Becak
A
A
A
Eddy Koko
Wartawan Senior
MENGEMUDI becak itu tidak mudah. Itu pengalaman 40 tahun lalu di Kota Metro Lampung, ketika iseng pinjam becak milik teman, Eman, yang mangkal di ujung Jalan Kunang. Suatu kali becak yang saya kemudikan pada jalan menurun tiba-tiba menungging, berhenti, saat direm.
Roda belakang terangkat, dua teman sebagai penumpang, salah satunya Eman, pemilik becak ikut nyungsep. Saya pun terpental. Sampai sekarang Eman masih mbecak, masih setia mangkal di tempat dahulu. Kalau enggak percaya, silakan ke Metro.
Soal prokontra kabar becak akan dihidupkan kembali di DKI Jakarta memang menarik. Lebih menarik lagi menyaksikan bagaimana nanti aparat pemerintah melatih abang becak genjot becak. Seperti yang direncanakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, pengemudi becak akan dilatih genjot becak. Yakin yang melatih tidak akan semaput? Yakin lebih pandai dari abang becak, genjotnya? Jangan sampai nanti dikoreksi abang becak, "Pak, genjotnya ke depan, bukan ke belakang!"
Seperti halnya bemo dan helicak, sebetulnya becak juga bagian dari masa lalu dalam dunia transportasi kota metropolitan. Di beberapa tempat wilayah Jakarta, masih ada satu dua becak sifatnya lebih sebagai angkutan internal perumahan. Becak sudah dilarang dan dinyatakan selesai, meski sebagian orang masih membutuhkan.
Tahun ‘80-an ketika becak mulai dilarang melintas di jalan protokol Jakarta, orang masih bisa memanfaatkan becak pada malam hari. Becak masih terlihat melintas di jalan protokol antara tengah malam sampai menjelang subuh. Nyaman juga rasanya, pengalaman naik becak dari Sarinah di Jalan MH Thamrin ke Manggarai melewati Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jalan Imam Bonjol, Jalan Latuharhari, Pasar Rumput. Pangkalan becak pada masa itu, antara lain di samping HI untuk kawasan Kebon Kacang dan sekitarnya. Mereka tidak boleh masuk jalan protokol, kecuali malam setelah pukul 22.00 WIB.
Dengan atap becak yang sengaja dilipat terbuka penumpang bisa berbincang tentang kehidupan dengan abang becak. Tidak ada perbincangan politik yang menarik seperti sekarang, saat kita naik taksi, bajaj, atau angkutan umum lain. Pada masa itu banyak orang takut bicara soal politik. Semua orang hati-hati, curiga, bisa jadi, si abang becak atau penumpangnya adalah tekek (istilah buat petugas intelijen). Salah omong bisa langsung masuk Guntur tanpa pulang dahulu untuk ambil sikat gigi dan handuk.
Guntur yang dimaksud adalah Markas Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta Selatan, sekarang dipinjam untuk mondok tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar Markas PM Guntur pada masa itu juga terdapat ratusan becak mangkal dan berkeliaran setiap hari.
Razia Becak
Pada kenyataannya menghapus becak di Jakarta tidak mudah. Sampai akhir dekade delapan puluhan becak masih berkeliaran, terutama di permukiman, seperti Kebon Kacang, Cempaka Putih, Tebet dan lainnya. Operasi terus dilakukan. Becak yang tertangkap langsung disita petugas tibum (singkatan dari ketertiban umum), sekarang dikenal dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Aturan awal saat itu becak dilarang melintas di jalan protokol, tapi masih diperbolehkan beroperasi di lingkungan perumahan. Namun, sedikit orang yang naik becak di dalam lingkungan perumahan. Yang banyak adalah dari ujung jalan protokol masuk ke kompleks perumahan. Maka becak mangkal di setiap ujung jalan atau gang menyambut penumpang turun dari bus kota. Mirip tukang ojek saat ini kita lihat tumpah ke luar gang, masuk jalan protokol.
Memasuki era 1990 penertiban yang dilakukan Petugas Tibum terhadap becak semakin sering. Aturan ditingkatkan menjadi Jakarta mengarah pada bebas becak, maka kejar-kejaran dan kucing-kucingan antara Petugas Tibum DKI Jakarta dengan abang becak menjadi pemandangan sehari-hari. Penangkapan ratusan becak tidak menjadikan abang becak lain menjadi jera. Ini bisa dimengerti karena dari menggenjot becaklah mereka hidup. Sebagian besar menjadi abang becak di Jakarta merupakan pilihan terakhir, setelah sulit mencari pekerjaan di kampung.
