Dicetuskan di Tahun Politik, Zakat PNS Muslim Sangat Sensitif
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menilai pemotongan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) muslim sebesar 2,5% untuk zakat tidak tepat. Menurutnya, diskursus ini akan menimbulkan polemik, karena diusulkan di tahun politik. Publik bisa saja menduga bahwa pemotongan ini hanya untuk menutup defesit anggaran.
"Ada anggapan pemerintah sedang mencari dana untuk menambal defisit anggaran saat ini. Wacana ini sangat tidak tepat dan perlu kajian berulang-ulang. Apalagi itu dicetuskan di tahun politik. Sangat sensitif sehingga perlu kehati-hatian penuh, karena potensinya tidak sedikit, bisa mencapai di atas Rp200 triliun," ujarnya kepada SINDO, Minggu (11/2/2018).
Zakat, kata Heri, merupakan wilayah privat yang bersifat sukarela. Tidak semua ASN muslim wajib berzakat. Ada kelompok ASN yang justru berhak menerima zakat. Diskursus ini seperti tidak sensitif terhadap kesanggupan ASN. Disebutkan bahwa ASN yang wajib dipungut zakat yang penghasilannya setara 85 gram emas setahun.
"Kalau kita pakai patokan harga emas per 7 Februari 2018 sebesar Rp576.511 per gram, maka emas 85 gram itu setara dengan penghasilan Rp49.003.435 per tahun atau per bulannya sebesar Rp4 juta. Artinya, ASN dengan penghasilan minimal Rp4 juta per bulan dikenai potongan zakat. Dengan gaji sebesar itu banyak ASN yang tidak cukup memenuhi kebutuhannya karena alasan macam-macam, dari kebutuhan harian, bayar sekolah anak, sampai bayar kredit, dan utang," ujarnya.
Dia mengimbau harusnya mekanisme pemotongan untuk zakat, ditentukan setelah jumlah pendapatan ASN dipotong semua pengeluaran kebutuhan dasarnya, seperti utang dan pengeluaran biaya operasional selama bekerja. Dari situlah negara baru bisa menetapkan seorang ASN telah berkewajiban mengeluarkan zakat profesi.
"Ketimbang berpolemik terkait mekanisme memungut zakat dari penghasilan, sebaiknya pemerintah membenahi mekanisme pengelolaan zakat agar lebih profesional dan transparan. Dengan begitu, kepercayaan umat terhadap pengelolaan zakat oleh pemerintah akan lebih baik," jelasnya.
Zakat nyaris sama dengan pajak. Bila zakat masuk wilayah privat yang diatur hukum syariah, maka pajak masuk ranah publik. Jangan sampai, sambungnya, muncul pandangan, pungutan zakat lewat Perpres itu cara tersembunyi pemerintah untuk menutup defisit anggaran karena penghasilan pajak yang terus meleset dari target.
"Sementara 80% pendapatan pemerintah bergantung dari situ. Wacana tersebut harus ditinjau ulang dengan hati-hati. Pemerintah perlu melibatkan seluruh elemen atau organisasi Islam untuk memusyawarahkan hal tersebut," tegasnya.
"Ada anggapan pemerintah sedang mencari dana untuk menambal defisit anggaran saat ini. Wacana ini sangat tidak tepat dan perlu kajian berulang-ulang. Apalagi itu dicetuskan di tahun politik. Sangat sensitif sehingga perlu kehati-hatian penuh, karena potensinya tidak sedikit, bisa mencapai di atas Rp200 triliun," ujarnya kepada SINDO, Minggu (11/2/2018).
Zakat, kata Heri, merupakan wilayah privat yang bersifat sukarela. Tidak semua ASN muslim wajib berzakat. Ada kelompok ASN yang justru berhak menerima zakat. Diskursus ini seperti tidak sensitif terhadap kesanggupan ASN. Disebutkan bahwa ASN yang wajib dipungut zakat yang penghasilannya setara 85 gram emas setahun.
"Kalau kita pakai patokan harga emas per 7 Februari 2018 sebesar Rp576.511 per gram, maka emas 85 gram itu setara dengan penghasilan Rp49.003.435 per tahun atau per bulannya sebesar Rp4 juta. Artinya, ASN dengan penghasilan minimal Rp4 juta per bulan dikenai potongan zakat. Dengan gaji sebesar itu banyak ASN yang tidak cukup memenuhi kebutuhannya karena alasan macam-macam, dari kebutuhan harian, bayar sekolah anak, sampai bayar kredit, dan utang," ujarnya.
Dia mengimbau harusnya mekanisme pemotongan untuk zakat, ditentukan setelah jumlah pendapatan ASN dipotong semua pengeluaran kebutuhan dasarnya, seperti utang dan pengeluaran biaya operasional selama bekerja. Dari situlah negara baru bisa menetapkan seorang ASN telah berkewajiban mengeluarkan zakat profesi.
"Ketimbang berpolemik terkait mekanisme memungut zakat dari penghasilan, sebaiknya pemerintah membenahi mekanisme pengelolaan zakat agar lebih profesional dan transparan. Dengan begitu, kepercayaan umat terhadap pengelolaan zakat oleh pemerintah akan lebih baik," jelasnya.
Zakat nyaris sama dengan pajak. Bila zakat masuk wilayah privat yang diatur hukum syariah, maka pajak masuk ranah publik. Jangan sampai, sambungnya, muncul pandangan, pungutan zakat lewat Perpres itu cara tersembunyi pemerintah untuk menutup defisit anggaran karena penghasilan pajak yang terus meleset dari target.
"Sementara 80% pendapatan pemerintah bergantung dari situ. Wacana tersebut harus ditinjau ulang dengan hati-hati. Pemerintah perlu melibatkan seluruh elemen atau organisasi Islam untuk memusyawarahkan hal tersebut," tegasnya.
(kri)