Turki: Kemasan Sekuler, Konten Islam

Kamis, 15 Februari 2018 - 07:39 WIB
Turki: Kemasan Sekuler,...
Turki: Kemasan Sekuler, Konten Islam
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

KESULTANAN Turki Usmani berlangsung selama 642 tahun (1281-1923) dan Islam menjadi dasar, ikon, sim­bol, identitas, dan konstitusi ne­gara. Sejak 1923, Turki me­ng­alami perubahan tatanan po­litik dan ketatanegaraan secara fun­damental ketika tokoh mi­li­ter Mustafa Kemal Ataturk (1880-1938) mentransformasi Turki menjadi republik yang berbasis sekularisme dan Ata­turk men­jadi presiden per­tamanya (1923-1938). Mulai dari 1923-1938, Ataturk me­lakukan gebrakan politik sangat drastis, radikal, dan ambisius.

Pada tahun 1924, Majelis Na­sional Turki menghapus ke­khalifahan. Jabatan Syaikhul Is­lamdan Menteri Waqaf di­tia­dakan dan undang-undang pen­di­dikan disekulerkan. Peng­adilan Islam dihapus pada ta­hun 1926 dan diganti dengan sist­em hukum Swiss. Lafaz azan da­lam bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. Dinilai kolot, semua organisasi tarekat di­bubarkan. Dipandang se­ba­gai atribut keislaman, jilbab (hijab) dilarang di kantor pe­me­rintahan, pengadilan, dan uni­versitas. Ataturk melarang pe­ma­kaian tarbush (topi tra­di­sional Turki) karena dianggap kuno dan usang.

Tiga pengawal “fanatik” se­kularisme di Turki adalah mi­liter, Mahkamah Konstitusi, dan universitas. Beberapa kali mi­liter Turki melancarkan ku­deta terhadap partai penguasa yang dinilai condong kepada Is­lam atau memperjuangkan agen­da Islam. Pada tahun 1960, Cemal Gursel meng­am­bil alih kekuasaan dari partai ber­orien­ta­si Islam yang hen­dak me­le­paskan Turki dari Ke­malisme-sekularisme. Pada ta­hun 1971, militer meng­gu­ling­kan pe­me­rin­tah menyusul kerusuhan po­litik yang dipicu oleh resesi eko­nomi dan per­lawanan rakyat prosekuler ter­hadap menguat­nya gerakan kelompok Islam di Turki. Ku­deta ini disebut “ku­deta me­morandum” karena ber­isi ul­timatum Jenderal Mem­duh Tag­mac kepada PM Su­leyman Demirel untuk mem­bubarkan pemerintahan.

Pada tahun 1997, militer lagi-lagi mengambil alih ke­kuasaan dari Presiden Su­ley­man Demirel yang dinilai con­dong kepada Islam dan dituduh hendak menyisihkan Kema­lis­me-sekularisme. Pada tahun 2012, militer berencana mela­ku­kan kudeta terhadap PM Recep Tayyib Erdogan yang partai dan pemerintahannya dinilai condong kepada Islam. Akibatnya, lebih dari 300 per­wira militer ditangkap dan di­pen­jarakan oleh Erdogan.

De­ngan alasan serupa, faksi mi­liter pada tanggal 15 Juli 2016 melancarkan kudeta terhadap pe­merintahan Presiden Er­do­gan, tapi digagalkan oleh pa­sukan militer yang setia kepada Erdogan dan pe­me­rin­tah­an­nya. Setelah pemberontakan ga­gal ini, sejumlah perwira mi­liter dan pejabat negara yang terlibat dalam pemberontakan di­pecat, diadili, dan di­pen­ja­rakan. Fethullah Gulen disebut sebagai aktor intelektual di balik pemberontakan faksi mi­liter ini.

Fenomena PKP
Adelat ve Kalkinma Partisi (Partai Keadilan dan Pem­ba­ngunan/PKP) yang berhaluan Islam didirikan oleh Recep Tayyib Erdogan pada tahun 2001. Pada pemilu 2002, PKP me­menangkan dua pertiga kursi di parlemen. Pada pilpres secara langsung yang di­se­lenggarakan pada 22 Juli 2007, PKP memperoleh 341 kursi dari 550 kursi di parlemen dan ber­hasil mengantarkan capres Abdullah Gul terpilih sebagai presiden.
Kemenangan ini menjadi momentum strategis mem­per­juangkan agenda Islam. Ab­dul­lah Gul mengajukan usulan pen­cabutan larangan pema­kai­an jilbab di kantor pe­me­rin­tahan, pengadilan, dan uni­ver­si­tas.