Rasa iba muncul jika menyaksikan perebutan becak antara abang becak dan Petugas Tibum. Tentu perlawanan tidak seimbang. Selalu terjadi satu orang abang becak melawan tiga sampai lima Petugas Tibum. Tidak ada teman yang membantu dalam perlawanan karena masing-masing lari menyelamatkan becaknya.
Begitu becak tertangkap langsung dijungkirbalikkan oleh petugas, mirip tukang jagal merobohkan sapi yang hendak dipotong, sehingga tidak bisa kabur lagi. Penjungkirbalikan dirasa paling efektif adalah memasukan ke saluran air atau parit sehingga perebutan menjadi sulit dimenangkan abang becak.
Selanjutnya terjadi drama, abang becak yang panik, karena harus mengganti becak milik toke jika hilang berusaha merebut. Walau tahu tidak akan menang, tetap saja abang becak berusaha melawan. Tiga orang Petugas Tibum menarik becak sementara dua lain menarik abang becak dari cengkeraman pada becak. Abang becak pun kalah. Petugas langsung melemparkan becak ke atas truk.
Banyak orang hanya bisa menonton dengan rasa pilu. Yang satu menegakkan aturan, yang satu lagi mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Begitu kalah dalam perebutan, maka loyolah si abang becak. Berjalan pulang seraya menunduk dengan raut muka sedih. Patut diduga dia berpikir harus mengganti becak dan hilangnya alat penghidupan. Pemandangan yang mengenaskan ini akankah terjadi lagi nanti, saat gubernur pengganti Anis Sandi melarang becak kembali?
Tidak semua gagal dalam mendapatkan becak kembali. Ada tukang becak yang cerdik. Ketika kalah dan becaknya dibawa pergi dengan serta-merta dia nekat ikut naik truk. Ikut ke mana truk pembawa puluhan becak sitaan tersebut. Pada suatu tempat negosiasi dilakukan antara si abang becak dengan seorang atau lebih petugas Tibum.
Setelah nilai tebusan tidak resmi disepakati, bayar dan becak bisa keluar lagi. Kelakuan ini merupakan salah satu faktor penertiban becak di Jakarta cukup panjang, sampai bertahun-tahun karena becak ada terus.
Ketika penertiban becak dimulai sebetulnya bukan hanya tukang becak yang ketar-ketir, tapi juga tukang roti keliling menggunakan roda tiga. Gerobak roti beroda tiga, sampai sekarang masih ada, pada dasarnya becak yang bagian depan berbentuk kotak berisi roti bukan manusia. Kegalauan tukang roti keliling kemudian mendapat penjelasan Petugas Tibum bahwa untuk roda tiga angkutan barang diizinkan. Celah ini dimanfaatkan sebagian abang becak dengan merombak bagian depan dari becak menjadi hanya berbentuk kotak, seperti yang dipakai tukang rongsokan.
Banyak kemudian kotak beroda berkeliaran. Peminat atau yang butuh becak juga masih banyak. Karena itu, pemandangan lucu terjadi seakan ada manusia dibawa tukang rongsokan. Namun, lagi-lagi Petugas Tibum tidak mau ditipu. Ketika ada roda tiga, apa pun bentuknya, di dalamnya ada jok, langsung disita. Lama kelamaan becak di Jakarta pun hilang.
Politisasi dan Mobilisasi Terbetik kabar, setelah Pemda DKI Jakarta menghidupkan kembali becak, beberapa pekan kemudian ada truk bermuatan becak dari daerah masuk Jakarta. Petugas Satpol PP DKI Jakarta langsung mengusir balik keluar Jakarta. Sandiaga menengarai ada mobilisasi dan politisasi soal becak tersebut.
Apa yang dikatakan Sandiaga sebetulnya bukan hal baru. Becak menjadi mainan politik itu sudah sejak lama. Zaman Pak Harto menjadi presiden banyak becak, terutama di daerah-daerah, terpaksa berwarna kuning. Jangan coba-coba warnanya merah total. Bisa berurusan dengan aparat dan tidak dapat sembako.
Zaman sekarang becak boleh bebas warna tidak lagi harus warna partai. Namun, sering kita lihat abang becak mengenakan kaus bergambar calon bupati, calon gubernur, calon legislatif, sampai calon presiden. Jadi, begitulah nasib abang becak selalu menjadi mainan politik. Semestinya Sandiaga tahu soal itu dan siap programnya berpeluang dipolitisasi. Sesuatu yang sekarang menjadi lumrah banyak hal dipolitisasi, termasuk becak. Namun, masyarakat sudah cerdas, bisa menilai mana yang tulus dan bulus.
