Moralitas Pemimpin
A
A
A
Benny Susetyo
Penasihat UKP Pancasila
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 sudah di ambang pintu. Ada harapan pilkada kali ini tidak akan segaduh Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi optimisme ini. Pertama, karena peta koalisi partai politik yang cukup cair sehingga mereduksi intensitas peperangan pesan di ruang publik.
Kedua, karena masyarakat pemilih sudah banyak belajar dari pengalaman atau pengamatan dari gelaran pilkada sebelumnya yang berlarut-larut dan sangat melelahkan. Masyarakat sudah lebih sadar dan jernih dalam membaca situasi-situasi di tengah kompetisi yang terjadi sehingga tidak akan mudah lagi terpancing atau terprovokasi oleh berbagai ujaran kebencian ataupun oleh banyak beredarnya hoax.
Meskipun demikian, Pilkada 2018 masih menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang pelik, yakni masalah moralitas pada diri sejumlah kandidat calon pemimpin.
Turut berkompetisinya sejumlah kandidat calon pemimpin yang cacat moral atau memiliki rekam jejak moralitas yang negatif dalam pilkada menjadi tantangan tersendiri dalam memilih sosok pemimpin yang tepat. Karenanya, mendesak untuk segera disikapi secara tepat.
Apalagi jika di mata masyarakat dilihat sebagai perkara sangat serius dan jelas-jelas mencederai rasa kemanusiaan serta keadilan. Sebagai misal, salah satu kasus yang tengah mendapatkan perhatian tinggi dari media dan masyarakat luas adalah dugaan tindakan amoral oleh MS, calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap asisten rumah tangganya sampai melahirkan anak.
Kasus yang belum lama dilaporkan ke Komnas HAM oleh Aliansi Masyarakat Penegak Integritas Bangsa Indonesia (Ampibi) ini sungguh melukai nurani publik. Ketika terbukti benar, dengan rekam jejak yang demikian itu, lantas keteladanan seperti apa yang bisa diharapkan dari kandidat itu jika ternyata terpilih menjadi pemimpin masyarakat?
Moralitas sebagai Landasan Bertindak
Dalam politik, moralitas merupakan faktor sangat penting. Moralitas menjadi elemen yang menentukan karakter seorang pemimpin. Karena nilai-nilai moral menjadi landasan dalam bertidak, dalam berperilaku, dan juga dalam membuat keputusan-keputusan.
Dengan nilai-nilai itu, seorang pemimpin akan dimampukan untuk memaknai jabatan yang dipercayakan padanya sebagai amanah dan tanggung jawab, yang kemudian bisa diejawantahkan melalui keputusan-keputusan etis dan implementasi-implementasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta keadilan.
Sudah semestinya seorang pemimpin itu harus bisa menjadi contoh, panutan, dan teladan bagi rakyat, juga bagi mereka yang ada di bawah struktur kepemimpinannya. Dengan integritas yang dimiliki, seorang pemimpin dapat menepati kata-kata dan janji-janji untuk sebuah tata kelola pemerintahan yang baik untuk kondisi kerja suportif dan positif serta untuk hubungan kerja yang konstruktif dan bermartabat.
Tanpa identitas moral yang jelas, jika itu terbukti nyata dalam rekam jejaknya, landasan tindakan dan perilaku pemimpin dalam menjalankan amanatnya akan segera dipertanyakan. Merujuk pada pemikiran Imannuel Kant bahwa moralitas dan politik itu adalah dua perkara saling berketergantungan, yang berarti tidak bisa dipisahkan satu sama lain, maka untuk sebuah praktik politik yang baik, seorang kandidat pemimpin tidaklah boleh cacat moral dan cacat perilaku.
