Independensi Penyelenggara Pemilu
A
A
A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP, Universitas Padjadjaran
KASUS tertangkapnya Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi pukulan telak bagi lembaga penyelenggara pemilu. Kedua penyelenggara pemilu ini ditangkap polisi karena dugaan menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon di pilkada.
Peristiwa memilukan ini terjadi pada saat kedua lembaga ini bertekad menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 yang berkualitas. Hal ini menjadi Tajuk KORAN SINDO edisi Senin (26/2). Disebutkan pula bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) pada 2017 telah memecat 20 anggota KPU, 10 diberhentikan sementara, dan 83 ditegur tertulis karena melakukan pelanggaran.
Dalam menyikapi pelanggaran oleh penyelenggara pemilu ini, DKPP memang harus bertindak tegas agar tidak menyurutkan keinginan bangsa melahirkan pemimpin berkompeten. Bisa jadi independensi menjadi penting untuk diperjuangkan bersama agar penyelenggara pemilu tidak merangkap sebagai pemain yang memihak.
Hanya saja, hal demikian memang tidak mudah dilakukan karena sejumlah jebakan dan juga hutang budi bisa bermain. Adanya tali temali hubungan personal ataupun kelembagaan membuat keterikatan emosi mengental. Oleh sebab itu, banyak yang menjadi sulit bersikap tegas ketika berhadapan dengan pihak yang terhadapnya pernah berhutang budi.
Pupuk
Baldwin (1986) menganggap perilaku berkaitan dengan konsekuensinya. Hal demikian berarti bahwa apa yang ditanam saat ini akan dipanen pada kemudian hari. Tetapi, baik buruknya panen juga tergantung bibit, pupuk, dan perawatan atas tanaman tersebut.
Bibit yang baik berpotensi baik hasilnya tatkala ada kecukupan pupuk kebaikan dan kasih sayang dalam perawatan. Oleh sebab itu, bibit penyelenggara pemilu tidak dapat diabaikan untuk memperoleh hasil yang baik pada pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Konsekuensi atas sejumlah perilaku yang dilakukan akan dihitung cermat. Bisa saja ada hutang budi (penyelenggara) yang tertanam sebelumnya sehingga patut jadi pertimbangan. Namun, dalam posisi ini kehadiran “pupuk” menjadi penting agar hutang budi tersebut tidak lantas menjadi “hama”.
Untuk itu, perlunya keyakinan diri penyelenggara pemilu untuk konsisten di jalur patut terus didorong oleh seluruh pihak terkait, termasuk DKPP. Dengan sejumlah kegiatan penanaman keyakinan untuk patuh terhadap aturan, menjadi penting dilakukan personalia penyelenggara pemilu agar pribadi yang tangguh terbangun.
Tatkala bibitnya kurang baik dengan pemupukan yang kurang, maka hama kepentingan akan senantiasa merongrong. Kepercayaan publik akhirnya dikhianati. Dampaknya, sebagai leader yang berperan sebagai guiding vision, seperti Bennis (1989) tuliskan rontok.
Dalam posisi itulah publik seharusnya hadir sebagai suster mencabuti hama yang tumbuh di sekitarnya atau melaporkan akan adanya gangguan yang merusak citra demokrasi itu sendiri. Dengan cara seperti itu, penyelenggara pemilu tidak terjebak menjadi pemain atau berpihak pada salah satu calon petarung.
Agaknya pemberian pupuk dan perawatan tampak tidak lagi mengental dalam kehidupan yang mulai individualistis. Penyelenggara pemilu bisa jadi memiliki pekerjaan lebih besar karena autisme publik yang mulai tumbuh. Dampaknya, ketika ada rongrongan hama, bebannya menjadi semakin berat apalagi pupuk dukungan moral dari penegak hukum dan kelompok cerdas tidak intensif datang.
Tidak heran dalam menghadapi situasi tersebut, nilai bisa dikalahkan oleh suntikan bantuan agar kebutuhan dapat dipenuhi. Sayangnya, ketika hal itu terjadi, pihak yang merasa dirugikan bereaksi. Dalam kasus pencalonan di Garut, boleh jadi publik pun melihat perilaku yang ganjil ketika penentuan seleksi pasangan calon.
Independensi
Mewujudkan independensi penyelenggara pemilu menjadi penting demi meraih tujuan mulia. Hanya hal demikian memerlukan dukungan dari kolega, lembaga yang memiliki hubungan kerja, serta masyarakat sendiri. Adanya suap dan fasilitasi dari oknum tertentu mestinya sudah terekam oleh kolega penyelenggara pemilu tersebut untuk kemudian dihentikan bersama.