Tukang becak dari daerah masuk Jakarta menggunakan truk diduga karena mendengar ada kebijakan baru di Jakarta, yaitu Ibu Kota menerima kembali transportasi becak.
Merasa hidup di desa begitu sulit, maka adu nasib ke Jakarta pun dicoba. Ingin bertani di desa tidak memiliki lahan, berdagang tidak punya modal seperti di Jakarta ada OK Oce, menjadi pegawai negeri kudu sekolah dahulu, maka membecak menjadi pilihan yang pas, yaitu tanpa harus memeras otak tapi cukup pakai otot saja. Kondisi dan peluang ini, bisa jadi menggerakkan sekelompok tukang becak berangkat ke Jakarta dengan cara patungan menyewa truk.
Soal penggunaan truk ini juga pernah dilakukan para abang becak Jakarta akhir dekade sembilan puluhan. Ketika mereka semakin terjepit di Jakarta, maka sebagian dari mereka memutuskan pulang kampung atau pergi ke kota lain yang masih mengizinkan becak beroperasi. Para abang becak melakukan patungan untuk menyewa truk membawa becak mereka keluar Jakarta.
Kecurigaan Sandiaga tentang politik becak bisa saja benar. Namun, bisa jadi ada orang atau pihak tertentu iba melihat tukang becak kemudian mengongkosi berangkat ke Jakarta. Kemudian tampak seakan ada pengerahan abang becak menyerbu Jakarta dan Sandiaga menyebut sebagai mobilisasi.
Sebetulnya bisa jadi karena pada awal pengumuman tidak jelas. Abang becak seperti apa dan dari mana yang boleh beroperasi di Jakarta? Akibatnya banyak tukang becak tertarik masuk Jakarta karena stok abang becak di daerah memang masih sangat banyak.
Sebelum serbuan abang becak masuk Jakarta lebih besar, ada baiknya aturan membecak segera diterbitkan. Misal, para tukang becak wajib mengenakan jas dan dasi saat menjalankan praktiknya. Niscaya mereka yang ingin jadi tukang becak di Jakarta berpikir ulang. Bukan soal tidak mampu membeli jas dan dasi karena barang tersebut banyak dijual di pasar baju bekas impor Pasar Senen, Jakarta Pusat. Namun, calon abang becak urung niat karena membayangkan genjot becak pakai setelan jas dan dasi? Sumuk!
Wartawan Senior
MENGEMUDI becak itu tidak mudah. Itu pengalaman 40 tahun lalu di Kota Metro Lampung, ketika iseng pinjam becak milik teman, Eman, yang mangkal di ujung Jalan Kunang. Suatu kali becak yang saya kemudikan pada jalan menurun tiba-tiba menungging, berhenti, saat direm.
Roda belakang terangkat, dua teman sebagai penumpang, salah satunya Eman, pemilik becak ikut nyungsep. Saya pun terpental. Sampai sekarang Eman masih mbecak, masih setia mangkal di tempat dahulu. Kalau enggak percaya, silakan ke Metro.
Soal prokontra kabar becak akan dihidupkan kembali di DKI Jakarta memang menarik. Lebih menarik lagi menyaksikan bagaimana nanti aparat pemerintah melatih abang becak genjot becak. Seperti yang direncanakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, pengemudi becak akan dilatih genjot becak. Yakin yang melatih tidak akan semaput? Yakin lebih pandai dari abang becak, genjotnya? Jangan sampai nanti dikoreksi abang becak, "Pak, genjotnya ke depan, bukan ke belakang!"
Seperti halnya bemo dan helicak, sebetulnya becak juga bagian dari masa lalu dalam dunia transportasi kota metropolitan. Di beberapa tempat wilayah Jakarta, masih ada satu dua becak sifatnya lebih sebagai angkutan internal perumahan. Becak sudah dilarang dan dinyatakan selesai, meski sebagian orang masih membutuhkan.
Tahun ‘80-an ketika becak mulai dilarang melintas di jalan protokol Jakarta, orang masih bisa memanfaatkan becak pada malam hari. Becak masih terlihat melintas di jalan protokol antara tengah malam sampai menjelang subuh. Nyaman juga rasanya, pengalaman naik becak dari Sarinah di Jalan MH Thamrin ke Manggarai melewati Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jalan Imam Bonjol, Jalan Latuharhari, Pasar Rumput. Pangkalan becak pada masa itu, antara lain di samping HI untuk kawasan Kebon Kacang dan sekitarnya. Mereka tidak boleh masuk jalan protokol, kecuali malam setelah pukul 22.00 WIB.