Cerdas dan Tegas Dalam Memilih
Gelaran pilkada semestinya menjadi kesempatan yang bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh warga guna memilah dan memilih pemimpin terbaik dari sejumlah kandidat yang ada. Untuk memilih pemimpin yang selalu berkaca pada dimensi moral dalam mengelola pemerintahannya, dalam membuat keputusan-keputusan, serta dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, besar harapan tingkah laku serta pemikiran-pemikirannya akan dipertanggungjawabkannya sepenuh hati. Mandatnya akan terjawab secara tepat dan membuahkan manfaat bagi masyarakat luas. Sebaliknya, jika yang terpilih adalah mereka yang secara moral bermasalah, maka sangat mungkin pemimpin itu terjatuh dalam urusan atau kepentingan pribadi atau kroninya saja, maka risiko terjadinya tindak korupsi, kolusi, nepotisme, serta bentuk-bentuk penyalahgunaan jabatan lainnya akan tinggi.
Di era digital, di mana personal branding sering dikemas tanpa memperhitungkan bisa tidaknya brand promises terpenuhi, bisa saja seorang kandidat bersolek diri sedemikian rupa lewat pencitraannya dengan jargon-jargon jauh dari identitas moralnya dan dengan janji-janji indah yang kosong.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, pencitraan itu sangat mungkin dilakukan secara masif dan dalam kemasan memikat. Karenanya, jangan sampai masyarakat terkena manipulasi politik yang dilancarkan para kandidat yang sering tidak memberikan gagasan-gagasan konkret untuk perubahan wilayah dan keberpihakan kepada masyarakatnya.
Untuk wilayah yang calon kepala daerahnya tersangkut kasus moralitas, kuncinya ada pada masyarakatnya sendiri. Mereka tidak boleh cepat percaya pada janji-janji kampanye saja, tetapi harus mau melihat sampai ke dalam-dalamnya, seperti apa rekam jejak dan pengalaman hidupnya.
Jangan sampai tertipu oleh kemasan politik yang indah-indah. Setelah tahu rekam jejaknya, masyarakat juga harus lebih kritis, selektif, dan cerdas dalam memilih. Kalau memang moralitas calon pemimpinnya hancur, jangan dipilih.
Bagus atau tidaknya moralitas pemimpin akan berdampak pada setiap kebijakan yang dibuat, yang berarti juga memengaruhi semakin bagus atau tidaknya kualitas kehidupan bermasyarakat.
Penasihat UKP Pancasila
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 sudah di ambang pintu. Ada harapan pilkada kali ini tidak akan segaduh Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi optimisme ini. Pertama, karena peta koalisi partai politik yang cukup cair sehingga mereduksi intensitas peperangan pesan di ruang publik.
Kedua, karena masyarakat pemilih sudah banyak belajar dari pengalaman atau pengamatan dari gelaran pilkada sebelumnya yang berlarut-larut dan sangat melelahkan. Masyarakat sudah lebih sadar dan jernih dalam membaca situasi-situasi di tengah kompetisi yang terjadi sehingga tidak akan mudah lagi terpancing atau terprovokasi oleh berbagai ujaran kebencian ataupun oleh banyak beredarnya hoax.
Meskipun demikian, Pilkada 2018 masih menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang pelik, yakni masalah moralitas pada diri sejumlah kandidat calon pemimpin.
Turut berkompetisinya sejumlah kandidat calon pemimpin yang cacat moral atau memiliki rekam jejak moralitas yang negatif dalam pilkada menjadi tantangan tersendiri dalam memilih sosok pemimpin yang tepat. Karenanya, mendesak untuk segera disikapi secara tepat.
Apalagi jika di mata masyarakat dilihat sebagai perkara sangat serius dan jelas-jelas mencederai rasa kemanusiaan serta keadilan. Sebagai misal, salah satu kasus yang tengah mendapatkan perhatian tinggi dari media dan masyarakat luas adalah dugaan tindakan amoral oleh MS, calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap asisten rumah tangganya sampai melahirkan anak.
Kasus yang belum lama dilaporkan ke Komnas HAM oleh Aliansi Masyarakat Penegak Integritas Bangsa Indonesia (Ampibi) ini sungguh melukai nurani publik. Ketika terbukti benar, dengan rekam jejak yang demikian itu, lantas keteladanan seperti apa yang bisa diharapkan dari kandidat itu jika ternyata terpilih menjadi pemimpin masyarakat?