Esprit de corps sepatutnya diarahkan untuk menegakkan marwah KPU ataupun Panwaslu agar tidak dinodai hama yang merusak. Agaknya hal demikian terlambat disadari sehingga secara kelembagaan marwah penyelenggara pemilu ternodai akibat nila setitik.
Bisa jadi bukan hanya kolega kedua pelaku yang lamban menyadari, tapi juga lembaga lain yang memiliki hubungan kerja misalnya legislatif dan eksekutif. Mereka lamban akibat keterkotakan personal untuk menyukseskan pasangan calonnya masing-masing.
Untuk itulah, seluruh elemen mestinya bereaksi sejak adanya gejala kekeliruan yang muncul dalam proses pencalonan. Akademisi tampaknya pihak paling kritis untuk bisa merawat pesta demokrasi agar tidak bernoda. Pihak ini pula semestinya terlibat sejak seleksi calon personalia KPU ataupun Panwaslu. Demikian pemuka agama dan budaya juga mestinya turut menyortir agar terpilih calon yang bagus dan berkualitas.
Kejadian yang memilukan di Garut ini bisa menjadi pelajaran berharga atas kelalaian sejumlah komponen yang tidak mengawal ketat proses pemilihan personal di KPU dan Panwaslu serta tidak turut merawat dan memupuk personalia yang telah terpilih. Dampaknya, komitmen menjadi rendah. Besarnya tekanan kepentingan menggoyahkan independensi oknum penyelenggara pemilu ini.
Berdasarkan pengalaman di atas, keberanian penyelenggara untuk tetap independen menjadi penting sehingga personal yang dipilih haruslah memenuhi aspek ini seperti Snyder (1994) tuliskan. Keberanian menentukan sikap dengan berpedoman pada aturan dengan dukungan publik dan para penegak hukum patut diutamakan.
Keyakinan bahwa dirinya milik publik untuk memilih pemimpin unggul juga harus tertanam dalam di jiwanya sehingga mampu menghadapi hama yang datang. Tatkala hal demikian tidak tersedia, maka independensi penyelenggara sulit diwujudkan.
Kejadian di KPU dan Panwaslu Garut memberi pelajaran penting bagi 170 daerah lainnya yang menjadi peserta pemilu serentak sehingga pada 27 Juni nanti terpilih pemimpin terbaik, bukan yang abal-abal. Semoga!
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP, Universitas Padjadjaran
KASUS tertangkapnya Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi pukulan telak bagi lembaga penyelenggara pemilu. Kedua penyelenggara pemilu ini ditangkap polisi karena dugaan menerima suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon di pilkada.
Peristiwa memilukan ini terjadi pada saat kedua lembaga ini bertekad menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018 yang berkualitas. Hal ini menjadi Tajuk KORAN SINDO edisi Senin (26/2). Disebutkan pula bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) pada 2017 telah memecat 20 anggota KPU, 10 diberhentikan sementara, dan 83 ditegur tertulis karena melakukan pelanggaran.
Dalam menyikapi pelanggaran oleh penyelenggara pemilu ini, DKPP memang harus bertindak tegas agar tidak menyurutkan keinginan bangsa melahirkan pemimpin berkompeten. Bisa jadi independensi menjadi penting untuk diperjuangkan bersama agar penyelenggara pemilu tidak merangkap sebagai pemain yang memihak.
Hanya saja, hal demikian memang tidak mudah dilakukan karena sejumlah jebakan dan juga hutang budi bisa bermain. Adanya tali temali hubungan personal ataupun kelembagaan membuat keterikatan emosi mengental. Oleh sebab itu, banyak yang menjadi sulit bersikap tegas ketika berhadapan dengan pihak yang terhadapnya pernah berhutang budi.
Pupuk
Baldwin (1986) menganggap perilaku berkaitan dengan konsekuensinya. Hal demikian berarti bahwa apa yang ditanam saat ini akan dipanen pada kemudian hari. Tetapi, baik buruknya panen juga tergantung bibit, pupuk, dan perawatan atas tanaman tersebut.
Bibit yang baik berpotensi baik hasilnya tatkala ada kecukupan pupuk kebaikan dan kasih sayang dalam perawatan. Oleh sebab itu, bibit penyelenggara pemilu tidak dapat diabaikan untuk memperoleh hasil yang baik pada pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Konsekuensi atas sejumlah perilaku yang dilakukan akan dihitung cermat. Bisa saja ada hutang budi (penyelenggara) yang tertanam sebelumnya sehingga patut jadi pertimbangan. Namun, dalam posisi ini kehadiran “pupuk” menjadi penting agar hutang budi tersebut tidak lantas menjadi “hama”.
