Profesor (Tidak) Wajib Publikasi Internasional
A
A
A
Jejen Musfah
Dosen Magister Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEMERINTAH akan menghentikan sementara tunjangan kehormatan 3.800 profesor karena mereka tidak memiliki publikasi di jurnal internasional. Di Indonesia ada 5.366 guru besar.
Sampai akhir 2017 lalu, ada 4.299 profesor yang mengirim dokumen publikasi internasional untuk dievaluasi. Namun, hanya 1.551 orang guru besar yang dinyatakan lolos memenuhi kriteria publikasi internasional.
Sisanya dinilai tidak menjalankan kewajiban publikasi internasional.
Menurut Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, profesor berhak mendapatkan tunjangan kehormatan dengan syarat paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit satu karya ilmiah diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi.
Berikut catatan terkait kebijakan pemerintah tersebut. Pertama, tunjangan kehormatan landasannya adalah pengabdian dosen yang telah mengabdi selama puluhan tahun dan telah memenuhi syarat kenaikan pangkat guru besar, bukan landasan karya ilmiah tingkat internasional an sich.
Dosen dengan masa kerja di atas 20 tahun berpangkat guru besar memang layak mendapat penghasilan (take home pay) sekitar Rp20 juta dengan atau tanpa karya jurnal internasional.
Kebijakan Kemristekdikti itu berarti hanya menghargai guru besar di bawah Rp20 juta per bulan! Mengaitkan tunjangan kehormatan dengan jurnal internasional adalah langkah keliru. Jika pemerintah merasa berat dengan tunjangan tiga kali gaji pokok yang diterima guru besar, mengapa tidak menjadikannya dua kali saja (misalnya), bukan dengan memperberat syarat penerimaan.
Dalam hal dosen mampu menerbitkan artikel di jurnal internasional, pemerintah bisa memberikan apresiasi di luar standar gaji profesor. Bahkan, hal ini berlaku tidak hanya bagi profesor, tetapi dosen dengan kepangkatan apa pun.
Kedua, jika melihat Tridharma Perguruan Tinggi (PT), riset bagi dosen tidak lebih utama daripada mengajar dan pengabdian masyarakat. Dosen yang aktif meneliti belum tentu memiliki kinerja pengajaran yang baik. Demikian juga sebaliknya. Tugas utama penelitian itu bagi peneliti dan tugas utama dosen adalah pengajaran, pengabdian, baru kemudian penelitian.
Tugas pengajaranlah yang seharusnya dituntut pemerintah dari seorang dosen, bukan penelitian apalagi harus dimuat di jurnal internasional. Dosen mengajar, membuat silabus, hadir 16 kali pertemuan, mengajar penuh kegembiraan, mudah ditemui mahasiswa, tidak mendadak membatalkan janji dengan mahasiswa, membimbing penulisan karya ilmiah mahasiswa dengan serius, dan seterusnya.
Tugas-tugas itu tidak mudah karena memerlukan persiapan, belajar mandiri dan berkesinambungan, serta komitmen. Tugas utama dosen adalah pengalihan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada puluhan bahkan ratusan mahasiswa dalam setiap semester. Pengabdian masyarakat dan penelitian wajib dilakukan, tetapi tanpa syarat-syarat lain yang memberatkan, apalagi dengan ancaman pengurangan pendapatan.
Ketiga, sebagian dosen juga menulis buku ajar untuk menunjang pembelajaran. Mahasiswa menjadikan buku dosennya sebagai referensi, juga buku-buku sejenis yang ditulis penulis lainnya. Pemerintah sepertinya lupa tentang buku karya dosen saat dengan gegabah menghentikan tunjangan kehormatan profesor.
Berapa banyak guru besar melahirkan karya buku yang mencerahkan mahasiswa dan dosen lainnya. Karyanya tidak hanya dibaca dan dikutip oleh civitas akademika kampusnya, tetapi mahasiswa dan dosen di Indonesia bahkan mungkin luar negeri.
Bandingkan dengan artikel jurnal internasional yang konon pembacanya hanya kalangan terbatas. Tidak semua orang bisa mudah mengakses jurnal karena di samping berbayar, juga kendala bahasa Inggris. Mahasiswa dan dosen Indonesia belum terbiasa membaca dan menjadikan rujukan artikel berbahasa Inggris.
