Hari itu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional sekaligus Hari Ginjal Sedunia. Karena kebersamaan itulah, tema Hari Ginjal Sedunia kali ini adalah Kidney and Women's Health: Include, Value, and Empower (Ginjal dan Kesehatan Perempuan: Melibatkan, Menghargai, dan Memberdayakan). Inilah momentum penting peduli kaum perempuan sekaligus peduli kesehatan ginjal mereka.
Khalayak diharapkan berusaha untuk lebih memahami aspek khas penyakit ginjal pada perempuan sehingga bisa diharapkan untuk memperkuat penerapan pembelajaran ini secara lebih luas. Bagaimanapun, kaum perempuan adalah ibu generasi. Kesehatan mereka sangat berpengaruh pada kesehatan umat manusia.
Seperti sudah diketahui, ginjal merupakan organ yang menakjubkan. Bentuknya hanya setara sepasang kepalan tangan, tapi fungsinya sangat luar biasa untuk menjaga tubuh dari racun yang lewat darah. Ketika ginjal terganggu akan sangat fatal bagi kehidupan tubuh, sering menyebabkan kematian lewat kesakitan yang panjang. Angka fatalitas penyakit ginjal ini bahkan masuk dalam 20 penyebab kematian terbesar dalam skala dunia.
Selain itu dari segi pembiayaan, khususnya penanganan dialisis atau cuci darah, di Indonesia telah menguras biaya BPJS. Pada 2017 disebutkan sampai Rp1,3 triliun, urutan keempat dalam penyakit katastropik setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke. Bahkan, tahun sebelumnya di urutan pertama, menghabiskan Rp2,59 triliun, disusul kanker Rp2,35 triliun. Pasien gagal ginjal bisa cuci darah 2-3 kali dengan biaya setidaknya sekitar Rp1 juta sekali datang.
Tentu di antara penderita penyakit ginjal itu banyak kaum perempuan. Kesehatan ginjal perempuan sendiri mengikuti kodrat tubuh perempuan apa adanya. Ini sesuai yang ditakdirkan untuk berperan penting terutama dalam rangkaian rentang hidupnya sebelum, selama, dan setelah (pembuahan dan kehamilan). Kondisi tersebut harus beradaptasi dalam kedinamisan dan akan menjadi lebih rentan pada perempuan kelompok termarginalkan di hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Lantas bagaimana penjelasan hubungannya keduanya hingga pantas menjadi tema khusus kesehatan ginjal perempuan, selain memang itu bersamaan dengan Hari Perempuan Internasional?
Penjelasan pertama, dirajut dari sisi jumlah, bahwa anak perempuan dan perempuan secara alamiah memberikan kontribusi sekitar 50% populasi dunia. Angka di Indonesia, setiap 100 penduduk perempuan ada 101 laki-laki (BPS, 2014). Kaum perempuan sungguh unik dengan kekhasan hormon dan fisiknya hingga memungkinkan berperan dalam peristiwa kelahiran, mengasuh anak, dan berkontribusi besar untuk pembangunan kesehatan keluarga dan masyarakat tentunya.
Kekhasan hormon berpeluang besar terjadinya kekerapan munculnya penyakit autoimun atau sistem kekebalan tubuh yang berbalik menyerang organ dalam tubuh. Salah satu targetnya adalah terserangnya ginjal, seperti yang terjadi pada penyakit lupus. Unit penyaring di ginjal menjadi rusak sehingga ginjal gagal berfungsi. Kejadian dan tingkat keparahannya bisa sangat tinggi pada gender perempuan. Hal ini tidak terlepas dari proses interaksi kompleks hormon perempuan dengan kodrat genetiknya. Ukuran uretra yang lebih pendek juga menjadikan perempuan berisiko lebih tinggi terpapar infeksi ginjal.
Beban kesehatan masyarakat juga dapat menambah peningkatan morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) di kalangan perempuan sepanjang masa kehidupan dewasanya. Kondisi nyata banyak perempuan belum mendapatkan keadilan dalam berbagai urusan hidup (bias gender). Salah satunya akses terhadap pendidikan dan perawatan medis begitu tidak adilnya bagi perempuan. Lebih khusus, untuk urusan berbagai penelitian pun mereka tetap kurang terwakili sehingga membatasi bukti sebagai landasan rekomendasi untuk memastikan hasil terbaik. Dengan demikian, populasi kaum perempuan pun paralel dengan jumlah masalah yang berpeluang terjadi dalam kesehatan ginjal, tak terkecuali Indonesia.
