Artis dan Politik
A
A
A
SUDAH menjadi tren lima tahunan bahwa banyak artis tiba-tiba secara ramai-ramai ikut terjun ke politik praktis. Nama tenar yang mereka miliki menjadi modal kuat untuk bisa terpilih menjadi anggota legislatif di Senayan. Sayangnya, peran para artis di kancah politik sejauh ini belum memberikan warna dan kontribusi yang maksimal dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Tidak ada yang salah dengan artis yang kemudian beralih karier menjadi politikus. Setiap warga negara Indonesia, termasuk para artis, berhak untuk terjun ke dunia politik. Hanya, wajar juga sebagai publik figur, artis yang beralih profesi menjadi politikus banyak mendapat sorotan masyarakat. Akhir-akhir ini tercatat banyak artis yang tiba-tiba banting setir menjadi politikus. Sebut saja Andika, mantan personel Kangen Band; Vicky Shu, Giring Nidji, Dina Lorenza, Jane Shalimar, Hengky Kurniawan, Ahmad Dhani, dan Fauzi Baadila. Dari kalangan mantan atlet, ada mantan pebulu tangkis Taufik Hidayat, Ricky Subagja, dan mantan petinju Chris John.
Dan sejauh ini, berdasarkan pengalaman sebelumnya, artis cukup mudah bisa terpilih menjadi anggota DPR berkat ketenarannya. Ada sejumlah nama artis yang kini telah duduk sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Ada nama-nama seperti Nico Siahaan, Rieke Diah Pitaloka, Primus Yustisio, Desy Ratnasari, Anang Hermansyah, Jamal Mirdad, Rachel Mariam, Lucky Hakim, Krisna Mukti, Moreno Suprapto, Eko Patrio. Rata-rata mereka mendulang suara secara mudah di daerah pemilihannya masing-masing.
Nama besar yang disandang sang artis memang banyak menguntungkan dirinya. Dari sisi biaya, untuk kampanye atau sosialisasi pasti jauh lebih murah. Tak perlu kampanye pun, banyak masyarakat sudah mengenal bahkan mengaguminya, sehingga dari segi keterpilihan peluangnya sangat besar. Banyak parpol akhirnya memanfaatkan kepopuleran sang artis untuk mendulang suara dalam pemilu. Mereka pun digaet masuk partai dengan diberi “tiket khusus”.
Di sinilah akhirnya terjadi fenomena yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara sang artis dan parpol. Parpol perlu figur artis untuk mendongkrak perolehan suara. Sebaliknya, artis pun senang karena juga diberi kendaraan untuk menjadi politikus demi memperoleh gaji dan fasilitas yang cukup menggiurkan jika terpilih menjadi anggota DPR.
Namun, berbagai kalangan menilai banyaknya artis di Senayan saat ini belum banyak memberikan kontribusi, terutama saat pengambilan keputusan-keputusan terhadap isu-isu krusial yang menyangkut kepentingan masyarakat. Tak salah jika publik kemudian mengecap mereka masuk politik hanya sebagai pendongkrak suara partai dan jadi “pemanis“ saat di Parlemen.
Fenomena ini bisa dijadikan otokritik bagi artis yang ingin masuk Senayan di pemilu mendatang.
Jangan sampai mereka menjadi anggota DPR hanya untuk gagah-gagahan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Pasalnya, wakil rakyat itu sebenarnya mengemban tugas dan tanggung jawab yang besar terkait tiga fungsi utamanya, yakni pengawasan, penganggaran, dan pembuatan undang-undang. Apalagi, saat ini masyarakat sudah mulai cerdas dan kritis karena dukungan perkembangan media sosial yang begitu masif.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi di atas, masyarakat bisa dengan mudah menilai dan mengetahui profil serta kinerja wakil mereka yang ada di parlemen. Poin ini sudah seharusnya menjadi concern para artis saat nanti melenggang ke Senayan. Mereka juga dituntut untuk terus meningkatkan kapasitasnya sehingga bisa memenuhi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan para pemilihnya secara baik.
Sebaliknya, parpol pun punya tanggung jawab moral untuk membina para kadernya tersebut. Misalnya, memfasilitasi mereka mendapatkan pelatihan-pelatihan sehingga bisa mumpuni dalam menjalankan tugas-tugas kedewanan dengan profesional. Dengan niat baik dan kerja keras, bukan tidak mungkin para artis akan ikut mampu mewarnai kebijakan strategis di Parlemen.
