Becak

Jum'at, 02 Februari 2018 - 07:11 WIB
Becak
Becak
A A A
Eddy Koko
Wartawan Senior

MENGEMUDI becak itu ti­dak mudah. Itu pe­nga­la­man 40 tahun lalu di Ko­ta Metro Lampung, ketika iseng pinjam becak milik teman, Eman, yang mangkal di ujung Ja­lan Kunang. Suatu kali becak yang saya kemudikan pada jalan me­nurun tiba-tiba me­nung­ging, berhenti, saat direm.

Roda be­lakang terangkat, dua teman se­bagai penumpang, salah s­a­tu­nya Eman, pemilik becak ikut nyung­sep. Saya pun terpental. Sa­m­pai sekarang Eman masih mbe­cak, masih setia mangkal di tem­pat dahulu. Kalau enggak per­caya, silakan ke Metro.

Soal prokontra kabar becak akan dihidupkan kembali di DKI Ja­karta memang menarik. Le­bih me­narik lagi menyak­si­kan ba­gai­ma­na nanti aparat pe­me­rin­tah melatih abang becak gen­jot be­cak. Seperti yang di­ren­ca­na­kan Wakil Gubernur DKI Jakarta San­diaga Uno, pe­nge­mudi becak akan dilatih gen­j­ot becak. Yakin yang m­e­la­tih tidak akan se­ma­put? Yakin le­bih pandai dari abang becak, gen­jotnya? Jangan sam­pai nan­ti dikoreksi abang be­c­ak, "Pak, genjotnya ke depan, bu­kan ke belakang!"

Seperti halnya bemo dan he­li­cak, sebetulnya becak juga ba­gi­an dari masa lalu dalam dunia trans­portasi kota metro­po­li­tan. Di beberapa tempat wi­la­yah Jakarta, masih ada satu dua be­cak sifatnya lebih sebagai ang­kutan internal perumahan. Be­cak sudah dilarang dan di­nya­ta­kan selesai, meski sebagian orang masih membutuhkan.

Tahun ‘80-an ketika becak mu­­­lai dilarang melintas di jalan pro­­­tokol Jakarta, orang masih bi­­sa memanfaatkan becak pada ma­­­lam hari. Becak masih ter­li­hat me­lintas di jalan protokol an­­tara te­ngah malam sampai men­­jelang su­buh. Nyaman juga ra­­sanya, pe­nga­laman naik be­cak dari Sarinah di Jalan MH Tha­­m­rin ke Mang­ga­rai mele­wati Bun­der­an Hotel In­do­ne­sia (HI), Ja­lan Imam Bonjol, Ja­lan La­­t­u­har­hari, Pasar Rum­put. Pang­­kalan be­cak pada masa itu, an­­tara lain di samping HI un­tuk ka­­wa­san Ke­bon Kacang dan se­ki­­tarnya. M­e­reka tidak boleh ma­­suk jalan protokol, kecuali ma­­lam setelah pukul 22.00 WIB.

Dengan atap becak yang se­nga­ja dilipat terbuka pe­num­pang bisa berbincang tentang ke­hidupan dengan abang be­cak. Tidak ada perbincangan po­li­tik yang menarik seperti se­ka­rang, saat kita naik taksi, bajaj, atau angkutan umum lain. Pada ma­sa itu banyak orang takut b­­i­ca­ra soal politik. Semua orang hati-hati, curiga, bisa jadi, si abang becak atau pe­num­pan­g­nya adalah tekek (istilah buat pe­tugas intelijen). Salah omong bi­sa langsung masuk Guntur tan­pa pulang dahulu untuk am­b­il sikat gigi dan handuk.

Guntur yang dimaksud ada­lah Markas Polisi Militer di Ja­lan Guntur, Jakarta Selatan, se­ka­rang dipinjam untuk mondok ta­hanan Komisi Pemberan­tas­an Korupsi (KPK). Sekitar Mar­kas PM Guntur pada masa itu ju­ga terdapat ratusan becak mang­kal dan berkeliaran setiap hari.

Razia Becak

Pada kenya­ta­annya meng­ha­pus becak di Ja­karta tidak mu­dah. Sampai akhir dekade de­la­pan puluhan be­cak masih ber­ke­liaran, te­r­uta­ma di per­mu­kiman, se­perti Ke­bon Ka­cang, Cempaka Pu­tih, T­e­bet dan lain­nya. Operasi te­­rus di­la­ku­kan. Becak yang te­r­tang­­kap lang­s­ung disita pe­tu­gas tibum (sing­katan dari ke­ter­tib­an umum), sekarang dikenal de­ngan nama Satuan Polisi Pa­mong Pra­ja (Satpol PP).

