Moralitas Pemimpin

Jum'at, 09 Februari 2018 - 08:07 WIB
Moralitas Pemimpin
Moralitas Pemimpin
A A A
Benny Susetyo
Penasihat UKP Pancasila

Pemilihan Kepala Daerah (Pil­kada) Serentak 2018 su­dah di ambang pintu. Ada harapan pilkada kali ini ti­dak akan segaduh Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Set­i­dak­nya ada dua alasan yang me­la­tar­belakangi optimisme ini. Per­tama, karena peta koalisi par­tai politik yang cukup cair se­hing­ga mereduksi intensitas pe­perangan pesan di ruang pub­lik.

Kedua, karena masyarakat pe­milih sudah banyak belajar da­ri pengalaman atau peng­amat­an dari gelaran pilkada se­be­lumnya yang berlarut-larut dan sangat melelahkan. M­a­sya­ra­kat sudah lebih sadar da­n je­r­nih dalam membaca situasi-si­tua­si di tengah kompetisi yang ter­jadi sehingga tidak akan mu­dah lagi terpancing atau te­r­pro­vo­kasi oleh berbagai ujaran ke­ben­cian ataupun oleh banyak ber­edarnya hoax.

Meskipun de­­mikian, Pilkada 2018 masih me­nyisakan pekerjaan rumah (PR) yang pelik, yakni masalah mo­ralitas pada diri sejumlah kan­di­dat calon pemimpin.

Turut berkompetisinya se­jum­­­lah kandidat calon p­e­mim­pin yang cacat moral atau me­mi­­liki rekam jejak moralitas yang ne­­­gatif dalam pilkada men­jadi ta­n­­tangan tersendiri da­lam memi­­lih sosok pe­mim­pin yang te­­pat. Karenanya, men­desak un­tuk segera di­si­kapi secara tepat.

Apa­­lagi jika di mata masyarakat di­­l­ihat se­ba­gai perkara sangat se­rius dan jelas-jelas men­ce­de­rai rasa ke­manusiaan serta ke­adil­an. Se­bagai misal, salah satu ka­sus yang tengah men­da­pat­kan per­­hatian tinggi dari media dan ma­syarakat luas adalah du­­ga­­an tin­dakan amoral oleh MS, ca­lon Gubernur Nu­sa Teng­gara Ti­mur (NTT) ter­ha­­dap asisten ru­mah tang­ga­nya sam­pai me­la­hir­kan anak.

Ka­sus yang belum la­ma di­l­a­por­­kan ke Kom­nas HAM oleh Aliansi Ma­sya­­rakat Pe­negak In­­tegritas Bang­sa I­n­do­ne­s­ia (Am­pibi) ini sung­guh me­lu­kai nur­ani pub­lik. Ketika ter­buk­ti be­n­ar, de­ngan rekam jejak yang demikian itu, lantas ke­te­la­­dan­an seperti apa yang bisa di­­ha­rap­kan dari kan­didat itu ji­ka te­r­nya­ta ter­pi­lih menjadi pe­­mim­pin masyarakat?

Moralitas sebagai Landasan Bertindak

Dalam politik, moralitas me­­ru­pakan faktor sangat pen­ting. Mo­ralitas menjadi ele­men yang me­nentukan karak­ter seorang pe­mimpin. Karena nilai-nilai mo­­ral menjadi lan­das­an dalam ber­tidak, dalam ber­perilaku, dan juga dalam mem­buat keputus­an-ke­pu­tus­an.

Dengan nilai-nilai itu, se­orang pe­mim­pin akan di­mam­pukan untuk me­mak­nai ja­batan yang di­per­ca­ya­kan pa­da­nya sebagai ama­nah dan tang­gung jawab, yang ke­mu­d­i­an bisa diejawantahkan me­la­lui keputusan-keputusan etis dan implementasi-im­ple­men­ta­­si yang menjunjung tin­g­gi ni­lai ke­­manusiaan serta keadilan.

Sudah semestinya seorang pe­­­mimpin itu harus bisa men­ja­di contoh, panutan, dan te­la­dan ba­­gi rakyat, juga bagi me­re­ka yang ada di bawah struk­tur ke­pe­­mimpinannya. De­ngan i­n­te­gri­­tas yang dimiliki, se­orang pe­mim­­pin dapat me­ne­p­ati kata-ka­ta dan janji-janji un­tuk se­buah tata kelola pe­me­rintahan yang baik untuk kon­disi kerja su­por­tif dan po­si­tif serta untuk hu­­bungan ker­ja yang kons­truk­tif dan ber­martabat.