Penjelasan kedua, aspek kehamilan dari kebanyakan perempuan yang merupakan peristiwa penting kehidupannya. Kehamilan berdampak selain pada kesehatan secara umum, juga besar kemungkinan berdampak pada kesehatan ginjal itu sendiri. Dampaknya bisa langsung menyebabkan cedera ginjal akut pada perempuan usia subur. Kondisi ini umumnya dikenal istilah pre-eklampsi berdampak ke ginjal. Selain itu, dampaknya dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik juga mempercepat pengembangan penyakitnya sendiri hingga bisa menuju ke penyakit ginjal stadium akhir, sekaligus merupakan penyebab utama gagal ginjal akut dan kematian ibu.
Selanjutnya, pre-eklampsi dikaitkan dengan "bayi kecil" (bobot di bawah normal), yang berisiko terkena diabetes, sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, dan penyakit ginjal kronis saat mereka menuju dewasa kelak. Dampak ikutan lain seperti munculnya kasus kematian bayi dalam periode kehamilan atau dalam waktu maksimal sebulan pascapersalinan, keguguran, kelahiran bayi mati dari dalam kandungan atau seminggu setelah lahir, bayi berat badan lahir rendah, kecacatan bayi, atau berkembangnya penyakit imunologi selama periode kehamilan hingga bisa meninggal.
Penjelasan ketiga, dalam konteks lebih dulu ayam atau telur juga berlaku pada kehamilan dan penyakit ginjal kronis. Kondisi ini pun akan memberikan efek negatif pada kehamilan itu sendiri sesuai tingkatannya sekaligus memberikan peningkatan risiko buruk dari perkembangan penyakit ginjal kronis pascapersalinan. Karena itu, ada dilema etika pada seputar konsepsi dan pemeliharaan kehamilan. Keadaan ini merupakan dampak lanjutan yang lebih jauh. Bisa jadi bayi dikorbankan demi proteksi ginjal ibu yang sudah terganggu sebelumnya. Atau si ibu harus rela gugur demi keberlangsungan hidup bayinya ketika ginjal ibu rusak parah selama mengantarkan umur kelahiran sang bayi.
Yang keempat, penjelasan di luar sifat biologis perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini, akses terhadap terapi pengganti umumnya sangat tidak adil. Ini perlu menjadi perhatian utama karena mereka dirugikan oleh kondisi diskriminasi yang sudah mengakar bahkan melembaga dalam sosiokultural. Kemungkinan inilah yang menjelaskan bahwa laki-laki dilaporkan lebih mungkin menerima dialisis daripada perempuan. Perempuan juga cenderung terdaftar pada daftar tunggu transplantasi dan menunggu lebih lama dari inisiasi dialisis ke daftar tunggu. Contoh lain, perempuan lebih cenderung menyumbangkan ginjal untuk transplantasi daripada menerima ginjal di berbagai negara. Hal ini dikuatkan dengan penelitian di India yang melaporkan bahwa dari 682 penerima ginjal, yang menerima ginjal sebanyak 606 orang (88,9%) adalah laki-laki dan yang menerima ginjal cangkok sebanyak 76 orang (11,1 %) adalah wanita.
Dari analisis tersebut, perempuan jelas sangat memiliki risiko unik untuk penyakit ginjal dan masalah yang berkaitan dengan akses layanan kesehatan. Advokasi untuk memperbaiki akses layanan kesehatan bagi perempuan sangat penting dalam menjaga kesehatan keluarga, masyarakat, dan populasi. Dibutuhkan kesadaran, metode praktis dalam mendiagnosis, dan pengelolaan yang tepat terhadap penyakit ginjal kronis pada perempuan, khususnya saat hamil dan kondisi khusus terkait penyakit autoimun. Adanya perbedaan jenis kelamin dalam urusan rangkaian perawatan. Penyakit ginjal kronis adalah risiko nyata yang dihadapi khususnya para perempuan atau ibu.
Mari peduli kaum ibu, mari peduli pada kesehatannya. Demi kesehatan generasi umat manusia.
(zik)