Menurut Ab­dul­lah Gul, memakai jilbab me­ru­pakan hak keagamaan dan ke­bebasan me­laksanakan ajaran agama bagi kaum perempuan. Proposal Abdullah Gul ter­se­but diterima parlemen. Akan tetapi, partai-partai sekuler tidak kehabisan akal. Mereka memainkan sen­jata pamung­kas dengan me­nu­ding PKP “melanggar” kons­ti­tu­si se­kuler Turki. Partai-partai se­kuler membawa isu hijab ini ke Mahkamah Konstitusi. Mah­kamah Konstitusi “m­e­me­nang­kan” partai-partai seku­ler yang berarti larangan pe­ma­kaian jilbab di kantor pe­merintahan, pengadilan, dan universitas te­tap berlaku.

Selanjutnya pada tanggal 10 Agustus 2014, pilpres di­se­leng­garakan dan diikuti tiga capres, yaitu PM Recep Tayyib Erdogan yang diusung PKP berhaluan Islam, Ekmeleddin Ihsanoglu (mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam) yang didukung 13 partai opo­sisi, dan Selahattin Demirtas (Ketua Partai Demokratik Rak­yat) yang diusung 8 partai sayap kiri. Dalam pilpres tersebut, Er­dogan tampil sebagai pe­me­nang dengan meraup suara 51,9 persen, Ekmeleddin mem­per­oleh suara 38,44 persen, dan Se­lahattin mendapat suara 9,77 persen. Pilpres putaran kedua tidak perlu digelar karena Er­do­gan memperoleh suara lebih dari 50 persen. Lebih dari 55 juta warga negara memberikan hak pilih mereka, baik yang berada di Turki maupun berada di luar negeri.

Konten Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, Erdogan menang dalam Pil­pres 2014. Mengapa ma­yo­ritas rakyat memilih Erdogan da­lam Pilpres 2014? Karena Er­dogan ketika menjadi perdana menteri selama sebelas tahun (2003-2014) banyak membuat kemajuan dan prestasi yang memakmurkan serta menye­jah­terakan kehidupan rakyat. Karya nyata dan prestasi besar Erdogan yang memberikan ke­sejahteraan kepada rakyat dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, menciptakan tatanan ekonomi liberal disertai upaya menjadi anggota Uni Eropa. Kedua, mendatangkan inves­tasi asing yang mendukung per­baikan dan kemajuan ekonomi sehingga tingkat inflasi bisa ditekan. Ketiga, memperbaiki pelaksanaan HAM sehingga citra dan peringkat HAM Turki terus membaik di mata in­ter­nasional.

Tiga faktor penting inilah menyebabkan rakyat memilih Erdogan sebagai presiden dan tidak memilih Ekmeleddin Ih­sa­noglu serta Selahattin De­mirtas yang diusung partai-partai sekuler dalam Pilpres 2014. Mayoritas rakyat Turki tampak bersikap pragmatis. Capres mana pun yang mampu berkarya nyata, berprestasi baik, dan berhasil memberikan banyak kemaslahatan, ke­mak­muran, dan kesejahteraan ke­pa­da rakyat, mereka pilih tanpa memandang latar belakang aliran politik capres dan haluan partai pendukungnya. Ter­pen­ting, hidup mereka diper­ha­ti­kan, nasib mereka diper­juang­kan, dan mereka merasakan kesejahteraan. Inilah faktor dominan terpilihnya Erdogan sebagai presiden karena dia terbukti memberikan banyak kebaikan, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada rakyat.

Terpilihnya Erdogan (yang didukung kuat partainya sen­diri, PKP, yang berhaluan Islam) sebagai presiden, sekali lagi membuktikan bahwa lebih dari separuh rakyat Turki bersikap pragmatis dalam memberikan dukungan mereka di Pilpres 2014. Di bawah pemerintahan Erdogan, nilai-nilai Islam di ranah publik semakin ber­se­ma­rak dan sekularisme tampak me­redup. Nilai-nilai Islam ini bisa dilihat antara lain diper­bolehkannya beberapa anggota parlemen perempuan memakai hijab. Secara formal kons­ti­tu­sio­nal, Turki adalah negara sekuler, tetapi secara real, 99 persen rakyat Turki beragama Islam. Ini berarti sekularisme di Turki hanya merupakan ke­mas­an luar saja, sedangkan kon­tennya adalah Islam.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)