Profesor (Tidak) Wajib Publikasi Internasional

Selasa, 06 Maret 2018 - 08:15 WIB
Profesor (Tidak) Wajib Publikasi Internasional
Profesor (Tidak) Wajib Publikasi Internasional
A A A
Jejen Musfah
Dosen Magister Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PEMERINTAH
akan meng­hentikan sementara tun­jangan kehormatan 3.800 profesor karena mereka tidak memiliki publikasi di jur­nal internasional. Di Indo­nesia ada 5.366 guru besar.

Sampai akhir 2017 lalu, ada 4.299 pro­fesor yang mengirim dokumen publi­kasi internasional untuk di­eva­luasi. Namun, hanya 1.551 orang guru besar yang dinyata­kan lolos memenuhi kriteria publikasi internasional.
Sisanya dinilai tidak men­jalan­kan kewajiban publikasi inter­nasional.

Menurut Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pen­didik­an Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehor­mat­a­n Profesor, profesor ber­hak mendapatkan tunjangan ke­hormatan dengan syarat paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling se­dikit satu karya ilmiah diter­bit­kan dalam jurnal internasional bereputasi.

Berikut catatan terkait ke­bijakan pemerintah tersebut. Pertama, tunjangan kehor­mat­an landasannya adalah peng­abdian dosen yang telah meng­abdi selama puluhan tahun dan telah memenuhi syarat kenaik­an pangkat guru besar, bukan landasan karya ilmiah tingkat internasional an sich.
Dosen dengan masa kerja di atas 20 tahun berpangkat guru besar memang layak mendapat penghasilan (take home pay) se­kitar Rp20 juta dengan atau tanpa karya jurnal inter­nasional.

Kebijakan Kemristek­dikti itu berarti hanya meng­hargai guru besar di bawah Rp20 juta per bulan! Mengaitkan tunjangan kehor­mat­an dengan jurnal inter­nasio­nal adalah langkah keliru. Jika pemerintah merasa berat dengan tunjangan tiga kali gaji pokok yang diterima guru besar, mengapa tidak men­jadi­kannya dua kali saja (misalnya), bukan dengan memperberat syarat penerimaan.

Dalam hal dosen mampu menerbitkan artikel di jurnal internasional, pemerintah bisa memberikan apresiasi di luar standar gaji profesor. Bahkan, hal ini ber­laku tidak hanya bagi profesor, tetapi dosen dengan kepang­kat­an apa pun.

Kedua, jika melihat Tri­dharma Perguruan Tinggi (PT), riset bagi dosen tidak lebih utama dari­pada mengajar dan pengabdian masyarakat. Dosen yang aktif meneliti belum tentu memiliki kinerja pengajaran yang baik. Demikian juga sebaliknya. Tugas utama penelitian itu bagi peneliti dan tugas utama dosen adalah pengajaran, peng­abdi­an, baru kemudian penelitian.

Tugas pengajaranlah yang seharusnya dituntut pem­e­rin­tah dari seorang dosen, bukan penelitian apalagi harus dimuat di jurnal internasional. Dosen mengajar, membuat silabus, hadir 16 kali pertemuan, meng­ajar penuh kegembiraan, mu­dah ditemui mahasiswa, tidak mendadak membatalkan janji dengan mahasiswa, mem­bim­­bing penulisan karya ilmiah maha­sis­wa de­ngan serius, dan seterusnya.

Tugas-tugas itu tidak mudah karena memerlukan per­sia­p­an, belajar mandiri dan berke­sinam­­bung­­an, serta ko­mitmen. Tugas utama dosen adalah peng­alihan pe­ngetahuan, kete­ram­pilan, dan sikap ke­pada puluhan bah­kan ratusan maha­siswa dalam setiap se­mester. Peng­abdi­­­an masyarakat dan pene­litian wa­jib di­laku­­kan, tetapi tanpa syarat-syarat lain yang mem­berat­kan, apalagi dengan an­cam­an pengu­rang­an pendapatan.

Ketiga, sebagian dosen juga menulis buku ajar untuk me­nun­jang pembela­jar­an. Maha­siswa men­jadikan buku dosen­nya se­bagai refe­rensi, juga buku-buku sejenis yang di­tulis penulis lain­nya. Pemerin­tah sepertinya lupa tentang buku karya dosen saat dengan ge­gabah menghenti­kan tun­jang­an kehor­mat­an profesor.

Berapa banyak guru besar me­lahir­kan kar­ya buku yang men­cerahkan maha­­­siswa dan dosen lain­nya. Karyanya tidak hanya d­i­baca dan dikutip oleh civitas aka­demika kampus­nya, tetapi maha­siswa dan do­sen di Indonesia bahkan mung­kin luar negeri.