Aturan awal saat itu becak di­la­­rang melintas di jalan pro­to­kol, tapi masih diperbolehkan ber­­operasi di lingkungan pe­ru­mah­­an. Namun, sedikit orang yang naik becak di dalam ling­kung­­an perumahan. Yang ba­nyak adalah dari ujung jalan pro­to­kol masuk ke kompleks pe­ru­mah­an. Maka becak mang­kal di se­t­iap ujung jalan atau gang me­nyam­but penumpang tu­run da­ri bus kota. Mirip tu­kang ojek saat ini kita lihat tum­pah ke luar gang, masuk jalan protokol.

Memasuki era 1990 pe­ner­tib­an yang dilakukan Petugas Ti­bum terhadap becak semakin se­­ring. Aturan ditingkatkan men­­­jadi Jakarta mengarah pa­da be­bas becak, maka kejar-ke­jar­an dan kucing-kucingan an­ta­ra Pe­tu­­gas Tibum DKI Jakarta de­ngan abang becak menjadi pe­man­dang­an sehari-hari. Pe­nang­­kap­an ratusan becak tidak men­­j­a­di­kan abang becak lain men­­jadi jera. Ini bisa di­me­nger­ti k­a­rena dari menggenjot be­cak­­lah me­re­ka hidup. Sebagian b­e­­sar men­jadi abang becak di Ja­­kar­ta me­rupakan pilihan te­r­­akhir, se­telah sulit men­cari pe­ker­jaan di kampung.

Rasa iba muncul jika m­e­nyak­sikan perebutan be­cak an­tara abang becak dan Petugas Ti­bum. Ten­tu perlawanan tidak se­im­­bang. Selalu terjadi sa­tu orang abang becak me­la­­wan tiga sampai lima P­e­tu­­gas Ti­bum. Tidak ada te­man yang mem­bantu dalam per­lawanan ka­rena masing-masing lari me­nye­lamatkan becaknya.

Begitu becak tertangkap lang­sung dijungkirbalikkan oleh petugas, mirip tukang jagal me­­robohkan sapi yang hendak di­­potong, sehingga tidak bisa ka­­bur lagi. Penjungkirbalikan di­­r­­asa paling efektif adalah me­ma­­sukan ke saluran air atau pa­rit sehingga perebutan menjadi su­­lit dimenangkan abang becak.

Selanjutnya terjadi drama, abang becak yang panik, karena ha­rus mengganti becak milik to­ke jika hilang berusaha m­e­re­but. Walau tahu tidak akan me­nang, tetap saja abang becak ber­­usaha melawan. Tiga orang Pe­tu­gas Tibum menarik becak s­ementara dua lain menarik abang becak dari cengkeraman pa­da becak. Abang becak pun ka­lah. Petugas langsung me­lem­parkan becak ke atas truk.

Banyak orang hanya bisa me­non­ton dengan rasa pilu. Yang satu menegakkan aturan, yang satu lagi mencari nafkah buat meng­hidupi keluarga. Begitu ka­lah dalam perebutan, maka lo­­yolah si abang becak. Berjalan pu­lang seraya menunduk de­ngan raut muka sedih. Patut di­du­ga dia berpikir harus meng­gan­­ti becak dan hilangnya alat peng­­hidupan. Pemandangan yang mengenaskan ini akankah ter­­jadi lagi nanti, saat gu­bernur peng­ganti Anis Sandi me­larang be­cak kembali?

Tidak semua gagal dalam men­dapatkan becak kembali. Ada tukang becak yang cerdik. Ke­tika kalah dan becaknya di­ba­wa pergi dengan serta-merta dia nekat ikut naik truk. Ikut ke ma­­na truk pembawa puluhan be­cak sitaan tersebut. Pada sua­tu tempat negosiasi dilakukan an­tara si abang becak dengan se­orang atau lebih petugas Tibum.

Se­telah nilai tebusan tidak res­mi disepakati, bayar dan becak bi­sa keluar lagi. Kelakuan ini me­rupakan salah satu faktor pe­nertiban becak di Jakarta cu­kup panjang, sampai bertahun-tahun karena becak ada terus.

Ketika penertiban becak di­mu­­lai sebetulnya bukan hanya tu­­kang becak yang ketar-ketir, ta­pi juga tukang roti keliling meng­­gunakan roda tiga. Ge­ro­bak roti beroda tiga, sampai se­ka­rang masih ada, pada das­ar­nya be­cak yang bagian depan ber­­ben­tuk kotak berisi roti bu­kan ma­nusia. Kegalauan tu­kang roti ke­liling kemudian men­dapat pen­jelasan Petugas Ti­bum ba­h­wa untuk roda tiga ang­kutan ba­rang di­izin­kan. C­e­lah ini di­­man­faat­kan se­bagian abang be­cak de­ngan merombak ba­g­ian de­pan dari becak me­n­ja­di hanya ber­bentuk kotak, se­per­ti yang di­pa­kai tukang rongsokan.