Untuk itu, perlunya keyakinan diri penyelenggara pemilu untuk konsisten di jalur patut terus didorong oleh seluruh pihak terkait, termasuk DKPP. Dengan sejumlah kegiatan penanaman keyakinan untuk patuh terhadap aturan, menjadi penting dilakukan personalia penyelenggara pemilu agar pribadi yang tangguh terbangun.
Tatkala bibitnya kurang baik dengan pemupukan yang kurang, maka hama kepentingan akan senantiasa merongrong. Kepercayaan publik akhirnya dikhianati. Dampaknya, sebagai leader yang berperan sebagai guiding vision, seperti Bennis (1989) tuliskan rontok.
Dalam posisi itulah publik seharusnya hadir sebagai suster mencabuti hama yang tumbuh di sekitarnya atau melaporkan akan adanya gangguan yang merusak citra demokrasi itu sendiri. Dengan cara seperti itu, penyelenggara pemilu tidak terjebak menjadi pemain atau berpihak pada salah satu calon petarung.
Agaknya pemberian pupuk dan perawatan tampak tidak lagi mengental dalam kehidupan yang mulai individualistis. Penyelenggara pemilu bisa jadi memiliki pekerjaan lebih besar karena autisme publik yang mulai tumbuh. Dampaknya, ketika ada rongrongan hama, bebannya menjadi semakin berat apalagi pupuk dukungan moral dari penegak hukum dan kelompok cerdas tidak intensif datang.
Tidak heran dalam menghadapi situasi tersebut, nilai bisa dikalahkan oleh suntikan bantuan agar kebutuhan dapat dipenuhi. Sayangnya, ketika hal itu terjadi, pihak yang merasa dirugikan bereaksi. Dalam kasus pencalonan di Garut, boleh jadi publik pun melihat perilaku yang ganjil ketika penentuan seleksi pasangan calon.
Independensi
Mewujudkan independensi penyelenggara pemilu menjadi penting demi meraih tujuan mulia. Hanya hal demikian memerlukan dukungan dari kolega, lembaga yang memiliki hubungan kerja, serta masyarakat sendiri. Adanya suap dan fasilitasi dari oknum tertentu mestinya sudah terekam oleh kolega penyelenggara pemilu tersebut untuk kemudian dihentikan bersama.
Esprit de corps sepatutnya diarahkan untuk menegakkan marwah KPU ataupun Panwaslu agar tidak dinodai hama yang merusak. Agaknya hal demikian terlambat disadari sehingga secara kelembagaan marwah penyelenggara pemilu ternodai akibat nila setitik.
Bisa jadi bukan hanya kolega kedua pelaku yang lamban menyadari, tapi juga lembaga lain yang memiliki hubungan kerja misalnya legislatif dan eksekutif. Mereka lamban akibat keterkotakan personal untuk menyukseskan pasangan calonnya masing-masing.
Untuk itulah, seluruh elemen mestinya bereaksi sejak adanya gejala kekeliruan yang muncul dalam proses pencalonan. Akademisi tampaknya pihak paling kritis untuk bisa merawat pesta demokrasi agar tidak bernoda. Pihak ini pula semestinya terlibat sejak seleksi calon personalia KPU ataupun Panwaslu. Demikian pemuka agama dan budaya juga mestinya turut menyortir agar terpilih calon yang bagus dan berkualitas.
Kejadian yang memilukan di Garut ini bisa menjadi pelajaran berharga atas kelalaian sejumlah komponen yang tidak mengawal ketat proses pemilihan personal di KPU dan Panwaslu serta tidak turut merawat dan memupuk personalia yang telah terpilih. Dampaknya, komitmen menjadi rendah. Besarnya tekanan kepentingan menggoyahkan independensi oknum penyelenggara pemilu ini.
Berdasarkan pengalaman di atas, keberanian penyelenggara untuk tetap independen menjadi penting sehingga personal yang dipilih haruslah memenuhi aspek ini seperti Snyder (1994) tuliskan. Keberanian menentukan sikap dengan berpedoman pada aturan dengan dukungan publik dan para penegak hukum patut diutamakan.
Keyakinan bahwa dirinya milik publik untuk memilih pemimpin unggul juga harus tertanam dalam di jiwanya sehingga mampu menghadapi hama yang datang. Tatkala hal demikian tidak tersedia, maka independensi penyelenggara sulit diwujudkan.
Kejadian di KPU dan Panwaslu Garut memberi pelajaran penting bagi 170 daerah lainnya yang menjadi peserta pemilu serentak sehingga pada 27 Juni nanti terpilih pemimpin terbaik, bukan yang abal-abal. Semoga!
(thm)