Independensi Penyelenggara Pemilu

Rabu, 28 Februari 2018 - 09:10 WIB
Independensi Penyelenggara...
Independensi Penyelenggara Pemilu
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP, Universitas Padjadjaran

KASUS tertangkapnya Ko­mi­sioner Komisi Pe­mi­lihan Umum (KPU) dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi pukulan telak bagi lembaga penyeleng­gara pemilu. Kedua penye­leng­gara pemilu ini ditangkap polisi karena dugaan menerima suap untuk meloloskan salah satu pa­sangan calon di pilkada.

Pe­ris­ti­wa memilukan ini terjadi pada saat kedua lembaga ini bertekad menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 yang ber­kua­li­tas. Hal ini menjadi Tajuk KORAN SINDO edisi Senin (26/2). Disebutkan pula bahwa Dewan Kehormatan Penye­leng­garaan Pemilu (DKPP) pa­da 2017 telah memecat 20 ang­gota KPU, 10 diberhentikan se­mentara, dan 83 ditegur tertulis karena melakukan pelang­garan.

Dalam menyikapi pe­lang­gar­an oleh penyelenggara pe­milu ini, DKPP memang harus bertindak tegas agar tidak me­nyurutkan keinginan bangsa melahirkan pemimpin ber­kom­peten. Bisa jadi independensi menjadi penting untuk diper­juangkan bersama agar pe­nye­leng­gara pemilu tidak me­rang­kap sebagai pemain yang me­mi­hak.

Hanya saja, hal demikian memang tidak mudah dila­ku­kan karena sejumlah jebakan dan juga hutang budi bisa ber­main. Adanya tali temali hu­bungan personal ataupun ke­lembagaan membuat ke­teri­kat­an emosi mengental. Oleh se­bab itu, banyak yang menjadi su­lit bersikap tegas ketika ber­ha­dapan dengan pihak yang ter­ha­dapnya pernah berhutang budi.

Pupuk
Baldwin (1986) meng­ang­gap perilaku berkaitan dengan kon­sekuensinya. Hal demikian ber­arti bahwa apa yang ditanam saat ini akan dipanen pada ke­mu­dian hari. Tetapi, baik buruknya panen juga tergantung bibit, pu­puk, dan perawatan atas ta­nam­an tersebut.

Bibit yang baik berpo­tensi baik ha­silnya tatkala ada kecukupan pu­puk kebaikan dan kasih sayang dalam perawatan. Oleh se­bab itu, bibit penye­leng­gara pe­milu tidak dapat di­abai­kan untuk memperoleh hasil yang baik pada pelaksanaan pe­milu itu sendiri.

Konsekuensi atas sejumlah perilaku yang dilakukan akan di­hitung cermat. Bisa saja ada hu­tang budi (penyelenggara) yang tertanam sebelumnya se­hing­ga patut jadi pertim­bang­an. Namun, dalam posisi ini ke­ha­diran “pupuk” menjadi pen­ting agar hutang budi tersebut tidak lantas menjadi “hama”.

Un­tuk itu, perlunya keyakinan diri penyelenggara pemilu un­tuk konsisten di jalur patut te­rus didorong oleh seluruh pihak ter­kait, termasuk DKPP. Dengan sejumlah kegiatan pe­na­naman keyakinan untuk pa­tuh terhadap aturan, menjadi pen­ting dilakukan personalia pe­nyelenggara pemilu agar pri­ba­di yang tangguh terbangun.

Tatkala bibitnya kurang baik dengan pemupukan yang ku­rang, maka hama kepentingan akan senantiasa merongrong. Kepercayaan publik akhirnya dikhianati. Dampaknya, seba­gai leader yang berperan sebagai guiding vision, seperti Bennis (1989) tuliskan rontok.

Dalam posisi itulah publik seharusnya hadir sebagai suster mencabuti hama yang tumbuh di seki­tar­nya atau melaporkan akan ada­nya gangguan yang merusak citra demokrasi itu sendiri. De­ngan cara seperti itu, penye­leng­gara pemilu tidak terjebak menjadi pemain atau berpihak pada salah satu calon petarung.