Menulis buku terkait mata kuliah tidak bisa dibilang mudah karena tidak semua dosen mampu menghasilkannya. Faktanya, tidak semua dosen mampu menuangkan ide-idenya dalam tulisan, meskipun sebagian tugasnya mengoreksi makalah, skripsi, tesis, dan disertasi.
Keempat, kecuali menulis buku, dosen juga melakukan bimbingan penulisan karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi. Kualitas hasil riset mahasiswa sangat tergantung pada banyak variabel, seperti kompetensi mahasiswa dan dosen sendiri, kemampuan dana mahasiswa, serta kesungguhan dosen dalam membimbing.
Bisa jadi banyak kualitas karya ilmiah mahasiswa dan guru besar-sebagai pembimbing—yang bagus, tetapi keberhasilannya menembus jurnal nasional maupun internasional adalah hal lain. Mahasiswa dan dosen Indonesia belum terbiasa berkolaborasi dalam memproduksi skripsi, tesis, dan disertasi menjadi artikel jurnal yang layak terbit sebagai karya bersama.
Padahal jika ini dilakukan, maka dosen termasuk guru besar tidak kesulitan memiliki karya di jurnal nasional maupun internasional. Kebijakan jurnal internasional bagi profesor dan calon profesor mulai menunjukkan hasil baik, meskipun lamban di satu sisi namun penuh kontroversi di sisi lain.
Syarat jurnal bereputasi atau terindeks scopus menandakan pemerintah menyukai jalan pintas, seakan-akan pakar dari dalam negeri sebagai reviewer jurnal-jurnal di Indonesia tidak bisa menilai mana artikel bagus yang penulisnya kemudian layak menyandang guru besar di bidangnya.
Memang ada beberapa jurnal Indonesia yang terindeks scopus, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan publikasi profesor dan calon profesor.
Kecuali itu, bagaimana mungkin sebuah lembaga meminta bayaran kepada penulis untuk publikasi. Kemudian setelah diterbitkan, orang-orang yang ingin membaca artikel tersebut harus membayar ke lembaga itu, sementara si penulisnya tidak mendapatkan keuntungan materiil dari komersialisasi ilmu pengetahuan kecuali nama baik.
Mendorong profesor berkarya di level internasional tidak salah, tetapi menjadikannya syarat penerimaan tunjangan kehormatan adalah sesat pikir yang nyata. Dengan mengajar, mengabdi, dan meneliti, tugas dosen tidaklah ringan. Karenanya, pemerintah perlu memberikan apresiasi yang layak bagi dosen apalagi guru besar.
Tugas publikasi internasional tidak bisa dibebankan kepada semua dosen dan guru besar karena menulis membutuhkan keterampilan, bakat, dan ketekunan. Jika kebijakan ini dipaksakan, terjadilah plagiasi dan manipulasi karya ilmiah calon guru besar.
Untuk mengejar ketertinggalan publikasi dari bangsa-bangsa lain, pemerintah bisa menyerahkannya kepada para dosen dan guru besar yang memang terampil menulis. Berikan kepada mereka dana riset yang cukup sampai publikasi dan sedikit jam mengajar—satu atau dua kelas dalam satu semester.
Pemerintah dan rektor juga perlu menyediakan dana cukup untuk penerbitan jurnal-jurnal di kampus—termasuk kesejahteraan pengelolanya. Dengan demikian, akan banyak jurnal-jurnal kampus dan lembaga lainnya di Indonesia yang berstatus jurnal internasional dan internasional bereputasi. SDM Indonesia banyak yang cerdas, tetapi kebijakan dan lingkungan tidak mendukung sehingga tertinggal dari bangsa lain.
Minimnya publikasi sering dikaitkan dengan dosen asongan. Dosen asongan tidak selamanya buruk karena itu tugas pengabdian. Bisa jadi dosen memilih aktif di luar kampus, seperti konsultan, asesor, dan narasumber, karena pekerjaan itu lebih menjanjikan daripada meneliti dan publikasi yang persyaratan administrasinya berbelit dan memakan waktu.
