Bila Revisi KUHP Disahkan, Kritik Seperti Ketua BEM UI Bisa Dipidana

Senin, 05 Februari 2018 - 16:55 WIB
Bila Revisi KUHP Disahkan,...
Bila Revisi KUHP Disahkan, Kritik Seperti Ketua BEM UI Bisa Dipidana
A A A
JAKARTA - Kartu kuning tidak lagi hanya akrab di telinga pecinta sepak bola. Saat ini kartu kuning dibicarakan masyarakat secara luas.

Pemantiknya ialah aksi yang dilakukan oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Muhammad Zaadit Taqwa yang mengacungkan buku berwarna kuning kepada Presiden Joko Widodo saat acara Dies Natalis ke-68 UI.

Seusai melakukan aksinya, Zaadit menjelaskan aksi "kartu kuning" itu merupakan aksi simbolik untuk memperingatkan Jokowi atas berbagai persoalan di Tanah Air. (Baca juga: Beri Kartu Kuning ke Jokowi, Ketua BEM UI: Ini Momentum )

Menyikapi peristiwa tersebut, Managing Director Institute for Criminal Justice (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai aksi Zaadit bisa berurusan dengan hukum apabila revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan.

Zaadit dikatakanya bisa dikenakan pidana penjara, seperti yang tertuang dalam Pasal 263 ayat 1 revisi KUHP yang berbunyi Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Secara historis, pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste (melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda) yang bermaksud menempatkan kepala negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik, yang sebelumnya diatur dalam pasal 134 KUHP," kata Erasmus dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu 4 Januari 2018.

Menurut dia, penerapaan Pasal 134 KUHP pernah menimpa aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Monang Johannes Tambunan yang karena ucapannya dianggap merendahkan nama baik Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika itu, kata dia, Monang melakukan orasi sebagai wujud kekecewaannya dan rekan-rekannya terhadap kinerja program 100 hari SBY yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat.

Pada 9 Mei 2005, Monang dihukum pidana selama enam bulan penjara melalui penggunaan Pasal 134 KUHP.

Dalam pandangan ICJR ada beberapa catatan penting yang harus digarisbawahi dalam revisi KUHP. Pertama, kata Erasmus, pasal lesse majeste tersebut telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.

"Namun sangat disayangkan bahwa revisi KUHP yang bertujuan untuk melakukan dekolonisasi, demokratisiasi, konsolidasi, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana justru memasukkan aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme," tuturnya. (Baca juga: Agus Hermanto: DPR Belum Satu Suara Soal Pasal Penghinaan Presiden )

Menurut dia, hal tersebut jelas akan mengancam penghormatan dan perlindungan hak-hak dan kebebasan berekspresi dari warga negara. Dia menambahkan, dimasukkannya kembali pasal lesse majeste dalam revisi KUHP sama saja membangkang pada konstitusi.

Kedua, sambung dia, tidak ada basis teoritis dan penjelasan ilmiah yang dapat diterima kecuali hanya penjelasan tentang adanya kejanggalan apabila penghinaan orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan kepala negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap presiden/wakil presiden dan pemerintah secara khusus tidak jadikan tindak pidana.

"Ketentuan ini ke depan akan sangat dimungkinkan digunakan untuk menekan kritik dan pendapat terhadap presiden dan wakil presiden," ujarnya.

Menurut dia, hal itu terlihat dari tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa bertentangan dengan kedudukan presiden dapat dianggap sebagai penghinaan. "Hal demikian menunjukkan lenturnya pemaknaan pasal 263 ayat 1 revisi KUHP," kata Erasmus.

Ketiga, kata dia, delik dalam pasal ini adalah delik biasa, berbeda dengan delik penghinaan lainnya, misalnya dalam revisi KUHP Pasal 540-550 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencemaran.

Selain itu, ancaman pidana pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV yang tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 berbeda dengan Pasal 540 tentang penghinaan yang hanya diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

"Hal ini menjelaskan bahwa sifat delik Pasal 263 ayat 1 ini menjadi diskriminatif," tandasnya.

Keempat, kata dia, terdapat perbedaan sifat yang sangat fundamental antara kedudukan raja/ratu dalam undang-undang dasar kerajaan Belanda dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI menurut UUD 1945.

Kedudukan raja/ratu dalam undang-undang kerajaan belanda tidak dapat diganggu gugat. Sementara kedudukan presiden dan wakil presiden RI memperhatikan prinsip dalam dalam KUHP mengenai “asas kesamaan di depan hukum” dan tidak dikenalnya forum previlegiatum (hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri) dalam peradilan di Indonesia.

Atas dasar itu, ICJR menilai sebelum revisi KUHP disahkan, sebaiknya pasal-pasal mengenai lesse majeste yang akan mengekang hak-hak warga sipil dalam berekspresi dihapus.

"Agar pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat represi penguasa, dan tidak lagi melanggar hak-hak asasi yang secara tegas dicantumkan dalam konstitusi tetapi justru untuk melindungi hak dan martabat warga negaranya," tuturnya.

Hal itu dikatakanya sejalan dengan pesan Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945.

Oleh karena itu, kata dia, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

"Sehingga dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP,“ tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0202 seconds (0.1#10.140)