Tanpa iden­­titas mo­ral yang jelas, jika itu ter­buk­­ti nyata dalam rekam je­­jak­nya, landasan tindakan dan pe­rilaku pemimpin dalam men­­­jalankan amanatnya akan se­­­gera dipertanyakan. Me­ru­juk pa­­da pemikiran Imannuel Kant bah­­wa moralitas dan p­o­li­tik itu ada­­lah dua perkara sa­ling ber­ke­ter­­gantungan, yang ber­arti ti­dak bisa dipisahkan sa­tu sama lain, maka untuk ­sebuah prak­tik po­litik yang baik, seorang kan­did­at p­e­mim­pin tidaklah bo­leh ca­cat mo­ral dan cacat perilaku.

Cerdas dan Tegas Dalam Memilih

Gelaran pilkada semestinya men­­jadi kesempatan yang bisa di­­manfaatkan sebaik-baiknya oleh warga guna memilah dan me­­m­ilih pemimpin terbaik dari se­­jumlah kandidat yang ada. Un­tuk memilih pemimpin yang se­la­lu berkaca pada dimensi mo­­r­­al da­lam mengelola pe­me­rin­ta­h­an­nya, dalam membuat kepu­tus­an-keputusan, serta da­lam men­jalankan tugas-tu­gas­nya.

De­ngan demikian, b­esar ha­rap­an tingkah laku serta pemikiran-pe­mikirannya akan di­pe­r­tan­g­gun­g­jawabkannya se­pe­nuh hati. Man­datnya akan ter­j­awab seca­ra tepat dan mem­buah­kan man­faat bagi mas­y­a­ra­kat luas. Se­ba­lik­nya, jika yang terp­ilih adalah m­e­reka yang se­ca­ra moral berma­salah, maka sa­­ngat mungkin pe­mimpin itu ter­jatuh dalam urus­an atau ke­pen­tingan pri­badi atau kro­ni­nya saja, maka ri­siko terjadinya tin­dak korupsi, ko­lusi, ne­po­tis­me, serta bentuk-ben­tuk pe­nya­­lahgunaan jabatan lain­nya akan tinggi.

Di era digital, di mana per­so­nal branding sering dikemas tan­­pa memperhitungkan bisa ti­­­­dak­­nya brand promises ter­pe­nuhi, bisa saja seorang kan­di­dat be­rsolek diri sedemikian ru­pa le­wat pencitraannya de­ngan jargon-jargon jauh dari iden­­ti­tas mo­ralnya dan de­ngan janji-janji indah yang ko­song.

De­ngan k­e­ma­juan tek­no­logi in­for­masi dan ko­mu­ni­kasi saat ini, pen­citraan itu sa­ngat mung­kin di­lakukan se­ca­ra ma­sif dan da­lam kemasan me­­­mi­kat. ­Ka­re­na­nya, jangan sam­­p­ai ma­syarakat ter­kena ma­­ni­pu­la­s­i politik yang di­lan­carkan pa­ra kan­didat yang se­ring tidak mem­­berikan gagasan-gagasan kon­­kret un­tuk perubahan wi­la­yah dan ke­ber­pihakan ke­pa­da masyarakatnya.

Untuk wilayah yang calon ke­­­­pala daerahnya tersangkut ka­­­s­­us moralitas, kuncinya ada pa­­­­da masyarakatnya sendiri. Me­­­­reka tidak boleh cepat per­ca­­­ya pada janji-janji kampanye sa­­ja, tetapi harus mau melihat sam­­­­pai ke dalam-dalamnya, se­­­per­­ti apa rekam jejak dan pe­nga­­­­la­man hidupnya.

Jangan sam­­­­pai tertipu oleh kemasan po­­­litik yang indah-indah. Se­te­lah tahu re­kam jejaknya, ma­sya­­­­rakat ju­ga harus lebih kr­i­tis, se­­lektif, dan cerdas dalam m­e­m­i­­lih. Ka­lau memang mo­ra­li­tas ca­lon pe­mim­pinnya han­cur, ja­ngan di­pi­lih.

Bagus atau ti­dak­nya mo­ra­li­tas pe­mim­pin akan berdam­pak pada se­tiap ke­bi­jak­an yang di­buat, yang ber­arti ju­ga me­me­nga­ruhi se­ma­kin ba­gus atau ti­dak­nya kua­l­itas ke­hi­dup­an bermasyarakat.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4970 seconds (0.1#10.140)