Mental Block

Jum'at, 23 Februari 2018 - 07:51 WIB
Mental Block
Mental Block
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

SUATU hari seorang ibu berjalan bersama anaknya melewati seekor gajah yang kakinya diikat dengan gelang dari tali bambu, lalu gelang tali itu disambung dan diikatkan ke sebuah pohon kecil. Melihat seekor gajah yang besar hanya diikat dengan tali kecil, anak tadi ketakutan ingin lari menjauh. Namun, ibunya meyakinkan pada anaknya agar tidak usah takut dan tak perlu lari menjauh.

Anaknya heran akan nasihat ibunya, lalu menjawab: “Bu, gajah itu besar dan kuat. Sedangkan tali dan pohon itu kecil sekali, sangat mudah bagi gajah untuk lepas. Bagaimana kalau gajah itu lepas dan mengamuk? Pasti orang-orang kampung akan lari ketakutan.”

Ibu itu pun menjelaskan, gajah itu tak akan lari karena sejak masih kecil kakinya sudah dikenakan gelang pengikat terbuat dari tali sehingga gajah itu tak bisa dan tak pernah pergi jauh dari tempatnya. Setelah besar, gelang tali itu selalu dikenakan oleh pemiliknya sehingga gajah yang sudah besar dan berbadan kuat itu pun akan tetap merasa terikat kakinya dan tak mampu pergi jauh.

Gajah itu tidak lari bukan karena fisiknya lemah dan sakit, tetapi karena sudah tertanam kuat dalam dirinya bahwa kakinya selalu terikat sehingga tidak bisa pergi jauh, alih-alih lari.

Apa yang dijelaskan ibu di atas, dalam istilah psikologi disebut mental block, yaitu pengalaman buruk yang terekam kuat ketika masa kanak-kanak akan menghalangi pertumbuhan mentalnya secara optimal dalam perjalanan hidupnya, kecuali seseorang mampu membongkarnya.
Pengalaman pahit dan tertindas itu membuat dirinya kerdil, tidak percaya diri, dan tidak mampu menggali potensi kekuatan yang terpendam.

Dalam kehidupan anak terdapat banyak faktor dan pengalaman negatif yang membuat pribadi anak tidak berkembang akibat terjadi mental block. Salah satunya adalah sikap orang tua atau guru yang selalu menilai, memberi label dan memperlakukan anak sebagai anak bodoh, ditanamkan pandangan pesimis bahwa dia tidak akan sukses di masa depan, serta dibanding-bandingkan dengan anak lain yang dianggap pintar dan selalu bagus nilai ujiannya.

Orang tua atau guru yang otoriter, ingin anaknya selalu benar, anak tidak diberi kesempatan untuk mencoba hal baru dan mengalami berbuat salah, membuat anak tidak memiliki sikap percaya diri. Dia tidak akan pernah belajar dari kesalahan.

Anak akan terkondisikan melihat dirinya bodoh, tidak pernah dilatih untuk berimajinasi tentang masa depan yang lebih luas dan indah. Jika kondisi ini berkepanjangan, situasi ini akan menciptakan mental block, seperti gajah yang merasa terikat kakinya padahal hanya oleh tali rapuh.

Contoh lain, remaja yang menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan juga sangat potensial dihinggapi mental block. Mereka merasa kehilangan harga diri dan kebanggaan diri, bahkan ada yang hendak bunuh diri, masa depannya menjadi gelap, dan merasa dirinya dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya.

Pendeknya, hidup tak lagi menarik, bahkan dirasakan sebagai panggung derita dan penistaan. Oleh karenanya, remaja yang menjadi korban pemerkosaan sangat memerlukan bimbingan dan pendampingan psikologis serta penerimaan yang intens, tulus, dan dukungan dari keluarga serta teman-teman dekatnya.

Dalam konteks sosial, sebuah bangsa yang pernah lama dijajah sangat bisa jadi dihinggapi mental block. Suatu ingatan kolektif yang diwariskan dari orang tua pada anak-anaknya bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa yang kalah, lembek, dan bodoh, sehingga pantas dijajah bangsa lain.

Senang melecehkan bangsa sendiri (masochistic), mudah kagum terhadap hal-hal yang serba asing atau impor. Bangsa Indonesia yang lama dijajah asing, sekalipun sudah merdeka tetap saja mentalnya belum bisa tampil sebagai bangsa merdeka, berdaulat.

Ternyata tidak mudah memotong warisan mental block, padahal Indonesia merdeka dijemput dengan perjuangan berdarah-darah dan tak terhitung nyawa melayang. Sebuah agenda bangsa yang sangat urgen dan mendasar, bagaimana membangun generasi kreatif-inovatif yang bermental pemenang (winner mentality).

Pilkada itu mestinya menjadi ajang pembentukan pribadi tangguh, bermental juara, bukan menang karena money politics dan permainan kotor. Itu namanya pecundang demokrasi, bukannya pejuang dan pemenang kontestasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0611 seconds (0.1#10.140)