Banyak kemudian kotak be­roda berkeliaran. Peminat atau yang butuh becak juga masih ba­nyak. Karena itu, ­pe­man­dang­an lucu terjadi seakan ada ma­nu­sia dibawa tukang ron­gsok­an. Namun, lagi-lagi Petugas Ti­bum tidak mau ditipu. Ketika ada roda tiga, apa pun b­en­tuk­nya, di dalamnya ada jok, lang­sung disita. Lama kelamaan be­cak di Jakarta pun hilang.

Politisasi dan Mobilisasi Ter­­be­­tik kabar, setelah Pemda DKI Ja­­karta menghidupkan kem­­bali be­cak, beberapa pekan ke­­mu­dian ada truk bermuatan be­­cak dari dae­rah masuk Ja­kar­ta. Pe­tugas Sat­pol PP DKI Ja­karta lan­g­sung meng­usir ba­lik keluar Ja­karta. San­diaga me­nengarai ada m­obi­li­sa­si dan po­litisasi soal becak tersebut.

Apa yang dikatakan San­di­aga se­betulnya bukan hal baru. Be­cak menjadi mainan politik itu su­dah sejak lama. Zaman Pak Har­to menjadi presiden ba­nyak be­cak, terutama di daerah-dae­rah, terpaksa berwarna ku­ning. Ja­n­gan coba-coba war­na­nya me­rah total. Bisa berurusan dengan apa­rat dan tidak dapat sembako.

Zaman sekarang becak bo­leh be­bas warna tidak lagi harus war­na partai. Namun, sering ki­ta li­hat abang becak m­­e­nge­na­kan kaus bergambar calon bu­pa­ti, ca­lon gubernur, calon le­gis­­­latif, sam­pai calon pre­si­den. J­a­di, be­gitulah nasib abang be­cak se­lalu menjadi mai­n­an po­li­tik. Semestinya San­diaga ta­hu soal itu dan siap prog­ram­nya ber­pe­luang di­po­li­ti­sasi. Se­sua­tu yang se­ka­rang menjadi lum­­rah ba­nyak hal di­po­li­ti­sasi, ter­ma­s­­uk becak. Na­mun, ma­sya­ra­kat sudah cer­das, bisa menilai ma­na yang tulus dan bulus.

Tukang becak dari daerah ma­suk Jakarta menggunakan truk diduga karena mendengar ada kebijakan baru di Jakarta, ya­itu Ibu Kota menerima kem­ba­li transportasi becak.

Merasa hidup di desa begitu su­lit, maka adu nasib ke Jakarta pun dicoba. Ingin bertani di de­sa tidak memiliki lahan, b­er­da­gang tidak punya modal seperti di Jakarta ada OK Oce, menjadi pe­gawai negeri kudu sekolah da­­hulu, maka membecak men­ja­di pi­lihan yang pas, yaitu tan­pa ha­rus memeras otak tapi cu­kup pa­kai otot saja. Kondisi dan pe­luang ini, bisa jadi meng­ge­rak­kan sekelompok tukang be­cak ber­angkat ke Jakarta de­ngan ca­ra patungan menyewa truk.

Soal penggunaan truk ini juga per­nah dilakukan para abang be­cak Jakarta akhir de­ka­de sem­bi­lan puluhan. Ketika me­reka se­ma­kin terjepit di Ja­kar­ta, maka se­bagian dari me­re­ka me­mu­tus­kan pulang ka­m­pung atau pergi ke kota lain ya­ng ma­sih men­g­izin­kan becak ber­ope­rasi. Para abang becak me­la­ku­kan pa­tung­an untuk me­nye­wa truk mem­ba­wa becak me­re­ka keluar Jakarta.

Kecurigaan Sandiaga ten­tang politik becak bisa saja be­nar. Namun, bisa jadi ada orang atau pihak tertentu iba melihat tu­kang becak kemudian meng­ong­kosi berangkat ke Jakarta. Ke­mudian tampak seakan ada pe­ngerahan abang becak me­nye­r­bu Jakarta dan Sandiaga me­nyebut sebagai mobilisasi.

Sebetulnya bisa jadi karena pa­da awal pengumuman tidak je­las. Abang becak seperti apa dan dari mana yang boleh ber­ope­rasi di Jakarta? Akibatnya ba­nyak tukang becak tertarik ma­suk Jakarta karena stok abang becak di daerah memang ma­sih sangat banyak.

Sebelum serbuan abang be­cak masuk Jakarta lebih besar, ada baiknya aturan membecak se­gera diterbitkan. Misal, para tu­kang becak wajib me­nge­na­kan jas dan dasi saat men­ja­lan­kan praktiknya. Niscaya me­re­ka yang ingin jadi tukang becak di Jakarta berpikir ulang. Bukan soal tidak mampu membeli jas dan dasi karena barang tersebut ba­nyak dijual di pasar baju bekas im­por Pasar Senen, Jakarta P­u­sat. Namun, calon abang becak urung niat karena mem­ba­yang­kan genjot becak pakai setelan jas dan dasi? Sumuk!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1176 seconds (0.1#10.140)