Turki: Kemasan Sekuler, Konten Islam
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
KESULTANAN Turki Usmani berlangsung selama 642 tahun (1281-1923) dan Islam menjadi dasar, ikon, simbol, identitas, dan konstitusi negara. Sejak 1923, Turki mengalami perubahan tatanan politik dan ketatanegaraan secara fundamental ketika tokoh militer Mustafa Kemal Ataturk (1880-1938) mentransformasi Turki menjadi republik yang berbasis sekularisme dan Ataturk menjadi presiden pertamanya (1923-1938). Mulai dari 1923-1938, Ataturk melakukan gebrakan politik sangat drastis, radikal, dan ambisius.
Pada tahun 1924, Majelis Nasional Turki menghapus kekhalifahan. Jabatan Syaikhul Islamdan Menteri Waqaf ditiadakan dan undang-undang pendidikan disekulerkan. Pengadilan Islam dihapus pada tahun 1926 dan diganti dengan sistem hukum Swiss. Lafaz azan dalam bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. Dinilai kolot, semua organisasi tarekat dibubarkan. Dipandang sebagai atribut keislaman, jilbab (hijab) dilarang di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas. Ataturk melarang pemakaian tarbush (topi tradisional Turki) karena dianggap kuno dan usang.
Tiga pengawal “fanatik” sekularisme di Turki adalah militer, Mahkamah Konstitusi, dan universitas. Beberapa kali militer Turki melancarkan kudeta terhadap partai penguasa yang dinilai condong kepada Islam atau memperjuangkan agenda Islam. Pada tahun 1960, Cemal Gursel mengambil alih kekuasaan dari partai berorientasi Islam yang hendak melepaskan Turki dari Kemalisme-sekularisme. Pada tahun 1971, militer menggulingkan pemerintah menyusul kerusuhan politik yang dipicu oleh resesi ekonomi dan perlawanan rakyat prosekuler terhadap menguatnya gerakan kelompok Islam di Turki. Kudeta ini disebut “kudeta memorandum” karena berisi ultimatum Jenderal Memduh Tagmac kepada PM Suleyman Demirel untuk membubarkan pemerintahan.
Pada tahun 1997, militer lagi-lagi mengambil alih kekuasaan dari Presiden Suleyman Demirel yang dinilai condong kepada Islam dan dituduh hendak menyisihkan Kemalisme-sekularisme. Pada tahun 2012, militer berencana melakukan kudeta terhadap PM Recep Tayyib Erdogan yang partai dan pemerintahannya dinilai condong kepada Islam. Akibatnya, lebih dari 300 perwira militer ditangkap dan dipenjarakan oleh Erdogan.
Dengan alasan serupa, faksi militer pada tanggal 15 Juli 2016 melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Erdogan, tapi digagalkan oleh pasukan militer yang setia kepada Erdogan dan pemerintahannya. Setelah pemberontakan gagal ini, sejumlah perwira militer dan pejabat negara yang terlibat dalam pemberontakan dipecat, diadili, dan dipenjarakan. Fethullah Gulen disebut sebagai aktor intelektual di balik pemberontakan faksi militer ini.
Fenomena PKP
Adelat ve Kalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan/PKP) yang berhaluan Islam didirikan oleh Recep Tayyib Erdogan pada tahun 2001. Pada pemilu 2002, PKP memenangkan dua pertiga kursi di parlemen. Pada pilpres secara langsung yang diselenggarakan pada 22 Juli 2007, PKP memperoleh 341 kursi dari 550 kursi di parlemen dan berhasil mengantarkan capres Abdullah Gul terpilih sebagai presiden.
Kemenangan ini menjadi momentum strategis memperjuangkan agenda Islam. Abdullah Gul mengajukan usulan pencabutan larangan pemakaian jilbab di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas.
Menurut Abdullah Gul, memakai jilbab merupakan hak keagamaan dan kebebasan melaksanakan ajaran agama bagi kaum perempuan. Proposal Abdullah Gul tersebut diterima parlemen. Akan tetapi, partai-partai sekuler tidak kehabisan akal. Mereka memainkan senjata pamungkas dengan menuding PKP “melanggar” konstitusi sekuler Turki. Partai-partai sekuler membawa isu hijab ini ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi “memenangkan” partai-partai sekuler yang berarti larangan pemakaian jilbab di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas tetap berlaku.
Selanjutnya pada tanggal 10 Agustus 2014, pilpres diselenggarakan dan diikuti tiga capres, yaitu PM Recep Tayyib Erdogan yang diusung PKP berhaluan Islam, Ekmeleddin Ihsanoglu (mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam) yang didukung 13 partai oposisi, dan Selahattin Demirtas (Ketua Partai Demokratik Rakyat) yang diusung 8 partai sayap kiri. Dalam pilpres tersebut, Erdogan tampil sebagai pemenang dengan meraup suara 51,9 persen, Ekmeleddin memperoleh suara 38,44 persen, dan Selahattin mendapat suara 9,77 persen. Pilpres putaran kedua tidak perlu digelar karena Erdogan memperoleh suara lebih dari 50 persen. Lebih dari 55 juta warga negara memberikan hak pilih mereka, baik yang berada di Turki maupun berada di luar negeri.