Dengan atap becak yang sengaja dilipat terbuka penumpang bisa berbincang tentang kehidupan dengan abang becak. Tidak ada perbincangan politik yang menarik seperti sekarang, saat kita naik taksi, bajaj, atau angkutan umum lain. Pada masa itu banyak orang takut bicara soal politik. Semua orang hati-hati, curiga, bisa jadi, si abang becak atau penumpangnya adalah tekek (istilah buat petugas intelijen). Salah omong bisa langsung masuk Guntur tanpa pulang dahulu untuk ambil sikat gigi dan handuk.
Guntur yang dimaksud adalah Markas Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta Selatan, sekarang dipinjam untuk mondok tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar Markas PM Guntur pada masa itu juga terdapat ratusan becak mangkal dan berkeliaran setiap hari.
Razia Becak
Pada kenyataannya menghapus becak di Jakarta tidak mudah. Sampai akhir dekade delapan puluhan becak masih berkeliaran, terutama di permukiman, seperti Kebon Kacang, Cempaka Putih, Tebet dan lainnya. Operasi terus dilakukan. Becak yang tertangkap langsung disita petugas tibum (singkatan dari ketertiban umum), sekarang dikenal dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Aturan awal saat itu becak dilarang melintas di jalan protokol, tapi masih diperbolehkan beroperasi di lingkungan perumahan. Namun, sedikit orang yang naik becak di dalam lingkungan perumahan. Yang banyak adalah dari ujung jalan protokol masuk ke kompleks perumahan. Maka becak mangkal di setiap ujung jalan atau gang menyambut penumpang turun dari bus kota. Mirip tukang ojek saat ini kita lihat tumpah ke luar gang, masuk jalan protokol.
Memasuki era 1990 penertiban yang dilakukan Petugas Tibum terhadap becak semakin sering. Aturan ditingkatkan menjadi Jakarta mengarah pada bebas becak, maka kejar-kejaran dan kucing-kucingan antara Petugas Tibum DKI Jakarta dengan abang becak menjadi pemandangan sehari-hari. Penangkapan ratusan becak tidak menjadikan abang becak lain menjadi jera. Ini bisa dimengerti karena dari menggenjot becaklah mereka hidup. Sebagian besar menjadi abang becak di Jakarta merupakan pilihan terakhir, setelah sulit mencari pekerjaan di kampung.
Rasa iba muncul jika menyaksikan perebutan becak antara abang becak dan Petugas Tibum. Tentu perlawanan tidak seimbang. Selalu terjadi satu orang abang becak melawan tiga sampai lima Petugas Tibum. Tidak ada teman yang membantu dalam perlawanan karena masing-masing lari menyelamatkan becaknya.
Begitu becak tertangkap langsung dijungkirbalikkan oleh petugas, mirip tukang jagal merobohkan sapi yang hendak dipotong, sehingga tidak bisa kabur lagi. Penjungkirbalikan dirasa paling efektif adalah memasukan ke saluran air atau parit sehingga perebutan menjadi sulit dimenangkan abang becak.
Selanjutnya terjadi drama, abang becak yang panik, karena harus mengganti becak milik toke jika hilang berusaha merebut. Walau tahu tidak akan menang, tetap saja abang becak berusaha melawan. Tiga orang Petugas Tibum menarik becak sementara dua lain menarik abang becak dari cengkeraman pada becak. Abang becak pun kalah. Petugas langsung melemparkan becak ke atas truk.
Banyak orang hanya bisa menonton dengan rasa pilu. Yang satu menegakkan aturan, yang satu lagi mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Begitu kalah dalam perebutan, maka loyolah si abang becak. Berjalan pulang seraya menunduk dengan raut muka sedih. Patut diduga dia berpikir harus mengganti becak dan hilangnya alat penghidupan. Pemandangan yang mengenaskan ini akankah terjadi lagi nanti, saat gubernur pengganti Anis Sandi melarang becak kembali?
Tidak semua gagal dalam mendapatkan becak kembali. Ada tukang becak yang cerdik. Ketika kalah dan becaknya dibawa pergi dengan serta-merta dia nekat ikut naik truk. Ikut ke mana truk pembawa puluhan becak sitaan tersebut. Pada suatu tempat negosiasi dilakukan antara si abang becak dengan seorang atau lebih petugas Tibum.
Setelah nilai tebusan tidak resmi disepakati, bayar dan becak bisa keluar lagi. Kelakuan ini merupakan salah satu faktor penertiban becak di Jakarta cukup panjang, sampai bertahun-tahun karena becak ada terus.
