Pergeseran Pola intelijen Modern (Refleksi dari Kandahar Airfield)

Senin, 26 Februari 2018 - 15:16 WIB
Pergeseran Pola intelijen...
Pergeseran Pola intelijen Modern (Refleksi dari Kandahar Airfield)
A A A
Alto Labetubun, ST, MIS
- Master of international Studies dengan spesialisasi Peace and Conflict Resolution dari University of Queensland, Australia
- Analis konflik dan konsultan keamanan yang sudah 9 tahun bekerja di berbagai negara konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara
- Sekarang tinggal di Irak

TAHUN 2011 saya pertama kali tiba di Afghanistan dengan pesawat khusus yang melayani rute Dubai–Kandahar Airfield (KAF) yang kala itu menjadi salah satu bandara sekaligus markas utama tentara koalisi internasional untuk melawan Taliban, ISAF. Perjalanan ini sebenarnya dimulai beberapa bulan sebelumnya dengan background checks termasuk pengecekan riwayat tindak kriminal.

Hal ini untuk memastikan tidak adanya infiltrasi orang yang tidak diinginkan ke dalam fasilitas militer di KAF. Sebelum diizinkan untuk terbang ke KAF, saya harus memiliki Letter of Authorization (LoA) yang memberikan kredensial untuk bisa berada di KAF. LoA ini memuat beberapa informasi, termasuk apakah yang bersangkutan diizinkan untuk memiliki dan membawa senjata api di dalam lingkungan KAF.

Penerbangan dari Dubai ke KAF berlangsung tidak begitu lama. Saat mendarat, kami dijemput dengan bUs dan dibawa ke terminal utama. Sebelum meninggalkan terminal utama KAF, proses registrasi biometric dilakukan untuk menyimpan data-data diri termasuk kredensial yang dimiliki. Seminggu setelah itu baru badge KAF bisa diperoleh setelah melewati proses wawancara.

Yang menarik dari proses di KAF adalah perjalanan ke terminal utama yang melewati beberapa hanggar yang berisi berbagai jenis pesawat. Seperti yang saya sebutkan di atas, KAF adalah salah satu markas tentara koalisis, dan pada tahun ini merupakan bandara dengan landasan tunggal tersibut di dunia.

Dari berbagai hangar itu, yang paling menarik adalah hangar yang berada di sebelah barat sebelum terminal utama. Di sini kelihatan pesawat-pesawat tanpa awak yang dioperasikan oleh lembaga intelijen Amerika.

Ada beberapa pesawat nirawak yang parker di situ dan kadang ada yang lagi taxiing untuk lepas landas dan/atau saat selesai melaksanakan misinya. Pesawat-pesawat nirawak ini sangat sering terlihat di udara, baik siang maupun malam dan beta sering melihatnya saat di Afghanistan maupun di Irak.

Kebergantungan tentara koalisi internasional, khususunya tentara US terhadap pesawat-pesawat nirawak di Afghanistan ini sangat tinggi. Hal ini disebabkan akan kebutuhan intelijen yang real time. Pesawat-pesawat nirawak yang memiliki kemampuan penginderaan di segala cuaca dan waktu bisa memberikan informasi intelijen yang terus menerus dan terbaru, yang sangat membantu pasukan di lapangan dalam
melaksanakan misinya.

Militer terkini adalah militer yang merupakan satu ekosistem; terintegrasi dan saling melengkapi secara operasi (interoperable). Hal ini tidak mungkin bisa terjai secara maksimal apabila pola untuk mendapatkan produk intelijen masih bergantung kepada pola Human Intelligence (Humit), di mana informasi yang ingin didapat harus melalui proses-proses pengamatan, infiltasi atau penggalangan yang dilakukan oleh anggota intel di lapangan, melainkan membutuhkan pola-pola hybrid yang mengedepankan penggunakan teknologi terkini.

Dari proses pendataan orang yang bisa mengakses KAF maupun pengalaman melihat proses pemetaan medan tempur (battlespace) yang saling terkoneksi menunjukkan bagaimana teknologi sudah memainkan peran yang primer dari intelligence gathering sampai pada ekseskusi di lapangan. Pergeseran pola intelijen dari mengedepankan kemampuan manusia ke arah pola yang mengedepankan teknologi, sebut saja technology intelligence (TechInt) adalah sesuatu yang tidak bisa terhindarkan lagi.

Anggota-anggota intel, misalnya, tidak bisa lagi dengan gampang melakukan infiltrasi lewat bandara dengan memakai berbagai paspor karena semakin banyak bandara yang memakai sistem biometric untuk mendata penumpang yang masuk-keluar. Artinya apapun identitas yang dipakai tidak akan mampu lolos dari pemetaan identitas manusia secara digital.

Perubahan pola ini menuntut perubahan paradigma dan sistem dalam lembaga-lembaga intelijen, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam Studium Generale Institut Teknologi Bandung, Rabu 31 Januari 2018, Kepala BIN Budi Gunawan menegaskan bahwa BIN sebagai institusi intelijen negara yang memiliki peran sebagi mata dan telinga negara untuk memprediksi, mencegah, mendeteksi, dan merespons perubahan dunia yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan dan keamanan telah masuk pada apa yang disebut sebagai era intelijen 3.0, dengan menerapkan teknologi intelijen.

Peningkatan dan penguatan techInt ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan dinamika global sebagai hasil dari persaingan teknologi yang dikenal dengan sebutan ‘The Six Ds’ (digitized, deceptive, disruptive, demonetized, dan dematerialized). Apa yang diungkapkan Kepala BIN ini mengingatkan beta akan dialog antara James Bond dan Q dalam film Skyfall tahun 2012 berikut ini:

Q: It always makes me feel a bit melancholy. Grand old war ship. being ignominiously
haunted away to scrap... The inevitability of time, don't you think? What do you see?

James Bond: A bloody big ship. Excuse me.

Q: 007. I'm your new Quartermaster.

James Bond: You must be joking.

Q: Why, because I'm not wearing a lab coat?

James Bond: Because you still have spots.

Q: My complexion is hardly relevant.

James Bond: Your competence is.

Q: Age is no guarantee of efficiency.

James Bond: And youth is no guarantee of innovation.

Q: Well, I'll hazard I can do more damage on my laptop sitting in my pajamas before my first cup of Earl Grey than you can do in a year in the field.

James Bond: Oh, so why do you need me?
Q: Every now and then a trigger has to be pulled.

James Bond: Or not pulled. It's hard to know which in your pajamas. Q.

Dialog antara karakter fiksi James Bond dan Q ini merefleksikan bagaimana penguasaan dan persaingan teknologi di abad sekarang telah merubah dan bahkan menuntut perubahan pola dari lembaga-lembaga intelijen. Battlespace saat ini akan dimenangkan oleh mereka yang menguasai teknologi.

Seperti yang diungkapkan Kepala BIN, kemampuan institusi intelijen bukan hanya memerlukan intuisi dari aparat intelijen tetapi akan semakin membutuhkan inovasi dalam bidang teknologi. Melihat forward thinking yang sudah dilakukan oleh Kepala BIN, saya yakin bahwa inovasi TechInt yang sementara dilakukan oleh lembaga-lembaga intelijen negara, khususnya BIN bisa mejadi deterrence yang membuat Indonesia lebih imun terhadap penetrasi operasi-operasi intelijen baik kawan maupun lawan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6022 seconds (0.1#10.140)