Agaknya pemberian pupuk dan perawatan tampak tidak lagi mengental dalam kehi­dup­an yang mulai individualistis. Penyelenggara pemilu bisa jadi memiliki pekerjaan lebih besar karena autisme publik yang mulai tumbuh. Dampaknya, ke­ti­ka ada rongrongan hama, be­ban­nya menjadi semakin berat apa­lagi pupuk dukungan moral dari penegak hukum dan ke­lom­pok cerdas tidak intensif da­tang.

Tidak heran dalam meng­ha­dapi situasi tersebut, nilai bisa dikalahkan oleh suntikan bantuan agar kebutuhan dapat dipenuhi. Sayangnya, ketika hal itu terjadi, pihak yang merasa dirugikan bereaksi. Dalam kasus pencalonan di Garut, boleh jadi publik pun me­li­hat perilaku yang ganjil ke­tika pe­nentuan seleksi pa­sang­an calon.

Independensi
Mewujudkan independensi penyelenggara pemilu menjadi penting demi meraih tujuan mulia. Hanya hal demikian me­mer­lukan dukungan dari ko­le­ga, lembaga yang memiliki hu­bungan kerja, serta masyarakat sendiri. Adanya suap dan fasi­li­tasi dari oknum tertentu mes­ti­nya sudah terekam oleh kolega pe­nyelenggara pemilu tersebut untuk kemudian dihentikan ber­sa­ma.

Esprit de corps sepa­tut­nya diarahkan untuk mene­gak­kan marwah KPU ataupun Pan­waslu agar tidak dinodai hama yang merusak. Agaknya hal demikian terlambat disa­da­ri sehingga secara kelembagaan marwah penyelenggara pemilu ter­nodai akibat nila setitik.

Bisa jadi bukan hanya kolega kedua pelaku yang lamban me­nya­dari, tapi juga lembaga lain yang memiliki hubungan kerja mi­salnya legislatif dan ekse­ku­tif. Mereka lamban akibat keterkotakan personal untuk me­nyuk­seskan pasangan calonnya masing-masing.

Untuk itulah, seluruh elemen mestinya bereaksi sejak adanya gejala kekeliruan yang muncul dalam proses pencalonan. Akademisi tampaknya pihak paling kritis untuk bisa merawat pesta de­mokrasi agar tidak bernoda. Pi­hak ini pula semestinya terlibat sejak seleksi calon personalia KPU ataupun Panwaslu. De­mi­kian pemuka agama dan budaya juga mestinya turut menyortir agar terpilih calon yang bagus dan berkualitas.

Kejadian yang memilukan di Garut ini bisa menjadi pelajaran berharga atas kelalaian sejum­lah komponen yang tidak meng­awal ketat proses pe­mi­lihan personal di KPU dan Pan­waslu serta tidak turut merawat dan memupuk personalia yang telah terpilih. Dampaknya, ko­mitmen menjadi rendah. Be­sarnya tekanan kepentingan menggoyahkan independensi oknum penyeleng­gara pemilu ini.

Berdasarkan pengalaman di atas, keberanian penyelenggara untuk tetap independen men­jadi penting sehingga personal yang dipilih haruslah me­me­nuhi aspek ini seperti Snyder (1994) tuliskan. Keberanian menentukan sikap dengan ber­pe­doman pada aturan dengan du­kungan publik dan para pe­ne­gak hukum patut diuta­ma­kan.

Keyakinan bahwa dirinya milik publik untuk memilih pe­mimpin unggul juga harus ter­tanam dalam di jiwanya se­hing­ga mampu menghadapi hama yang datang. Tatkala hal demi­kian tidak ter­se­dia, maka inde­pen­densi penyelenggara sulit di­wujudkan.

Kejadian di KPU dan Pan­waslu Garut memberi pelajaran penting bagi 170 daerah lainnya yang menjadi peserta pemilu serentak se­hing­ga pada 27 Juni nanti ter­pi­lih pemimpin ter­baik, bukan yang abal-abal. Semoga!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0795 seconds (0.1#10.140)