Bercadar di Kampus
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Tiada maksud memihak siapa pun dalam urusan bercadar. Sejujurnya, kita prihatin atas munculnya kembali isu bercadar. Terlebih, isu ini berasal dari salah satu universitas negeri Islam ternama di Yogyakarta. Isu sedemikian seksi dan sensitif ini telah berkembang luas. Disadari atau tidak, isu ini telah mencoreng muka umat Islam sendiri. Masalahnya bisa menjadi genting, apabila kebijakan larangan bercadar itu merembet ke perguruan tinggi lain. Isu yang bersifat lokal-universitas bisa berkembang menjadi isu nasional. Ini sangat tidak sehat dan perlu segera diredam.
Berbagi pemikiran tentang bercadar merupakan cara bagus memahami isu yang tergolong "abu-abu" atau multitafsir ini. Dengan cara demikian diharapkan ada feedback dan titik temu atas berbagai pemikiran yang berbeda-beda. Secara dialektika, ketika ada tesis bahwa bercadar di kampus itu salah dan karenanya dilarang, maka dipastikan ada antitesis bahwa bercadar di kampus itu boleh, bahkan wajib hukumnya. Ketika tesis dihadapkan dengan antitesis, tidak semestinya berlanjut menjadi konfrontasi dan penihilan satu pihak atas pihak lainnya. Perlu sikap bijak, intelektual-akademik, dan berwawasan sosial-kebangsaan agar didapatkan sintesis yang diterima bersama. Kehidupan sosial-kebangsaan akan menjadi nyaman ketika proses dialektika telah membudaya.
Cadar adalah kain penutup wajah muslimah sebagai kesatuan dari jilbab (hijab). Bercadar adalah cara berpakaian untuk menutupi aurat. Di dalam Islam tidak ada mazhab mana pun mengharamkan muslimah bercadar. Menutup aurat itu hukumnya wajib. Aurat perempuan adalah seluruh anggota badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Aurat itu wajib ditutup, disembunyikan, dan haram orang bukan mahram melihatnya. Inilah substansi yang perlu dipahami.
Dalam konteks bercadar di ruang sosial-kebangsaan (misal: di kampus), sangat mungkin muncul riak-riak sebagai implikasinya. Riak-riak itu bisa positif. Misal, diterimanya banyak pihak sehingga bercadar membudaya. Akan tetapi, riak-riak itu bisa pula negatif, antara lain munculnya sikap sinis, curiga, bahkan dituduh sebagai bibit radikalisme. Sudah tentu amat berbahaya bila riak-riak itu sebagai isu pinggiran dibiarkan berkembang liar, liberal, tanpa ada upaya pengendalian diri, dan tanpa ada upaya meminimalisasi agar kenyamanan kehidupan sosial-kebangsaan tak ternodai.
Bercadar itu sehat dan indah. Sehat dalam keutuhannya mencakup: sehat rohani, jasmani, dan sosial. Perempuan bercadar dapat dikatakan sehat rohani bila dilakukan atas dasar keimanan, pengamalan ajaran agama Islam, serta sebagai bentuk kepatuhan pada Allah SWT dan rasul-Nya. Bercadar dilakukan dengan niat dan kesadaran semata-mata demi ridha Allah SWT. Bercadar demikian menjadi indah karena merupakan pancaran indahnya keimanan dalam hati nurani. Ketika hati nurani sehat, maka sikap, perilaku, dan amalan apa pun akan sehat dan indah.
Berbeda halnya bila bercadar dengan niat lain. Misal, untuk menunjukkan identitas diri sebagai penganut mazhab, golongan, dan kelompok tertentu. Seiring dengan itu, kemudian bersikap eksklusif. Apalagi menolak pergaulan dengan manusia lain. Bercadar dengan motivasi demikian, tergolong sesat, tidak sehat, berpenyakit, dan mengganggu lingkungan.
Dimensi sosial-kebangsaan amat penting diperhatikan dalam bercadar. Sebagai makhluk sosial, setiap muslim-muslimah harus dapat ajur-ajer, tepa-salira, empan-papan, dan mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara luwes. Bangsa Indonesia amat majemuk dalam soal sosial-keagamaan. Niat baik bercadar tidak mesti dapat dipahami sebagai kebaikan semua pihak. Dalam keterbatasan ilmu dan wawasan, ada penguasa, tokoh agama, anggota masyarakat yang suudzon, termakan isu-isu pinggiran, terjebak riak-riak pemakaian cadar, dan lalai terhadap substansinya.