Dosen Magister Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEMERINTAH akan menghentikan sementara tunjangan kehormatan 3.800 profesor karena mereka tidak memiliki publikasi di jurnal internasional. Di Indonesia ada 5.366 guru besar.
Sampai akhir 2017 lalu, ada 4.299 profesor yang mengirim dokumen publikasi internasional untuk dievaluasi. Namun, hanya 1.551 orang guru besar yang dinyatakan lolos memenuhi kriteria publikasi internasional.
Sisanya dinilai tidak menjalankan kewajiban publikasi internasional.
Menurut Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, profesor berhak mendapatkan tunjangan kehormatan dengan syarat paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional atau paling sedikit satu karya ilmiah diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi.
Berikut catatan terkait kebijakan pemerintah tersebut. Pertama, tunjangan kehormatan landasannya adalah pengabdian dosen yang telah mengabdi selama puluhan tahun dan telah memenuhi syarat kenaikan pangkat guru besar, bukan landasan karya ilmiah tingkat internasional an sich.
Dosen dengan masa kerja di atas 20 tahun berpangkat guru besar memang layak mendapat penghasilan (take home pay) sekitar Rp20 juta dengan atau tanpa karya jurnal internasional.
Kebijakan Kemristekdikti itu berarti hanya menghargai guru besar di bawah Rp20 juta per bulan! Mengaitkan tunjangan kehormatan dengan jurnal internasional adalah langkah keliru. Jika pemerintah merasa berat dengan tunjangan tiga kali gaji pokok yang diterima guru besar, mengapa tidak menjadikannya dua kali saja (misalnya), bukan dengan memperberat syarat penerimaan.
Dalam hal dosen mampu menerbitkan artikel di jurnal internasional, pemerintah bisa memberikan apresiasi di luar standar gaji profesor. Bahkan, hal ini berlaku tidak hanya bagi profesor, tetapi dosen dengan kepangkatan apa pun.
Kedua, jika melihat Tridharma Perguruan Tinggi (PT), riset bagi dosen tidak lebih utama daripada mengajar dan pengabdian masyarakat. Dosen yang aktif meneliti belum tentu memiliki kinerja pengajaran yang baik. Demikian juga sebaliknya. Tugas utama penelitian itu bagi peneliti dan tugas utama dosen adalah pengajaran, pengabdian, baru kemudian penelitian.
Tugas pengajaranlah yang seharusnya dituntut pemerintah dari seorang dosen, bukan penelitian apalagi harus dimuat di jurnal internasional. Dosen mengajar, membuat silabus, hadir 16 kali pertemuan, mengajar penuh kegembiraan, mudah ditemui mahasiswa, tidak mendadak membatalkan janji dengan mahasiswa, membimbing penulisan karya ilmiah mahasiswa dengan serius, dan seterusnya.
Tugas-tugas itu tidak mudah karena memerlukan persiapan, belajar mandiri dan berkesinambungan, serta komitmen. Tugas utama dosen adalah pengalihan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada puluhan bahkan ratusan mahasiswa dalam setiap semester. Pengabdian masyarakat dan penelitian wajib dilakukan, tetapi tanpa syarat-syarat lain yang memberatkan, apalagi dengan ancaman pengurangan pendapatan.
Ketiga, sebagian dosen juga menulis buku ajar untuk menunjang pembelajaran. Mahasiswa menjadikan buku dosennya sebagai referensi, juga buku-buku sejenis yang ditulis penulis lainnya. Pemerintah sepertinya lupa tentang buku karya dosen saat dengan gegabah menghentikan tunjangan kehormatan profesor.
Berapa banyak guru besar melahirkan karya buku yang mencerahkan mahasiswa dan dosen lainnya. Karyanya tidak hanya dibaca dan dikutip oleh civitas akademika kampusnya, tetapi mahasiswa dan dosen di Indonesia bahkan mungkin luar negeri.
Bandingkan dengan artikel jurnal internasional yang konon pembacanya hanya kalangan terbatas. Tidak semua orang bisa mudah mengakses jurnal karena di samping berbayar, juga kendala bahasa Inggris. Mahasiswa dan dosen Indonesia belum terbiasa membaca dan menjadikan rujukan artikel berbahasa Inggris.
