Soal Pasal Penghinaan Presiden, DPR Diminta Patuhi Putusan MK
A
A
A
JAKARTA - Masuknya pasal penghinaan presiden dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai protes. Sebab, pasal tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 silam.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti pun mengingatkan DPR bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. "Saya ingin mengingatkan kembali ibu dan bapak legislator bahwa namanya putusan MK itu memang tidak bisa dimain-mainkan seperti itu," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk RKUHP Ancam Demokrasi? di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/2/2018).
Dia tidak sepakat dengan upaya untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. "Tidak bisa dicoba-coba lagi dan terus berargumen bahwa itu dahulu KUHP yang lama pasal sekian yang dihapus, kalau ini kan baru pasalnya, bukan," tuturnya.
Dia menjelaskan MK tidak hanya menyatakan pasal penghinaan presiden inkonstitusional saat mengeluarkan putusan tahun 2006 silam.
"Tapi dia (MK-red) mengatakan norma itu memang tidak sejalan dengan konstitusi. Itulah tugas Mahkamah Konstitusi. Jadi jangan main-main," ungkapnya.
Diketahui, pasal penghinaan presiden masuk dalam draf revisi KUHP. Pasal 263 ayat 1 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp300 juta).
Lalu, Pasal 263 ayat 2 menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jelas dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran atau pembelaan diri.
Kemudian, Pasal 264 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti pun mengingatkan DPR bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. "Saya ingin mengingatkan kembali ibu dan bapak legislator bahwa namanya putusan MK itu memang tidak bisa dimain-mainkan seperti itu," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk RKUHP Ancam Demokrasi? di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/2/2018).
Dia tidak sepakat dengan upaya untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. "Tidak bisa dicoba-coba lagi dan terus berargumen bahwa itu dahulu KUHP yang lama pasal sekian yang dihapus, kalau ini kan baru pasalnya, bukan," tuturnya.
Dia menjelaskan MK tidak hanya menyatakan pasal penghinaan presiden inkonstitusional saat mengeluarkan putusan tahun 2006 silam.
"Tapi dia (MK-red) mengatakan norma itu memang tidak sejalan dengan konstitusi. Itulah tugas Mahkamah Konstitusi. Jadi jangan main-main," ungkapnya.
Diketahui, pasal penghinaan presiden masuk dalam draf revisi KUHP. Pasal 263 ayat 1 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp300 juta).
Lalu, Pasal 263 ayat 2 menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jelas dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran atau pembelaan diri.
Kemudian, Pasal 264 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(dam)