Gara-gara isu larangan bercadar, masyarakat luas kini seakan terperangkap di dalam sebuah “turbulensi religius”, yakni kesimpangsiuran pemahaman tentang ajaran bercadar. Benar atau salah perihal bercadar, diaduk-aduk, diseret ke sana-kemari, dan tiada jelas muaranya. Turbulensi religius muncul ketika agama dihilangkan nilai-nilai kesakralannya. Dogma-dogma agama dianggap tidak ada lagi. Semua orang boleh tampil sebagai "ahli agama". Dalam konteks sosial-kebangsaan, agama ditempatkan di koridor sekulerisme. Mereka intervensi, mendekonstruksi, bahkan mempermainkan dalil-dalil agama untuk kepentingan-kepentingan duniawi semata. Permainan-permainan politik dengan objek-objek institusi agama–seperti cadar–dilakukan sedemikian intens melalui pendayagunaan media. Media mainstream (televisi, koran, radio), maupun media sosial (WhatsApp, FaceBook, Twitter, dan lainnya) menjadi alat-alat permainan canggih untuk memorak-porandakan stabilitas masyarakat penggunanya.
Dalam kondisi demikian, penting diingat pernyataan JF Lyotard dalam Just Game (1990) bahwa keputusan apa pun yang dikenakan pada perempuan bercadar akan dikontaminasikan oleh kepentingan politik. Bercadar di kampus dibolehkan ataukah dilarang merupakan sikap politik, bukan sikap keagamaan. Karenanya, sikap sabar dan tawakal pada umat Islam perlu diperluas dengan pemahaman tentang turbulensi religius dan permainan-permainan politik itu.
Sungguh bagus bila penguasa, tokoh agama, maupun perempuan bercadar mampu menjauhkan diri dari sikap arogan ataupun antagonis. Kedepankan sikap intelektual-akademis, religius, dan berwawasan sosial-kebangsaan. Jangan sok Islami, jangan sok moderat, dan jangan sok berkuasa. Kembalilah ke tuntunan Islam secara kaffah.
Isu dan polemik bercadar sebenarnya sudah basi. Tak perlu diangkat lagi. Islam adalah agama rahmatan lilalamin. Dari padanya terpancar kesejukan, cahaya cerah, dan keindahan bagi semua pihak. Polemik bercadar akan lenyap ketika umat Islam sehat dan cerdas dalam berinteraksi di ruang sosial-kebangsaan. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Tiada maksud memihak siapa pun dalam urusan bercadar. Sejujurnya, kita prihatin atas munculnya kembali isu bercadar. Terlebih, isu ini berasal dari salah satu universitas negeri Islam ternama di Yogyakarta. Isu sedemikian seksi dan sensitif ini telah berkembang luas. Disadari atau tidak, isu ini telah mencoreng muka umat Islam sendiri. Masalahnya bisa menjadi genting, apabila kebijakan larangan bercadar itu merembet ke perguruan tinggi lain. Isu yang bersifat lokal-universitas bisa berkembang menjadi isu nasional. Ini sangat tidak sehat dan perlu segera diredam.
Berbagi pemikiran tentang bercadar merupakan cara bagus memahami isu yang tergolong "abu-abu" atau multitafsir ini. Dengan cara demikian diharapkan ada feedback dan titik temu atas berbagai pemikiran yang berbeda-beda. Secara dialektika, ketika ada tesis bahwa bercadar di kampus itu salah dan karenanya dilarang, maka dipastikan ada antitesis bahwa bercadar di kampus itu boleh, bahkan wajib hukumnya. Ketika tesis dihadapkan dengan antitesis, tidak semestinya berlanjut menjadi konfrontasi dan penihilan satu pihak atas pihak lainnya. Perlu sikap bijak, intelektual-akademik, dan berwawasan sosial-kebangsaan agar didapatkan sintesis yang diterima bersama. Kehidupan sosial-kebangsaan akan menjadi nyaman ketika proses dialektika telah membudaya.
Cadar adalah kain penutup wajah muslimah sebagai kesatuan dari jilbab (hijab). Bercadar adalah cara berpakaian untuk menutupi aurat. Di dalam Islam tidak ada mazhab mana pun mengharamkan muslimah bercadar. Menutup aurat itu hukumnya wajib. Aurat perempuan adalah seluruh anggota badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Aurat itu wajib ditutup, disembunyikan, dan haram orang bukan mahram melihatnya. Inilah substansi yang perlu dipahami.
