LBH BMI Siap Dampingi Warga Negara Gugat UU MD3 ke MK
A
A
A
JAKARTA - Langkah DPR yang akan menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dianggap cukup menghebohkan publik. Belum reda mengenai hal tersebut, publik kembali dihebohkan dengan penambahan kekuasaan DPR sebagaimana telah disepakati dan diatur dalam Undang-undang MD3 (MPR, DPD, DPR dan DPRD) yang tinggal diketok palu dalam Paripurna.
Menanggapi hal itu, Ridwan Darmawan, Direktur LBH Banteng Muda Indonesia (BMI) Pusat menyatakan siap menjembatani masyarakat yang tidak puas atas pengesahan undang-undang MD3.
"Kami siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat yang ingin mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, karena itu forumnya," ujar Ridwan kepada Sindonews, Kamis (15/2/2018).
Sebagai mantan aktivis 98, Ridwan mengaku kecewa dengan langkah yang diputuskan wakil rakyat di Senayan. Dia menganggap, keputusan DPR menjadi kado pahit jelang peringatan Reformasi 98 yang berusia 20 tahun ini.
Pria yang kini aktif sebagai Advokat dan sering berperkara di MK ini menjelaskan, bahwa uji materi bisa dilakukan melalui dua pendekatan, pertama uji Formil, yakni pengujian UU atas proses penetapannya yang tidak sesuai dengan UUD 1945, contoh, pengesahan UU MD3 tidak dilakukan secara transparan dan pelibatan publik yang minim bahkan tidak ada sama sekali, ini tentu bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata cara penyusunan Peraturan perundang-undangan.
Kedua, uji Materil, yakni pengujian undang-undang mengenai konten atau substansi yang diatur dalam UU itu bertentangan dengan Konstitusi. "LBH BMI siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat atau ormas yang tidak puas dan kecewa atas kemunduran reformasi dan demokrasi ini," ucap mantan aktivis Forum Kota ini.
Ridwan memberikan penjelasan kenapa UU MD3 perlu digugat ke MK; Pasal 122 huruf k, misalnya, mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Lewat Pasal 122 huruf k UU MD3, anggota DPR yang merasa publik telah menghina dirinya atau DPR, maka dia bisa melaporkan hal tersebut kepada MKD. Setelah diproses oleh MKD dan dinilai merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya, maka MKD bisa memidanakan orang perserorangan atau kelompok tersebut kepada yang berwenang.
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapus norma serupa di KUHP yang terkait dengan penghinaan pejabat negara dalam hal ini presiden dan wakil presiden pada 2006 silam. Dalam putusanya Nomor 013-022/PUU-IV/2016, MK menilai, pasal dengan norma tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi yang dituntut saat reformasi lalu.
Kini, DPR menghidupkan norma pasal tersebut di dalam UU MD3 dalam konteks pejabat negara, untuk melindugi lembaga dan institusinya dari kritik keras publik atas kinerja DPR dan perilaku para anggota DPR.
Melalui Pasal 122 huruf k ini pula, DPR mengubah fungsi MKD yang awalnya pengawas pelanggaran etika oleh anggota DPR, menjadi alat untuk melindungi anggota DPR dari kritik keras dan olok-olok publik.
"Selain pasal itu, masih ada lagi ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 yang mencedrai semangat reformasi dan demokrasi sekaligus, ironisnya pasal-pasal tersebut telah dimatikan oleh MK karena tidak sesuai dengan Konstitusi dan semangat zaman now," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Ridwan Darmawan, Direktur LBH Banteng Muda Indonesia (BMI) Pusat menyatakan siap menjembatani masyarakat yang tidak puas atas pengesahan undang-undang MD3.
"Kami siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat yang ingin mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, karena itu forumnya," ujar Ridwan kepada Sindonews, Kamis (15/2/2018).
Sebagai mantan aktivis 98, Ridwan mengaku kecewa dengan langkah yang diputuskan wakil rakyat di Senayan. Dia menganggap, keputusan DPR menjadi kado pahit jelang peringatan Reformasi 98 yang berusia 20 tahun ini.
Pria yang kini aktif sebagai Advokat dan sering berperkara di MK ini menjelaskan, bahwa uji materi bisa dilakukan melalui dua pendekatan, pertama uji Formil, yakni pengujian UU atas proses penetapannya yang tidak sesuai dengan UUD 1945, contoh, pengesahan UU MD3 tidak dilakukan secara transparan dan pelibatan publik yang minim bahkan tidak ada sama sekali, ini tentu bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata cara penyusunan Peraturan perundang-undangan.
Kedua, uji Materil, yakni pengujian undang-undang mengenai konten atau substansi yang diatur dalam UU itu bertentangan dengan Konstitusi. "LBH BMI siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat atau ormas yang tidak puas dan kecewa atas kemunduran reformasi dan demokrasi ini," ucap mantan aktivis Forum Kota ini.
Ridwan memberikan penjelasan kenapa UU MD3 perlu digugat ke MK; Pasal 122 huruf k, misalnya, mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Lewat Pasal 122 huruf k UU MD3, anggota DPR yang merasa publik telah menghina dirinya atau DPR, maka dia bisa melaporkan hal tersebut kepada MKD. Setelah diproses oleh MKD dan dinilai merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya, maka MKD bisa memidanakan orang perserorangan atau kelompok tersebut kepada yang berwenang.
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapus norma serupa di KUHP yang terkait dengan penghinaan pejabat negara dalam hal ini presiden dan wakil presiden pada 2006 silam. Dalam putusanya Nomor 013-022/PUU-IV/2016, MK menilai, pasal dengan norma tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi yang dituntut saat reformasi lalu.
Kini, DPR menghidupkan norma pasal tersebut di dalam UU MD3 dalam konteks pejabat negara, untuk melindugi lembaga dan institusinya dari kritik keras publik atas kinerja DPR dan perilaku para anggota DPR.
Melalui Pasal 122 huruf k ini pula, DPR mengubah fungsi MKD yang awalnya pengawas pelanggaran etika oleh anggota DPR, menjadi alat untuk melindungi anggota DPR dari kritik keras dan olok-olok publik.
"Selain pasal itu, masih ada lagi ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 yang mencedrai semangat reformasi dan demokrasi sekaligus, ironisnya pasal-pasal tersebut telah dimatikan oleh MK karena tidak sesuai dengan Konstitusi dan semangat zaman now," pungkasnya.
(pur)