Pasal Penghinaan Presiden, Mahfud MD Khawatir Oposisi Ditangkapi
A
A
A
JAKARTA - Rencana DPR menghadirkan kembali pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai polemik di masyarakat, karena dianggap tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut pakar hukum tata negara, Mahfud MD, pasal penghinaan terhadap Presiden diputuskan atau dihapus MK saat lembaga tersebut dipimpin Jimly Asshiddqie yang diajukan advokat Eggi Sudjana.
"Tapi saya setuju putusan itu. Karena kalau dihidupkan lagi nanti dikhawatirkan dimanfaatkan untuk menangkapi yang oposisi," ujar Mahfud saat dihubungi SINDOnews melalui sambungan telepon, Selasa (6/2/2018).
(Baca juga: Masuknya Pasal Penghinaan Presiden Bentuk Inkonsistensi Penyusun UU)
Mantan Ketua MK ini menilai putusan MK bersifat final dan mengikat. Karenanya perlu ada alasan baru jika ingin menghidupkan kembali pasal tersebut. Menurut Mahfud, pasal baru dimaksud apabila dalam putusan MK dianggap masih memiliki celah dan kurang sempurna.
Mahfud mencontohkan pasal baru seperti dalam Undang-undang Pilkada yang diputuskan MK, lalu kemudian diuji materikan kembali yang akhirnya menjadi Undang-undang. Baginya alasan baru itu penting agar tidak mencampuradukan hukum dengan politik.
"Tapi bicara teorinya harus ada alasan-alasan baru. Alasan barunya apa?" tanya Mahfud.
(Baca juga: DPR Jamin Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Tak Jadi Pasal Karet)
Maka itu, Mahfud menyarankan sebelum membahas revisi KUHP menyangkut pasal penghinaan presiden, terlebih dahulu meminta masukan atau pertimbangan publik.
"Karena ini menyangkut putusan MK, kalo putusan MK ditolak ya buat apa ada MK," pungkasnya.
Menurut pakar hukum tata negara, Mahfud MD, pasal penghinaan terhadap Presiden diputuskan atau dihapus MK saat lembaga tersebut dipimpin Jimly Asshiddqie yang diajukan advokat Eggi Sudjana.
"Tapi saya setuju putusan itu. Karena kalau dihidupkan lagi nanti dikhawatirkan dimanfaatkan untuk menangkapi yang oposisi," ujar Mahfud saat dihubungi SINDOnews melalui sambungan telepon, Selasa (6/2/2018).
(Baca juga: Masuknya Pasal Penghinaan Presiden Bentuk Inkonsistensi Penyusun UU)
Mantan Ketua MK ini menilai putusan MK bersifat final dan mengikat. Karenanya perlu ada alasan baru jika ingin menghidupkan kembali pasal tersebut. Menurut Mahfud, pasal baru dimaksud apabila dalam putusan MK dianggap masih memiliki celah dan kurang sempurna.
Mahfud mencontohkan pasal baru seperti dalam Undang-undang Pilkada yang diputuskan MK, lalu kemudian diuji materikan kembali yang akhirnya menjadi Undang-undang. Baginya alasan baru itu penting agar tidak mencampuradukan hukum dengan politik.
"Tapi bicara teorinya harus ada alasan-alasan baru. Alasan barunya apa?" tanya Mahfud.
(Baca juga: DPR Jamin Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Tak Jadi Pasal Karet)
Maka itu, Mahfud menyarankan sebelum membahas revisi KUHP menyangkut pasal penghinaan presiden, terlebih dahulu meminta masukan atau pertimbangan publik.
"Karena ini menyangkut putusan MK, kalo putusan MK ditolak ya buat apa ada MK," pungkasnya.
(maf)