Ketika penertiban becak dimulai sebetulnya bukan hanya tukang becak yang ketar-ketir, tapi juga tukang roti keliling menggunakan roda tiga. Gerobak roti beroda tiga, sampai sekarang masih ada, pada dasarnya becak yang bagian depan berbentuk kotak berisi roti bukan manusia. Kegalauan tukang roti keliling kemudian mendapat penjelasan Petugas Tibum bahwa untuk roda tiga angkutan barang diizinkan. Celah ini dimanfaatkan sebagian abang becak dengan merombak bagian depan dari becak menjadi hanya berbentuk kotak, seperti yang dipakai tukang rongsokan.
Banyak kemudian kotak beroda berkeliaran. Peminat atau yang butuh becak juga masih banyak. Karena itu, pemandangan lucu terjadi seakan ada manusia dibawa tukang rongsokan. Namun, lagi-lagi Petugas Tibum tidak mau ditipu. Ketika ada roda tiga, apa pun bentuknya, di dalamnya ada jok, langsung disita. Lama kelamaan becak di Jakarta pun hilang.
Politisasi dan Mobilisasi Terbetik kabar, setelah Pemda DKI Jakarta menghidupkan kembali becak, beberapa pekan kemudian ada truk bermuatan becak dari daerah masuk Jakarta. Petugas Satpol PP DKI Jakarta langsung mengusir balik keluar Jakarta. Sandiaga menengarai ada mobilisasi dan politisasi soal becak tersebut.
Apa yang dikatakan Sandiaga sebetulnya bukan hal baru. Becak menjadi mainan politik itu sudah sejak lama. Zaman Pak Harto menjadi presiden banyak becak, terutama di daerah-daerah, terpaksa berwarna kuning. Jangan coba-coba warnanya merah total. Bisa berurusan dengan aparat dan tidak dapat sembako.
Zaman sekarang becak boleh bebas warna tidak lagi harus warna partai. Namun, sering kita lihat abang becak mengenakan kaus bergambar calon bupati, calon gubernur, calon legislatif, sampai calon presiden. Jadi, begitulah nasib abang becak selalu menjadi mainan politik. Semestinya Sandiaga tahu soal itu dan siap programnya berpeluang dipolitisasi. Sesuatu yang sekarang menjadi lumrah banyak hal dipolitisasi, termasuk becak. Namun, masyarakat sudah cerdas, bisa menilai mana yang tulus dan bulus.
Tukang becak dari daerah masuk Jakarta menggunakan truk diduga karena mendengar ada kebijakan baru di Jakarta, yaitu Ibu Kota menerima kembali transportasi becak.
Merasa hidup di desa begitu sulit, maka adu nasib ke Jakarta pun dicoba. Ingin bertani di desa tidak memiliki lahan, berdagang tidak punya modal seperti di Jakarta ada OK Oce, menjadi pegawai negeri kudu sekolah dahulu, maka membecak menjadi pilihan yang pas, yaitu tanpa harus memeras otak tapi cukup pakai otot saja. Kondisi dan peluang ini, bisa jadi menggerakkan sekelompok tukang becak berangkat ke Jakarta dengan cara patungan menyewa truk.
Soal penggunaan truk ini juga pernah dilakukan para abang becak Jakarta akhir dekade sembilan puluhan. Ketika mereka semakin terjepit di Jakarta, maka sebagian dari mereka memutuskan pulang kampung atau pergi ke kota lain yang masih mengizinkan becak beroperasi. Para abang becak melakukan patungan untuk menyewa truk membawa becak mereka keluar Jakarta.
Kecurigaan Sandiaga tentang politik becak bisa saja benar. Namun, bisa jadi ada orang atau pihak tertentu iba melihat tukang becak kemudian mengongkosi berangkat ke Jakarta. Kemudian tampak seakan ada pengerahan abang becak menyerbu Jakarta dan Sandiaga menyebut sebagai mobilisasi.
Sebetulnya bisa jadi karena pada awal pengumuman tidak jelas. Abang becak seperti apa dan dari mana yang boleh beroperasi di Jakarta? Akibatnya banyak tukang becak tertarik masuk Jakarta karena stok abang becak di daerah memang masih sangat banyak.
Sebelum serbuan abang becak masuk Jakarta lebih besar, ada baiknya aturan membecak segera diterbitkan. Misal, para tukang becak wajib mengenakan jas dan dasi saat menjalankan praktiknya. Niscaya mereka yang ingin jadi tukang becak di Jakarta berpikir ulang. Bukan soal tidak mampu membeli jas dan dasi karena barang tersebut banyak dijual di pasar baju bekas impor Pasar Senen, Jakarta Pusat. Namun, calon abang becak urung niat karena membayangkan genjot becak pakai setelan jas dan dasi? Sumuk!
(maf)