Jelang Kampanye Pilkada, Elsam Dorong Aturan Jelas Iklan Politik di Medsos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pertarungan perebutan kursi di Pemilihan Umum Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak 2020 kian dekat. Baik partai politik (parpol) dan pasangan calon (paslon) terus menyusun amunisi untuk berlaga di kontestasi tersebut yang puncak pemungutan suaranya bakal digelar pada 9 Desember mendatang.
Seperti diketahui, ada 270 daerah yang bakal melaksanakan Pilkada 2020. Pesta demokrasi serentak itu akan diikuti oleh 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. (Baca juga: DPR: Penundaan Pilkada 2020 Juga Butuh Persiapan dan Berisiko)
Saat ini, tahapan pilkada sudah memasuki masa verifikasi perbaikan syarat calon. Kemudian, dilanjutkan penetapan paslon dan pengundian nomor urut. Sesuai jadwal, masa kampanye dimulai pada 26 September hingga 5 Desember nanti.
Terkait tahapan tersebut itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai pemanfaatan iklan politik di media sosial (medsos) oleh partai atau kandidat yang bertarung dalam dalam pemilu atau pilkada semakin marak. Kampanye politik sudah menyasar media sosial.
“Namun, pengawasan dan pengaturannya masih belum memadai. Padahal sebagai saluran iklan, media sosial dinilai memiliki efek yang lebih besar daripada media konvensional seperti televisi, radio, dan media massa,” ujar Elsam dikutip dari penjelasan resmi di akun Twitternya @elsamnews, Senin (21/9/2020).
Penilaian tersebut bersumber dari karakter media sosial sendiri dalam menyasar target iklan. Media sosial dengan limpahan data dan kemampuannya memprofil individu, dapat mengirimkan pesan secara spesifik, bergantung pada profil targetnya.
“Melalui proses yang disebut political microtargeting, kampanye politik yang dikirimkan media sosial dapat menyampaikan pesan secara lebih akurat dibanding iklan di media konvensional,” jelasnya.
Hal itu juga merujuk pada data yang dibagikan. Berdasarkan pemantauan Elsam terhadap iklan politik pada Pemilu 2019 lalu, terdapat 116 laporan iklan kampanye politik di media sosial. Sebanyak 29 di antaranya berupa iklan kampanye capres dan cawapres, 28 iklan parpol, dan 59 iklan calon legislatif di tingkat DPR, DPRD dan DPD.
Sebanyak 73 iklan disebarkan melalui Instagram dan 43 lainnya melalui Facebook, baik itu melalui akun partai, pribadi, maupun akun lainnya. Adapun iklan kampanye politik tersebut diperoleh di 9 daerah yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Banten, Semarang, dan Medan.
Khusus partai, temuan itu menunjukkan ada 15 parpol yang menyebarkan iklan kampanye politik melalui media sosial. Adapun pemilihan legislatif, Elsam menerima setidaknya 56 calon yang menggunakan iklan kampanye media sosial. Sebanyak 13 di antaranya terpilih, sedangkan 43 lainnya gagal mengisi kursi wakil rakyat. (Baca juga: Desakan Pilkada Ditunda, Ini Pendapat Wali Kota Solo dan Gibran)
Lantaran itu, Elsam mendorong agar iklan politik perlu diperhatikan secara serius. Pengaturannya harus lebih jelas dan relevan dengan karakter media sosial.
Seperti diketahui, ada 270 daerah yang bakal melaksanakan Pilkada 2020. Pesta demokrasi serentak itu akan diikuti oleh 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. (Baca juga: DPR: Penundaan Pilkada 2020 Juga Butuh Persiapan dan Berisiko)
Saat ini, tahapan pilkada sudah memasuki masa verifikasi perbaikan syarat calon. Kemudian, dilanjutkan penetapan paslon dan pengundian nomor urut. Sesuai jadwal, masa kampanye dimulai pada 26 September hingga 5 Desember nanti.
Terkait tahapan tersebut itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai pemanfaatan iklan politik di media sosial (medsos) oleh partai atau kandidat yang bertarung dalam dalam pemilu atau pilkada semakin marak. Kampanye politik sudah menyasar media sosial.
“Namun, pengawasan dan pengaturannya masih belum memadai. Padahal sebagai saluran iklan, media sosial dinilai memiliki efek yang lebih besar daripada media konvensional seperti televisi, radio, dan media massa,” ujar Elsam dikutip dari penjelasan resmi di akun Twitternya @elsamnews, Senin (21/9/2020).
Penilaian tersebut bersumber dari karakter media sosial sendiri dalam menyasar target iklan. Media sosial dengan limpahan data dan kemampuannya memprofil individu, dapat mengirimkan pesan secara spesifik, bergantung pada profil targetnya.
“Melalui proses yang disebut political microtargeting, kampanye politik yang dikirimkan media sosial dapat menyampaikan pesan secara lebih akurat dibanding iklan di media konvensional,” jelasnya.
Hal itu juga merujuk pada data yang dibagikan. Berdasarkan pemantauan Elsam terhadap iklan politik pada Pemilu 2019 lalu, terdapat 116 laporan iklan kampanye politik di media sosial. Sebanyak 29 di antaranya berupa iklan kampanye capres dan cawapres, 28 iklan parpol, dan 59 iklan calon legislatif di tingkat DPR, DPRD dan DPD.
Sebanyak 73 iklan disebarkan melalui Instagram dan 43 lainnya melalui Facebook, baik itu melalui akun partai, pribadi, maupun akun lainnya. Adapun iklan kampanye politik tersebut diperoleh di 9 daerah yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Banten, Semarang, dan Medan.
Khusus partai, temuan itu menunjukkan ada 15 parpol yang menyebarkan iklan kampanye politik melalui media sosial. Adapun pemilihan legislatif, Elsam menerima setidaknya 56 calon yang menggunakan iklan kampanye media sosial. Sebanyak 13 di antaranya terpilih, sedangkan 43 lainnya gagal mengisi kursi wakil rakyat. (Baca juga: Desakan Pilkada Ditunda, Ini Pendapat Wali Kota Solo dan Gibran)
Lantaran itu, Elsam mendorong agar iklan politik perlu diperhatikan secara serius. Pengaturannya harus lebih jelas dan relevan dengan karakter media sosial.
(kri)