Moralitas sebagai Landasan Bertindak
Dalam politik, moralitas merupakan faktor sangat penting. Moralitas menjadi elemen yang menentukan karakter seorang pemimpin. Karena nilai-nilai moral menjadi landasan dalam bertidak, dalam berperilaku, dan juga dalam membuat keputusan-keputusan.
Dengan nilai-nilai itu, seorang pemimpin akan dimampukan untuk memaknai jabatan yang dipercayakan padanya sebagai amanah dan tanggung jawab, yang kemudian bisa diejawantahkan melalui keputusan-keputusan etis dan implementasi-implementasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta keadilan.
Sudah semestinya seorang pemimpin itu harus bisa menjadi contoh, panutan, dan teladan bagi rakyat, juga bagi mereka yang ada di bawah struktur kepemimpinannya. Dengan integritas yang dimiliki, seorang pemimpin dapat menepati kata-kata dan janji-janji untuk sebuah tata kelola pemerintahan yang baik untuk kondisi kerja suportif dan positif serta untuk hubungan kerja yang konstruktif dan bermartabat.
Tanpa identitas moral yang jelas, jika itu terbukti nyata dalam rekam jejaknya, landasan tindakan dan perilaku pemimpin dalam menjalankan amanatnya akan segera dipertanyakan. Merujuk pada pemikiran Imannuel Kant bahwa moralitas dan politik itu adalah dua perkara saling berketergantungan, yang berarti tidak bisa dipisahkan satu sama lain, maka untuk sebuah praktik politik yang baik, seorang kandidat pemimpin tidaklah boleh cacat moral dan cacat perilaku.
Cerdas dan Tegas Dalam Memilih
Gelaran pilkada semestinya menjadi kesempatan yang bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh warga guna memilah dan memilih pemimpin terbaik dari sejumlah kandidat yang ada. Untuk memilih pemimpin yang selalu berkaca pada dimensi moral dalam mengelola pemerintahannya, dalam membuat keputusan-keputusan, serta dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, besar harapan tingkah laku serta pemikiran-pemikirannya akan dipertanggungjawabkannya sepenuh hati. Mandatnya akan terjawab secara tepat dan membuahkan manfaat bagi masyarakat luas. Sebaliknya, jika yang terpilih adalah mereka yang secara moral bermasalah, maka sangat mungkin pemimpin itu terjatuh dalam urusan atau kepentingan pribadi atau kroninya saja, maka risiko terjadinya tindak korupsi, kolusi, nepotisme, serta bentuk-bentuk penyalahgunaan jabatan lainnya akan tinggi.
Di era digital, di mana personal branding sering dikemas tanpa memperhitungkan bisa tidaknya brand promises terpenuhi, bisa saja seorang kandidat bersolek diri sedemikian rupa lewat pencitraannya dengan jargon-jargon jauh dari identitas moralnya dan dengan janji-janji indah yang kosong.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, pencitraan itu sangat mungkin dilakukan secara masif dan dalam kemasan memikat. Karenanya, jangan sampai masyarakat terkena manipulasi politik yang dilancarkan para kandidat yang sering tidak memberikan gagasan-gagasan konkret untuk perubahan wilayah dan keberpihakan kepada masyarakatnya.
Untuk wilayah yang calon kepala daerahnya tersangkut kasus moralitas, kuncinya ada pada masyarakatnya sendiri. Mereka tidak boleh cepat percaya pada janji-janji kampanye saja, tetapi harus mau melihat sampai ke dalam-dalamnya, seperti apa rekam jejak dan pengalaman hidupnya.
Jangan sampai tertipu oleh kemasan politik yang indah-indah. Setelah tahu rekam jejaknya, masyarakat juga harus lebih kritis, selektif, dan cerdas dalam memilih. Kalau memang moralitas calon pemimpinnya hancur, jangan dipilih.
Bagus atau tidaknya moralitas pemimpin akan berdampak pada setiap kebijakan yang dibuat, yang berarti juga memengaruhi semakin bagus atau tidaknya kualitas kehidupan bermasyarakat.
(nag)