Dialog Peradaban dan Konsistensi Peran Indonesia

Jum'at, 23 Februari 2018 - 08:30 WIB
Dialog Peradaban dan...
Dialog Peradaban dan Konsistensi Peran Indonesia
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

DALAM bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Samuel P Huntington meramalkan bahwa setelah komunisme runtuh pada 2001 di Uni Soviet akan terjadi benturan antara Barat dan Islam. Menurut Huntington, pola konflik sebelumnya antara Blok Timur dan Blok Barat masih sebatas kawasan Eropa dan merefleksikan konflik ideologis antara marxisme-komunisme versus liberalisme-kapitalisme. Di masa depan, kata Huntington, konflik akan melibatkan kawasan non-Eropa dan mengambil bentuk benturan peradaban. Mengapa peradaban menjadi faktor penting pemicu konflik? Huntington mengemukakan tesisnya sebagai berikut.

Pertama, perbedaan peradaban, di samping merupakan realitas, juga bersifat sangat substansial. Masyarakat pendukung peradaban yang berbeda itu mempunyai perbedaan visi tentang relasi manusia dengan Tuhan, negara dengan warganya, dan nilai yang melandasi tatanan sosial, seperti keadilan, hak asasi, kebebasan, dan responsibilitas. Kedua, kemajuan teknologi informasi mengintensifkan interaksi antarkelompok pendukung peradaban yang berbeda-beda. Intensitas interaksi ini semakin memperkuat kesadaran masyarakat akan eksistensi dan nilai peradabannya sendiri yang mempertajam perbedaan antar­peradaban.

Ketiga, transformasi sosial ekonomi mengakibatkan ne­gara kehilangan acuan identitas. Karena itu, timbullah revivalisme agama sebagai identifikasi diri yang memunculkan fundamentalisme agama di berbagai negara. Keempat, menguatnya kesadaran kelompok masyarakat akan eksistensi dan nilai peradabannya sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh “peran ganda” adidaya Barat. Bersamaan dengan kekuasaan yang dinikmati oleh negara-negara adidaya Barat, peradaban non-Barat mengalami revitalisasi secara signifikan. Kaum elite dan terpelajar yang terdidik di Barat dan berpola pikir seperti Barat kini justru berpikir kritis terhadap upaya Barat yang ingin mengubah tatanan internasional menjadi masyarakat dengan model Barat. Kelima, perbedaan di bidang peradaban dirasakan sangat kompleks sehingga lebih sulit diselesaikan karena persoalannya tidak lagi terletak pada “berada di pihak mana” akan tetapi “berada di pihak siapa.”

Tampaknya kecemasan Barat terhadap “ancaman” Islam banyak dilatarbelakangi oleh peristiwa, seperti Revolusi Iran 1979, serangan kelompok radikal Al-Qaeda, dan serangan teroris pada 11 September 2001 yang mengakibatkan World Trade Centre di New York runtuh dan sebagian gedung Pentagon di Washington rusak. Amerika Serikat (AS) bereaksi keras. Pada 7 Oktober 2001, AS menggempur Al-Qaeda di Afghanistan yang dicap sebagai dalang terorisme. AS berdalih tidak menyerang Islam dan bangsa Afghanistan, tetapi menumpas Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dan rezim Taliban yang melindungi Al-Qaeda. Serangan Islamic State in Iraq and Suriah (ISIS) di berbagai kota, termasuk kota-kota di Eropa, semakin menambah kecemasan Barat terhadap apa yang disebut Huntington sebagai “ancaman” Islam.