Menulis buku terkait mata kuliah tidak bisa dibilang mudah karena tidak semua dosen mampu menghasilkannya. Faktanya, tidak semua dosen mampu menuangkan ide-idenya dalam tulisan, meskipun sebagian tugasnya mengoreksi makalah, skripsi, tesis, dan disertasi.
Keempat, kecuali menulis buku, dosen juga melakukan bimbingan penulisan karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi. Kualitas hasil riset mahasiswa sangat tergantung pada banyak variabel, seperti kompetensi mahasiswa dan dosen sendiri, kemampuan dana mahasiswa, serta kesungguhan dosen dalam membimbing.
Bisa jadi banyak kualitas karya ilmiah mahasiswa dan guru besar-sebagai pembimbing—yang bagus, tetapi keberhasilannya menembus jurnal nasional maupun internasional adalah hal lain. Mahasiswa dan dosen Indonesia belum terbiasa berkolaborasi dalam memproduksi skripsi, tesis, dan disertasi menjadi artikel jurnal yang layak terbit sebagai karya bersama.
Padahal jika ini dilakukan, maka dosen termasuk guru besar tidak kesulitan memiliki karya di jurnal nasional maupun internasional. Kebijakan jurnal internasional bagi profesor dan calon profesor mulai menunjukkan hasil baik, meskipun lamban di satu sisi namun penuh kontroversi di sisi lain.
Syarat jurnal bereputasi atau terindeks scopus menandakan pemerintah menyukai jalan pintas, seakan-akan pakar dari dalam negeri sebagai reviewer jurnal-jurnal di Indonesia tidak bisa menilai mana artikel bagus yang penulisnya kemudian layak menyandang guru besar di bidangnya.
Memang ada beberapa jurnal Indonesia yang terindeks scopus, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan publikasi profesor dan calon profesor.
Kecuali itu, bagaimana mungkin sebuah lembaga meminta bayaran kepada penulis untuk publikasi. Kemudian setelah diterbitkan, orang-orang yang ingin membaca artikel tersebut harus membayar ke lembaga itu, sementara si penulisnya tidak mendapatkan keuntungan materiil dari komersialisasi ilmu pengetahuan kecuali nama baik.
Mendorong profesor berkarya di level internasional tidak salah, tetapi menjadikannya syarat penerimaan tunjangan kehormatan adalah sesat pikir yang nyata. Dengan mengajar, mengabdi, dan meneliti, tugas dosen tidaklah ringan. Karenanya, pemerintah perlu memberikan apresiasi yang layak bagi dosen apalagi guru besar.
Tugas publikasi internasional tidak bisa dibebankan kepada semua dosen dan guru besar karena menulis membutuhkan keterampilan, bakat, dan ketekunan. Jika kebijakan ini dipaksakan, terjadilah plagiasi dan manipulasi karya ilmiah calon guru besar.
Untuk mengejar ketertinggalan publikasi dari bangsa-bangsa lain, pemerintah bisa menyerahkannya kepada para dosen dan guru besar yang memang terampil menulis. Berikan kepada mereka dana riset yang cukup sampai publikasi dan sedikit jam mengajar—satu atau dua kelas dalam satu semester.
Pemerintah dan rektor juga perlu menyediakan dana cukup untuk penerbitan jurnal-jurnal di kampus—termasuk kesejahteraan pengelolanya. Dengan demikian, akan banyak jurnal-jurnal kampus dan lembaga lainnya di Indonesia yang berstatus jurnal internasional dan internasional bereputasi. SDM Indonesia banyak yang cerdas, tetapi kebijakan dan lingkungan tidak mendukung sehingga tertinggal dari bangsa lain.
Minimnya publikasi sering dikaitkan dengan dosen asongan. Dosen asongan tidak selamanya buruk karena itu tugas pengabdian. Bisa jadi dosen memilih aktif di luar kampus, seperti konsultan, asesor, dan narasumber, karena pekerjaan itu lebih menjanjikan daripada meneliti dan publikasi yang persyaratan administrasinya berbelit dan memakan waktu.
(whb)