Tidak ada yang salah dengan artis yang kemudian beralih karier menjadi politikus. Setiap warga negara Indonesia, termasuk para artis, berhak untuk terjun ke dunia politik. Hanya, wajar juga sebagai publik figur, artis yang beralih profesi menjadi politikus banyak mendapat sorotan masyarakat. Akhir-akhir ini tercatat banyak artis yang tiba-tiba banting setir menjadi politikus. Sebut saja Andika, mantan personel Kangen Band; Vicky Shu, Giring Nidji, Dina Lorenza, Jane Shalimar, Hengky Kurniawan, Ahmad Dhani, dan Fauzi Baadila. Dari kalangan mantan atlet, ada mantan pebulu tangkis Taufik Hidayat, Ricky Subagja, dan mantan petinju Chris John.
Dan sejauh ini, berdasarkan pengalaman sebelumnya, artis cukup mudah bisa terpilih menjadi anggota DPR berkat ketenarannya. Ada sejumlah nama artis yang kini telah duduk sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Ada nama-nama seperti Nico Siahaan, Rieke Diah Pitaloka, Primus Yustisio, Desy Ratnasari, Anang Hermansyah, Jamal Mirdad, Rachel Mariam, Lucky Hakim, Krisna Mukti, Moreno Suprapto, Eko Patrio. Rata-rata mereka mendulang suara secara mudah di daerah pemilihannya masing-masing.
Nama besar yang disandang sang artis memang banyak menguntungkan dirinya. Dari sisi biaya, untuk kampanye atau sosialisasi pasti jauh lebih murah. Tak perlu kampanye pun, banyak masyarakat sudah mengenal bahkan mengaguminya, sehingga dari segi keterpilihan peluangnya sangat besar. Banyak parpol akhirnya memanfaatkan kepopuleran sang artis untuk mendulang suara dalam pemilu. Mereka pun digaet masuk partai dengan diberi “tiket khusus”.
Di sinilah akhirnya terjadi fenomena yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara sang artis dan parpol. Parpol perlu figur artis untuk mendongkrak perolehan suara. Sebaliknya, artis pun senang karena juga diberi kendaraan untuk menjadi politikus demi memperoleh gaji dan fasilitas yang cukup menggiurkan jika terpilih menjadi anggota DPR.
Namun, berbagai kalangan menilai banyaknya artis di Senayan saat ini belum banyak memberikan kontribusi, terutama saat pengambilan keputusan-keputusan terhadap isu-isu krusial yang menyangkut kepentingan masyarakat. Tak salah jika publik kemudian mengecap mereka masuk politik hanya sebagai pendongkrak suara partai dan jadi “pemanis“ saat di Parlemen.
Fenomena ini bisa dijadikan otokritik bagi artis yang ingin masuk Senayan di pemilu mendatang.
Jangan sampai mereka menjadi anggota DPR hanya untuk gagah-gagahan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Pasalnya, wakil rakyat itu sebenarnya mengemban tugas dan tanggung jawab yang besar terkait tiga fungsi utamanya, yakni pengawasan, penganggaran, dan pembuatan undang-undang. Apalagi, saat ini masyarakat sudah mulai cerdas dan kritis karena dukungan perkembangan media sosial yang begitu masif.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi di atas, masyarakat bisa dengan mudah menilai dan mengetahui profil serta kinerja wakil mereka yang ada di parlemen. Poin ini sudah seharusnya menjadi concern para artis saat nanti melenggang ke Senayan. Mereka juga dituntut untuk terus meningkatkan kapasitasnya sehingga bisa memenuhi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan para pemilihnya secara baik.
Sebaliknya, parpol pun punya tanggung jawab moral untuk membina para kadernya tersebut. Misalnya, memfasilitasi mereka mendapatkan pelatihan-pelatihan sehingga bisa mumpuni dalam menjalankan tugas-tugas kedewanan dengan profesional. Dengan niat baik dan kerja keras, bukan tidak mungkin para artis akan ikut mampu mewarnai kebijakan strategis di Parlemen.
(wib)