Publik Menduga Ada 'Main Mata' Lolosnya UU MD3 dan Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai ada peristiwa aneh saat revisi UU MD3 (MPR, DPD, DPR dan DPRD) disahkan dengan penambahan tiga kekuasaan pada DPR, di mana dua partai oposisi tak menyatakan protes terhadap keputusan yang dianggap kontroversial.
"Biasanya, Gerindra dan PKS kerap bersuara lantang terutama soal jaminan kebebasan rakyat dalam berekspresi dan upaya berantas korupsi di parlemen," ujar Adi saat dihubungi Sindonews, Rabu (14/2/2018).
Sementara, kata Adi, pada spektrum lain, publik dikagetkan atau mendapati ada upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang sangat subversif itu dalam RUU KUHP yang tengah digodok saat ini antara pemerintah dan DPR. Menurut dia, dinamikanya pun relatif sama, adem ayem nyaris tak ada konfrontasi.
Adi mengatakan, Publik patut menduga, jangan-jangan ada 'main mata' antara DPR dan Pemerintah untuk meloloskan dua kebijakan UU (UU MD3 dan Pasal penghinaan presiden) yang sangat kontroversial ini lantaran dinamika pembahasanya cenderung landai.
Bahkan menurutnya, pada titik ekstrim ada yang menengarai UU MD3 ini sebagai alat tukar untuk meloloskan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan KUHP yang telah disahkan.
"Jika meilihat konteksnya, saya lihat tak ada yang kebetulan dari 2 proses pengesahan UU MD3 dengan upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden itu yang saling berdekatan. Pasti ada 'sesuatu'nya," ucapnya.
Pengamat Politik UIN Jakarta ini menambahkan, terlepas dari itu semua, katanya, hasil UU MD3 dan uapaya mengembalikan pasal penghinaan presiden jelas mengangkangi demokrasi. "Rakyat mau dikerangkeng tak boleh kritik DPR dan pemerintah. Ini demokrasi macam apa," pungkasnya.
"Biasanya, Gerindra dan PKS kerap bersuara lantang terutama soal jaminan kebebasan rakyat dalam berekspresi dan upaya berantas korupsi di parlemen," ujar Adi saat dihubungi Sindonews, Rabu (14/2/2018).
Sementara, kata Adi, pada spektrum lain, publik dikagetkan atau mendapati ada upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang sangat subversif itu dalam RUU KUHP yang tengah digodok saat ini antara pemerintah dan DPR. Menurut dia, dinamikanya pun relatif sama, adem ayem nyaris tak ada konfrontasi.
Adi mengatakan, Publik patut menduga, jangan-jangan ada 'main mata' antara DPR dan Pemerintah untuk meloloskan dua kebijakan UU (UU MD3 dan Pasal penghinaan presiden) yang sangat kontroversial ini lantaran dinamika pembahasanya cenderung landai.
Bahkan menurutnya, pada titik ekstrim ada yang menengarai UU MD3 ini sebagai alat tukar untuk meloloskan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan KUHP yang telah disahkan.
"Jika meilihat konteksnya, saya lihat tak ada yang kebetulan dari 2 proses pengesahan UU MD3 dengan upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden itu yang saling berdekatan. Pasti ada 'sesuatu'nya," ucapnya.
Pengamat Politik UIN Jakarta ini menambahkan, terlepas dari itu semua, katanya, hasil UU MD3 dan uapaya mengembalikan pasal penghinaan presiden jelas mengangkangi demokrasi. "Rakyat mau dikerangkeng tak boleh kritik DPR dan pemerintah. Ini demokrasi macam apa," pungkasnya.
(pur)