Media Diminta Gaungkan Jurnalisme Damai dan Hindari SARA
A
A
A
JAKARTA - Media massa harus menggaungkan jurnalisme damai selama berlangsungnya Pilkada Serentak 2018. Media juga harus bersikap netral dan menghindari pemberitaan berbau provokasi, apalagi menyinggung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Kita sudah mempunyai kanal dan instrumen hukum seperti UU ITE, UU Pokok Pers, dan juga KUHP. Saya rasa itu harus diterapkan sesuai proporsinya dan tidak tebang pilih. Saya pikir itu tatanan yang bisa kita lakukan. Yang pasti media harus bisa mencerdaskan, bukan untuk saling mengadu domba,” ujar Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Hanura, Arief Suditomo di Jakarta, Selasa 6 Februari 2018.
Dia menambahkan penegakkan hukum menjadi cara terbaik untuk mengerem dan meminimalisasi terjadinya politisasi dan kampanye hitam melalui media. Dalam hal ini, dia menilai stakeholder media sudah mengetahui batasan-batasan itu.
Oleh Karena itu, dia menyerahkan etika bermedia itu kepada setiap stakeholder masing-masing, apakah berita itu bisa disiarkan atau tidak. Dia juga mengimbau pentingnya kewajiban regulator terkait penegakan hukum.
Hal itu dikatakannya untuk membuktikan negara hadir sehingga hal-hal yang terkait pelanggaran terkait Pemilu bisa diatasi dalam koridor hukum. “Intinya penegakan hukum harus diterapkan tidak pandang bulu,” ujar mantan pembawa program berita di televisi swasta ini.
Arief juga mengajak seluruh kontestasi di Pilkada Serentak 2018 untuk menggunakan cara-cara baik dan damai dalam meraih kemenangan atau memenangkan kursi.
Menurut dia, apa pun yang dialami, dalam pilkada atau pemilu pasti berujung menang dan kalah, dan pasti ada politikus yang mendapatkan kursi dan tidak.
Dalam konteks ini, kata dia, sebenarnya pemilu atau pilkada itu harusnya biasa-biasa saja, tapi dalam prosesnya banyak kelompok atau orang yang menggunakan cara-cara toksic (racun) yang korbannya bukan politikus, tapi rakyat. Mereka itu, bisa kelompok atau perorangan yang pikirannya terlanjur diracuni dan terkontaminasi paham radikal yang penuh unsur SARA.
Baginya, imbauan paling pas buat seluruh pihak, baik yang memilih maupun yang dipilih adalah menghindari seluruh paham atau cara-cara kotor yang pada akhirnya akan membebani, baik jangka pendek atau panjang.
Pasalnya, cepat atau lambat, penderitaan akibat fitnah atau adu domba akan berimbas pada diri masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.
Dia menyimpulkan, jika ingin berpikir jernih, problem yang tidak perlu seperti SARA itu seharusnya bisa dieliminasi sejak dini. Menurut dia, SARA adalah hal yang bisa menggerogoti keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Arief menilai, pelajaran pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di masa lalu harus jadi pelajaran. Ada yang baik, ada yang buruk, dan ada juga pelajaran yang ongkosnya sangat mahal, yaitu terjadinya polarisasi sosial, politik dan perpecahan yang sulit direkatkan.
“Apakah itu mau diperparah? Tentu tidak kan. Kalau kita mau memperarah, ingat suatu saat bisa menjadi bumerang. Sebaliknya, kalau kita mau berinvestasi tentang menjalankan proses politik yang sehat dan jauh dari unsur SARA, maka nanti akan menghasilkan investasi yang baik. Jadi karma politik itu jangan pernah dilupakan, karena karma politik itu ada,” tutur Arief Suditomo.
“Kita sudah mempunyai kanal dan instrumen hukum seperti UU ITE, UU Pokok Pers, dan juga KUHP. Saya rasa itu harus diterapkan sesuai proporsinya dan tidak tebang pilih. Saya pikir itu tatanan yang bisa kita lakukan. Yang pasti media harus bisa mencerdaskan, bukan untuk saling mengadu domba,” ujar Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Hanura, Arief Suditomo di Jakarta, Selasa 6 Februari 2018.
Dia menambahkan penegakkan hukum menjadi cara terbaik untuk mengerem dan meminimalisasi terjadinya politisasi dan kampanye hitam melalui media. Dalam hal ini, dia menilai stakeholder media sudah mengetahui batasan-batasan itu.
Oleh Karena itu, dia menyerahkan etika bermedia itu kepada setiap stakeholder masing-masing, apakah berita itu bisa disiarkan atau tidak. Dia juga mengimbau pentingnya kewajiban regulator terkait penegakan hukum.
Hal itu dikatakannya untuk membuktikan negara hadir sehingga hal-hal yang terkait pelanggaran terkait Pemilu bisa diatasi dalam koridor hukum. “Intinya penegakan hukum harus diterapkan tidak pandang bulu,” ujar mantan pembawa program berita di televisi swasta ini.
Arief juga mengajak seluruh kontestasi di Pilkada Serentak 2018 untuk menggunakan cara-cara baik dan damai dalam meraih kemenangan atau memenangkan kursi.
Menurut dia, apa pun yang dialami, dalam pilkada atau pemilu pasti berujung menang dan kalah, dan pasti ada politikus yang mendapatkan kursi dan tidak.
Dalam konteks ini, kata dia, sebenarnya pemilu atau pilkada itu harusnya biasa-biasa saja, tapi dalam prosesnya banyak kelompok atau orang yang menggunakan cara-cara toksic (racun) yang korbannya bukan politikus, tapi rakyat. Mereka itu, bisa kelompok atau perorangan yang pikirannya terlanjur diracuni dan terkontaminasi paham radikal yang penuh unsur SARA.
Baginya, imbauan paling pas buat seluruh pihak, baik yang memilih maupun yang dipilih adalah menghindari seluruh paham atau cara-cara kotor yang pada akhirnya akan membebani, baik jangka pendek atau panjang.
Pasalnya, cepat atau lambat, penderitaan akibat fitnah atau adu domba akan berimbas pada diri masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.
Dia menyimpulkan, jika ingin berpikir jernih, problem yang tidak perlu seperti SARA itu seharusnya bisa dieliminasi sejak dini. Menurut dia, SARA adalah hal yang bisa menggerogoti keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Arief menilai, pelajaran pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di masa lalu harus jadi pelajaran. Ada yang baik, ada yang buruk, dan ada juga pelajaran yang ongkosnya sangat mahal, yaitu terjadinya polarisasi sosial, politik dan perpecahan yang sulit direkatkan.
“Apakah itu mau diperparah? Tentu tidak kan. Kalau kita mau memperarah, ingat suatu saat bisa menjadi bumerang. Sebaliknya, kalau kita mau berinvestasi tentang menjalankan proses politik yang sehat dan jauh dari unsur SARA, maka nanti akan menghasilkan investasi yang baik. Jadi karma politik itu jangan pernah dilupakan, karena karma politik itu ada,” tutur Arief Suditomo.
(dam)