Dialog Barat dan Islam
Dalam bukunya The Islamic Threat: Myth or Reality ?, John L Esposito mengingatkan Barat agar berpikiran jernih dalam melihat diversitas gerakan Islam dan tidak hanya melihat adanya ancaman satu kelompok radikal Muslim. Esposito menjelaskan, sementara berbagai kalangan masyarakat Muslim mengimpikan terciptanya Tatanan Dunia Baru dan berjuta-juta Muslim di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, serta Asia Tenggara menginginkan terwujudnya liberalisasi politik dan demokratisasi, kesinambungan vitalitas Islam dan gerakan-gerakan Islam tidak perlu diartikan sebagai ancaman, tetapi sebagai tantangan. Bagi banyak kalangan Muslim, kata Esposito, revivalisme Islam merupakan gerakan sosial yang tujuannya adalah pengembangan masyarakat, bukan merupakan gerakan politik dan tidak perlu dimaknai untuk mendirikan negara Islam.

Islam dan kebanyakan gerakan-gerakan Islam, kata Esposito, tidak anti-Barat, tidak anti-Amerika, dan tidak anti-demokrasi.
Selanjutnya Esposito menjelaskan, gerakan-gerakan Islam tersebut tidak perlu diartikan sebagai ancaman terhadap kepentingan-kepentingan AS. Tantangan kita, kata Esposito, adalah bagaimana memahami secara lebih baik sejarah dan realitas-realitas dunia Muslim. Mengakui adanya diversitas dan banyak gerakan Islam, kata Esposito, akan bisa membantu kita melawan gambaran kita tentang adanya ancaman satu kelompok Muslim.

Hal ini, kata profesor di Georgetown University itu, memperkecil risiko terhadap ramalan yang kita buat sendiri tentang pertarungan Barat melawan ancaman satu kelompok radikal Muslim. Barat mempunyai posisi ideal yang menguntungkan dalam mengapresiasi aspirasi-aspirasi banyak kalangan di dunia Muslim, karena mereka berupaya mendefinisikan jalan-jalan baru bagi masa depan mereka.

Poin penting yang dapat ditarik dari pandangan Esposito adalah perlunya Barat memahami diversitas gerakan Islam. Untuk itu, yang diperlukan adalah dialog kebudayaan dan peradaban antara Barat serta Islam untuk membangun kerja sama dan kemitraan dalam menciptakan kemaslahatan hidup bersama, perdamaian sejati, dan kedamaian dunia yang hakiki. Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme bukan ajaran Islam. Kelompok kecil ekstremis, radikalisme, dan teroris hanya memakai label agama sebagai pembenaran gerakan mereka yang sebenarnya tidak Islami dan tidak mewakili mainstream Muslim.

Konsistensi Peran Indonesia
Tragedi Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) menimpa bangsa-bangsa yang terlibat perang harus tidak terulang lagi. Begitu pula Perang Salib (1095-1291) antara Kristen dan Muslim harus tidak terulang lagi. Perang dalam skala apa pun dan di mana pun harus dihindari. Sudah sepatutnya jalan diplomasi harus lebih diutamakan untuk menyelesaikan konflik sosial politik demi terciptanya perdamaian antar­kelompok masyarakat dan antar-bangsa. Karena perang, kapan pun dan di mana pun sudah pasti mengakibatkan terjadinya malapetaka dengan segala kekerasan, kekejaman, kebengisan, brutalitas, kengerian, kesengsaraan, kerusakan, korban harta benda, serta korban jiwa dan luka-luka.

Secara arif dan bijaksana, semua bangsa harus belajar dan mengambil butir-butir hikmah dari peristiwa tragis-destruktif peperangan yang pernah terjadi. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” begitu pesan bijak-arif Soekarno (presiden pertama RI). Umat manusia dan peradabannya harus diselamatkan dari bencana kehancuran. Jalan keselamatan ini dapat ditempuh melalui dialog antarumat beragama, dialog kebudayaan, dan dialog peradaban. Benturan peradaban antara Barat dan Islam serta benturan antaretnis/antarbangsa pendukung peradaban di belahan dunia mana pun harus dicegah dan jangan sampai terjadi. Tepat sekali haluan politik dan misi kenegaraan bangsa Indonesia yang secara konsisten berperan serta memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7852 seconds (0.1#10.140)