Bandingkan dengan artikel jurnal inter­nasional yang ko­non pem­baca­nya hanya kalangan terbatas. Tidak semua orang bisa mudah mengakses jurnal karena di samping ber­bayar, juga kendala bahasa Inggris. Mahasiswa dan dosen Indo­nesia belum terbiasa mem­­baca dan menjadi­kan rujukan artikel ber­bahasa Inggris.

Menulis buku terkait mata kuliah tidak bisa dibilang mu­dah karena tidak semua dosen mampu menghasilkannya. Faktanya, tidak semua dosen mampu menuangkan ide-ide­nya dalam tulisan, meskipun sebagian tugasnya mengoreksi makalah, skripsi, tesis, dan di­sertasi.

Keempat, kecuali me­nulis buku, dosen juga melaku­kan bimbingan penulisan karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi. Kualitas hasil riset mahasiswa sangat tergantung pada banyak variabel, seperti kompetensi mahasiswa dan dosen sendiri, kemampuan dana mahasiswa, serta kesung­guh­an dosen dalam membimbing.

Bisa jadi banyak kualitas karya ilmiah mahasiswa dan guru besar-sebagai pem­bimbing—yang bagus, tetapi keber­hasilannya menembus jurnal nasional maupun internasional adalah hal lain. Mahasiswa dan dosen Indonesia belum terbiasa berkolaborasi dalam mem­pro­duksi skripsi, tesis, dan disertasi menjadi artikel jurnal yang layak terbit sebagai karya ber­sama.

Padahal jika ini dilakukan, maka dosen termasuk guru besar tidak kesulitan memiliki karya di jurnal nasional maupun internasional. Kebijakan jurnal inter­nasional bagi profesor dan calon profesor mulai menun­juk­kan hasil baik, meskipun lam­ban di satu sisi namun penuh kontro­versi di sisi lain.

Syarat jurnal bereputasi atau terindeks scopus menandakan pe­merintah menyukai jalan pintas, seakan-akan pakar dari dalam ne­geri sebagai reviewer jurnal-jurnal di Indonesia tidak bisa menilai mana artikel bagus yang penu­lis­nya kemudian layak menyandang guru besar di bidangnya.
Memang ada bebe­rapa jurnal Indonesia yang ter­indeks scopus, tetapi jum­lahnya ti­dak seban­ding dengan ke­­bu­tuhan pu­bli­kasi profesor dan calon profesor.

Kecuali itu, bagaimana mung­kin sebuah lembaga me­minta bayaran kepada penulis untuk publikasi. Kemudian se­telah diterbitkan, orang-orang yang ingin membaca artikel tersebut harus membayar ke lembaga itu, sementara si pe­nulisnya tidak mendapatkan keuntungan materiil dari ko­mersialisasi ilmu pengetahuan kecuali nama baik.

Mendorong profesor ber­karya di level internasional tidak salah, tetapi men­jadi­kan­nya syarat penerimaan tun­jangan kehormatan adalah sesat pikir yang nyata. Dengan mengajar, mengabdi, dan meneliti, tugas dosen tidaklah ringan. Karena­nya, pemerin­tah perlu mem­beri­kan apre­siasi yang layak bagi dosen apalagi guru besar.

Tugas publikasi inter­nasional tidak bisa dibebankan ke­pada semua do­sen dan guru besar karena menulis membutuhkan ke­te­rampilan, bakat, dan ke­tekunan. Jika kebijakan ini di­paksakan, terjadi­lah plagiasi dan manipulasi karya ilmiah ca­lon guru besar.

Untuk me­ngejar keter­ting­galan publikasi dari bangsa-bangsa lain, pemerintah bisa menyerah­kannya kepada para dosen dan guru besar yang memang terampil me­nulis. Berikan kepada me­reka dana riset yang cukup sam­pai publikasi dan sedikit jam mengajar—satu atau dua kelas dalam satu semester.

Pemerintah dan rektor juga perlu menyediakan dana cukup untuk penerbitan jurnal-jurnal di kampus—termasuk kesejah­teraan pengelolanya. Dengan demikian, akan banyak jurnal-jurnal kampus dan lembaga lainnya di Indonesia yang berstatus jurnal internasional dan internasional bereputasi. SDM Indonesia banyak yang cerdas, tetapi kebijakan dan lingkungan tidak mendukung sehingga tertinggal dari bangsa lain.

Minimnya publikasi sering dikaitkan dengan dosen asong­­an. Dosen asongan tidak se­la­ma­nya buruk karena itu tugas pengabdian. Bisa jadi do­sen memilih aktif di luar kam­pus, seperti konsultan, asesor, dan narasumber, karena pe­kerjaan itu lebih menjanjikan daripada meneliti dan publi­kasi yang persyaratan admi­nis­­trasinya berbelit dan me­makan waktu.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4645 seconds (0.1#10.140)