Dalam konteks bercadar di ruang sosial-kebangsaan (misal: di kampus), sangat mungkin muncul riak-riak sebagai implikasinya. Riak-riak itu bisa positif. Misal, diterimanya banyak pihak sehingga bercadar membudaya. Akan tetapi, riak-riak itu bisa pula negatif, antara lain munculnya sikap sinis, curiga, bahkan dituduh sebagai bibit radikalisme. Sudah tentu amat berbahaya bila riak-riak itu sebagai isu pinggiran dibiarkan berkembang liar, liberal, tanpa ada upaya pengendalian diri, dan tanpa ada upaya meminimalisasi agar kenyamanan kehidupan sosial-kebangsaan tak ternodai.
Bercadar itu sehat dan indah. Sehat dalam keutuhannya mencakup: sehat rohani, jasmani, dan sosial. Perempuan bercadar dapat dikatakan sehat rohani bila dilakukan atas dasar keimanan, pengamalan ajaran agama Islam, serta sebagai bentuk kepatuhan pada Allah SWT dan rasul-Nya. Bercadar dilakukan dengan niat dan kesadaran semata-mata demi ridha Allah SWT. Bercadar demikian menjadi indah karena merupakan pancaran indahnya keimanan dalam hati nurani. Ketika hati nurani sehat, maka sikap, perilaku, dan amalan apa pun akan sehat dan indah.
Berbeda halnya bila bercadar dengan niat lain. Misal, untuk menunjukkan identitas diri sebagai penganut mazhab, golongan, dan kelompok tertentu. Seiring dengan itu, kemudian bersikap eksklusif. Apalagi menolak pergaulan dengan manusia lain. Bercadar dengan motivasi demikian, tergolong sesat, tidak sehat, berpenyakit, dan mengganggu lingkungan.
Dimensi sosial-kebangsaan amat penting diperhatikan dalam bercadar. Sebagai makhluk sosial, setiap muslim-muslimah harus dapat ajur-ajer, tepa-salira, empan-papan, dan mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara luwes. Bangsa Indonesia amat majemuk dalam soal sosial-keagamaan. Niat baik bercadar tidak mesti dapat dipahami sebagai kebaikan semua pihak. Dalam keterbatasan ilmu dan wawasan, ada penguasa, tokoh agama, anggota masyarakat yang suudzon, termakan isu-isu pinggiran, terjebak riak-riak pemakaian cadar, dan lalai terhadap substansinya.
Gara-gara isu larangan bercadar, masyarakat luas kini seakan terperangkap di dalam sebuah “turbulensi religius”, yakni kesimpangsiuran pemahaman tentang ajaran bercadar. Benar atau salah perihal bercadar, diaduk-aduk, diseret ke sana-kemari, dan tiada jelas muaranya. Turbulensi religius muncul ketika agama dihilangkan nilai-nilai kesakralannya. Dogma-dogma agama dianggap tidak ada lagi. Semua orang boleh tampil sebagai "ahli agama". Dalam konteks sosial-kebangsaan, agama ditempatkan di koridor sekulerisme. Mereka intervensi, mendekonstruksi, bahkan mempermainkan dalil-dalil agama untuk kepentingan-kepentingan duniawi semata. Permainan-permainan politik dengan objek-objek institusi agama–seperti cadar–dilakukan sedemikian intens melalui pendayagunaan media. Media mainstream (televisi, koran, radio), maupun media sosial (WhatsApp, FaceBook, Twitter, dan lainnya) menjadi alat-alat permainan canggih untuk memorak-porandakan stabilitas masyarakat penggunanya.
Dalam kondisi demikian, penting diingat pernyataan JF Lyotard dalam Just Game (1990) bahwa keputusan apa pun yang dikenakan pada perempuan bercadar akan dikontaminasikan oleh kepentingan politik. Bercadar di kampus dibolehkan ataukah dilarang merupakan sikap politik, bukan sikap keagamaan. Karenanya, sikap sabar dan tawakal pada umat Islam perlu diperluas dengan pemahaman tentang turbulensi religius dan permainan-permainan politik itu.
Sungguh bagus bila penguasa, tokoh agama, maupun perempuan bercadar mampu menjauhkan diri dari sikap arogan ataupun antagonis. Kedepankan sikap intelektual-akademis, religius, dan berwawasan sosial-kebangsaan. Jangan sok Islami, jangan sok moderat, dan jangan sok berkuasa. Kembalilah ke tuntunan Islam secara kaffah.
Isu dan polemik bercadar sebenarnya sudah basi. Tak perlu diangkat lagi. Islam adalah agama rahmatan lilalamin. Dari padanya terpancar kesejukan, cahaya cerah, dan keindahan bagi semua pihak. Polemik bercadar akan lenyap ketika umat Islam sehat dan cerdas dalam berinteraksi di ruang sosial-kebangsaan. Wallahualam.
(zik)