Konten Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, Erdogan menang dalam Pilpres 2014. Mengapa mayoritas rakyat memilih Erdogan dalam Pilpres 2014? Karena Erdogan ketika menjadi perdana menteri selama sebelas tahun (2003-2014) banyak membuat kemajuan dan prestasi yang memakmurkan serta menyejahterakan kehidupan rakyat. Karya nyata dan prestasi besar Erdogan yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, menciptakan tatanan ekonomi liberal disertai upaya menjadi anggota Uni Eropa. Kedua, mendatangkan investasi asing yang mendukung perbaikan dan kemajuan ekonomi sehingga tingkat inflasi bisa ditekan. Ketiga, memperbaiki pelaksanaan HAM sehingga citra dan peringkat HAM Turki terus membaik di mata internasional.
Tiga faktor penting inilah menyebabkan rakyat memilih Erdogan sebagai presiden dan tidak memilih Ekmeleddin Ihsanoglu serta Selahattin Demirtas yang diusung partai-partai sekuler dalam Pilpres 2014. Mayoritas rakyat Turki tampak bersikap pragmatis. Capres mana pun yang mampu berkarya nyata, berprestasi baik, dan berhasil memberikan banyak kemaslahatan, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada rakyat, mereka pilih tanpa memandang latar belakang aliran politik capres dan haluan partai pendukungnya. Terpenting, hidup mereka diperhatikan, nasib mereka diperjuangkan, dan mereka merasakan kesejahteraan. Inilah faktor dominan terpilihnya Erdogan sebagai presiden karena dia terbukti memberikan banyak kebaikan, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada rakyat.
Terpilihnya Erdogan (yang didukung kuat partainya sendiri, PKP, yang berhaluan Islam) sebagai presiden, sekali lagi membuktikan bahwa lebih dari separuh rakyat Turki bersikap pragmatis dalam memberikan dukungan mereka di Pilpres 2014. Di bawah pemerintahan Erdogan, nilai-nilai Islam di ranah publik semakin bersemarak dan sekularisme tampak meredup. Nilai-nilai Islam ini bisa dilihat antara lain diperbolehkannya beberapa anggota parlemen perempuan memakai hijab. Secara formal konstitusional, Turki adalah negara sekuler, tetapi secara real, 99 persen rakyat Turki beragama Islam. Ini berarti sekularisme di Turki hanya merupakan kemasan luar saja, sedangkan kontennya adalah Islam.
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
KESULTANAN Turki Usmani berlangsung selama 642 tahun (1281-1923) dan Islam menjadi dasar, ikon, simbol, identitas, dan konstitusi negara. Sejak 1923, Turki mengalami perubahan tatanan politik dan ketatanegaraan secara fundamental ketika tokoh militer Mustafa Kemal Ataturk (1880-1938) mentransformasi Turki menjadi republik yang berbasis sekularisme dan Ataturk menjadi presiden pertamanya (1923-1938). Mulai dari 1923-1938, Ataturk melakukan gebrakan politik sangat drastis, radikal, dan ambisius.
Pada tahun 1924, Majelis Nasional Turki menghapus kekhalifahan. Jabatan Syaikhul Islamdan Menteri Waqaf ditiadakan dan undang-undang pendidikan disekulerkan. Pengadilan Islam dihapus pada tahun 1926 dan diganti dengan sistem hukum Swiss. Lafaz azan dalam bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. Dinilai kolot, semua organisasi tarekat dibubarkan. Dipandang sebagai atribut keislaman, jilbab (hijab) dilarang di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas. Ataturk melarang pemakaian tarbush (topi tradisional Turki) karena dianggap kuno dan usang.
Tiga pengawal “fanatik” sekularisme di Turki adalah militer, Mahkamah Konstitusi, dan universitas. Beberapa kali militer Turki melancarkan kudeta terhadap partai penguasa yang dinilai condong kepada Islam atau memperjuangkan agenda Islam. Pada tahun 1960, Cemal Gursel mengambil alih kekuasaan dari partai berorientasi Islam yang hendak melepaskan Turki dari Kemalisme-sekularisme. Pada tahun 1971, militer menggulingkan pemerintah menyusul kerusuhan politik yang dipicu oleh resesi ekonomi dan perlawanan rakyat prosekuler terhadap menguatnya gerakan kelompok Islam di Turki. Kudeta ini disebut “kudeta memorandum” karena berisi ultimatum Jenderal Memduh Tagmac kepada PM Suleyman Demirel untuk membubarkan pemerintahan.
Pada tahun 1997, militer lagi-lagi mengambil alih kekuasaan dari Presiden Suleyman Demirel yang dinilai condong kepada Islam dan dituduh hendak menyisihkan Kemalisme-sekularisme. Pada tahun 2012, militer berencana melakukan kudeta terhadap PM Recep Tayyib Erdogan yang partai dan pemerintahannya dinilai condong kepada Islam. Akibatnya, lebih dari 300 perwira militer ditangkap dan dipenjarakan oleh Erdogan.
