Masuknya Pasal Penghinaan Presiden Bentuk Inkonsistensi Penyusun UU

Selasa, 06 Februari 2018 - 07:30 WIB
Masuknya Pasal Penghinaan...
Masuknya Pasal Penghinaan Presiden Bentuk Inkonsistensi Penyusun UU
A A A
JAKARTA - Hadirnya kembali pasal penghinaan Presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinilai sebagai bentuk inkonsistensi penyusun UU dalam hal ini pemerintah dan DPR. Pasal tersebut pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi untuk tidak diberlakukan.

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menyatakan dalam siaran persnya, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku untuk umum (erga omnes).

"Diaturnya kembali pasal inkonstitusional, seperti pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP menunjukkan tidak taatnya penyusun RKUHP pada konsep ketatanegaraan Indonesia," ucapnya, Senin (5/2/2018)..

Salah satu pasal yang dimaksud dalam RKUHP adalah pasal 264 yang berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Pasal yang bermuatan sama telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 013-022/PUUIV/2006. Ketidakkonsistenan dalam penyusunan pasal-pasal dalam RKUHP dengan putusan MK ini merupakan indikasi berikut bahwa RKUHP memiliki permasalahan mendasar," jelasnya.

Miko menilai, dari Rancangan KUHP yang ada hingga saat ini terlihat bahwa misi untuk melakukan setidaknya demokratisasi hukum pidana belum tercapai. Ancaman pidana penjara masih cukup tinggi dan dikedepankan.

"Meskipun terdapat beberapa jenis pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial, ternyata tidak berbanding lurus dengan paradigma pemenjaraan yang masih kental dalam Rancangan KUHP. Atas dasari itu kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP dan membuka kepada publik semua dokumen serta proses perumusan RKUHP agar dapat dicermati dan dikawal lebih lanjut," tegasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1066 seconds (0.1#10.140)