Dengan alasan serupa, faksi militer pada tanggal 15 Juli 2016 melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Erdogan, tapi digagalkan oleh pasukan militer yang setia kepada Erdogan dan pemerintahannya. Setelah pemberontakan gagal ini, sejumlah perwira militer dan pejabat negara yang terlibat dalam pemberontakan dipecat, diadili, dan dipenjarakan. Fethullah Gulen disebut sebagai aktor intelektual di balik pemberontakan faksi militer ini.
Fenomena PKP
Adelat ve Kalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan/PKP) yang berhaluan Islam didirikan oleh Recep Tayyib Erdogan pada tahun 2001. Pada pemilu 2002, PKP memenangkan dua pertiga kursi di parlemen. Pada pilpres secara langsung yang diselenggarakan pada 22 Juli 2007, PKP memperoleh 341 kursi dari 550 kursi di parlemen dan berhasil mengantarkan capres Abdullah Gul terpilih sebagai presiden.
Kemenangan ini menjadi momentum strategis memperjuangkan agenda Islam. Abdullah Gul mengajukan usulan pencabutan larangan pemakaian jilbab di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas.
Menurut Abdullah Gul, memakai jilbab merupakan hak keagamaan dan kebebasan melaksanakan ajaran agama bagi kaum perempuan. Proposal Abdullah Gul tersebut diterima parlemen. Akan tetapi, partai-partai sekuler tidak kehabisan akal. Mereka memainkan senjata pamungkas dengan menuding PKP “melanggar” konstitusi sekuler Turki. Partai-partai sekuler membawa isu hijab ini ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi “memenangkan” partai-partai sekuler yang berarti larangan pemakaian jilbab di kantor pemerintahan, pengadilan, dan universitas tetap berlaku.
Selanjutnya pada tanggal 10 Agustus 2014, pilpres diselenggarakan dan diikuti tiga capres, yaitu PM Recep Tayyib Erdogan yang diusung PKP berhaluan Islam, Ekmeleddin Ihsanoglu (mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam) yang didukung 13 partai oposisi, dan Selahattin Demirtas (Ketua Partai Demokratik Rakyat) yang diusung 8 partai sayap kiri. Dalam pilpres tersebut, Erdogan tampil sebagai pemenang dengan meraup suara 51,9 persen, Ekmeleddin memperoleh suara 38,44 persen, dan Selahattin mendapat suara 9,77 persen. Pilpres putaran kedua tidak perlu digelar karena Erdogan memperoleh suara lebih dari 50 persen. Lebih dari 55 juta warga negara memberikan hak pilih mereka, baik yang berada di Turki maupun berada di luar negeri.
Konten Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, Erdogan menang dalam Pilpres 2014. Mengapa mayoritas rakyat memilih Erdogan dalam Pilpres 2014? Karena Erdogan ketika menjadi perdana menteri selama sebelas tahun (2003-2014) banyak membuat kemajuan dan prestasi yang memakmurkan serta menyejahterakan kehidupan rakyat. Karya nyata dan prestasi besar Erdogan yang memberikan kesejahteraan kepada rakyat dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, menciptakan tatanan ekonomi liberal disertai upaya menjadi anggota Uni Eropa. Kedua, mendatangkan investasi asing yang mendukung perbaikan dan kemajuan ekonomi sehingga tingkat inflasi bisa ditekan. Ketiga, memperbaiki pelaksanaan HAM sehingga citra dan peringkat HAM Turki terus membaik di mata internasional.
Tiga faktor penting inilah menyebabkan rakyat memilih Erdogan sebagai presiden dan tidak memilih Ekmeleddin Ihsanoglu serta Selahattin Demirtas yang diusung partai-partai sekuler dalam Pilpres 2014. Mayoritas rakyat Turki tampak bersikap pragmatis. Capres mana pun yang mampu berkarya nyata, berprestasi baik, dan berhasil memberikan banyak kemaslahatan, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada rakyat, mereka pilih tanpa memandang latar belakang aliran politik capres dan haluan partai pendukungnya. Terpenting, hidup mereka diperhatikan, nasib mereka diperjuangkan, dan mereka merasakan kesejahteraan. Inilah faktor dominan terpilihnya Erdogan sebagai presiden karena dia terbukti memberikan banyak kebaikan, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada rakyat.
Terpilihnya Erdogan (yang didukung kuat partainya sendiri, PKP, yang berhaluan Islam) sebagai presiden, sekali lagi membuktikan bahwa lebih dari separuh rakyat Turki bersikap pragmatis dalam memberikan dukungan mereka di Pilpres 2014. Di bawah pemerintahan Erdogan, nilai-nilai Islam di ranah publik semakin bersemarak dan sekularisme tampak meredup. Nilai-nilai Islam ini bisa dilihat antara lain diperbolehkannya beberapa anggota parlemen perempuan memakai hijab. Secara formal konstitusional, Turki adalah negara sekuler, tetapi secara real, 99 persen rakyat Turki beragama Islam. Ini berarti sekularisme di Turki hanya merupakan kemasan luar saja, sedangkan kontennya adalah Islam.
(kri)