Suplemen Mengandung Babi
A
A
A
MASYARAKAT Indonesia dikejutkan dengan temuan adanya suplemen dan obat yang mengandung deoxyribose nucleic acid (DNA) babi. Tentu fenomena ini patut disesalkan karena obat-obatan tersebut telah lama beredar dan dikonsumsi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Temuan ini merupakan peringatan keras dan harus menjadikan pemerintah, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan aparat hukum, untuk lebih bisa meningkatkan pengawasannya terhadap makanan dan obat yang beredar luas di masyarakat.
Adalah Viostin DS dengan nomor izin edar NIE POM SD. 051523771 dan nomor bets BN C6K994H produksi PT Pharos Indonesia serta Enzyplex tablet yang bernomor izin NIE DBL7214704016A1 dan nomor bets 16185101 buatan PT Medifarma Laboratories yang disinyalir kuat mengandung DNA babi.
Penemuan dua suplemen makanan yang mengandung DNA babi ini membuktikan bahwa kontrol pemerintah terhadap peredaran obat dan makanan sangat lemah. Apalagi dua produk yang disebutkan itu sudah lama beredar di pasaran dan dikonsumsi masyarakat. Fakta ini juga menjadi tamparan keras pemerintah untuk lebih selektif dan ketat dalam memberikan izin edar bagi makanan dan obat.
Tentu banyak masyarakat muslim yang selama ini mengonsumsi dua suplemen tersebut sangat dirugikan. Karena memang dalam agama Islam, babi merupakan salah satu makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Karena itu sudah seharusnya hal ini dijadikan pelajaran bagi semua pihak, terutama pemerintah dan aparat hukum, agar memastikan kasus ini tidak terulang di masa mendatang.
Karena hal seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya kita juga dihebohkan dengan adanya mie korea yang diduga kuat mengandung babi beredar luas di pasaran.
Menjual daging atau makanan yang mengandung babi tentu tidak dilarang di Indonesia. Namun yang dituntut adalah kejujuran produsen dalam memberikan keterangan yang jelas tentang kandungan makanan yang dijual tersebut. Hal ini penting untuk memberikan pilihan bagi masyarakat dalam memilih makanan atau obat yang dikonsumsi.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dua suplemen tersebut sampai lolos dan mendapatkan izin edar? Pertama, patut diduga ini adalah kurangnya pengawasan yang dilakukan BPOM terhadap makanan yang beredar di masyarakat. Meskipun BPOM berkilah telah melakukan pengawasan secara berkala, temuan dua suplemen mengandung babi tersebut merupakan bukti keteledoran mereka.
Kedua, kurang tegasnya penegakan hukum dalam masalah-masalah makanan yang mengandung unsur babi. Dalam kasus-kasus sebelumnya, seakan kita tak pernah mendengar produsen makanan yang mengandung babi dihukum berat. Bahkan banyak kasus seperti menguap tanpa penyelesaian yang jelas dan tegas. Hal inilah yang mendorong banyak orang masih saja berani untuk memproduksi atau mengimpor obat dan makanan tanpa menyebutkan kandungan aslinya.
Karena itu kasus Viostin DS dan Enzyplex ini tidak boleh selesai hanya dengan menarik dua suplemen dan obat tersebut dari pasaran. Pemerintah dan aparat hukum harus melakukan investigasi sampai tuntas mengapa dua suplemen tersebut bisa sampai lolos ke pasaran tanpa ada keterangan kandungannya secara jelas. Hasilnya harus diumumkan ke masyarakat. Transparansi ini penting untuk menghilangkan kecurigaan masyarakat terhadap penanganan kasus.
Selanjutnya kasus temuan ini harus diproses secara hukum. Setidaknya dua produsen suplemen tersebut diduga kuat melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang melanggar diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Ancaman hukuman di atas sebenarnya terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkannya. Namun setidaknya aparat hukum harus tegas mengusut kasus ini hingga tuntas.
Penegakan hukum penting dilakukan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi yang berani memalsukan kandungan obat atau makanan, apalagi memasukkan zat-zat yang haram maupun berbahaya. Karena jika masalah ini kembali dibiarkan, kasus-kasus serupa dipastikan akan muncul lagi di masa mendatang. Di sinilah konsistensi dan ketegasan pemerintah dan aparat hukum diuji. Kita tunggu saja.
Temuan ini merupakan peringatan keras dan harus menjadikan pemerintah, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan aparat hukum, untuk lebih bisa meningkatkan pengawasannya terhadap makanan dan obat yang beredar luas di masyarakat.
Adalah Viostin DS dengan nomor izin edar NIE POM SD. 051523771 dan nomor bets BN C6K994H produksi PT Pharos Indonesia serta Enzyplex tablet yang bernomor izin NIE DBL7214704016A1 dan nomor bets 16185101 buatan PT Medifarma Laboratories yang disinyalir kuat mengandung DNA babi.
Penemuan dua suplemen makanan yang mengandung DNA babi ini membuktikan bahwa kontrol pemerintah terhadap peredaran obat dan makanan sangat lemah. Apalagi dua produk yang disebutkan itu sudah lama beredar di pasaran dan dikonsumsi masyarakat. Fakta ini juga menjadi tamparan keras pemerintah untuk lebih selektif dan ketat dalam memberikan izin edar bagi makanan dan obat.
Tentu banyak masyarakat muslim yang selama ini mengonsumsi dua suplemen tersebut sangat dirugikan. Karena memang dalam agama Islam, babi merupakan salah satu makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Karena itu sudah seharusnya hal ini dijadikan pelajaran bagi semua pihak, terutama pemerintah dan aparat hukum, agar memastikan kasus ini tidak terulang di masa mendatang.
Karena hal seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya kita juga dihebohkan dengan adanya mie korea yang diduga kuat mengandung babi beredar luas di pasaran.
Menjual daging atau makanan yang mengandung babi tentu tidak dilarang di Indonesia. Namun yang dituntut adalah kejujuran produsen dalam memberikan keterangan yang jelas tentang kandungan makanan yang dijual tersebut. Hal ini penting untuk memberikan pilihan bagi masyarakat dalam memilih makanan atau obat yang dikonsumsi.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dua suplemen tersebut sampai lolos dan mendapatkan izin edar? Pertama, patut diduga ini adalah kurangnya pengawasan yang dilakukan BPOM terhadap makanan yang beredar di masyarakat. Meskipun BPOM berkilah telah melakukan pengawasan secara berkala, temuan dua suplemen mengandung babi tersebut merupakan bukti keteledoran mereka.
Kedua, kurang tegasnya penegakan hukum dalam masalah-masalah makanan yang mengandung unsur babi. Dalam kasus-kasus sebelumnya, seakan kita tak pernah mendengar produsen makanan yang mengandung babi dihukum berat. Bahkan banyak kasus seperti menguap tanpa penyelesaian yang jelas dan tegas. Hal inilah yang mendorong banyak orang masih saja berani untuk memproduksi atau mengimpor obat dan makanan tanpa menyebutkan kandungan aslinya.
Karena itu kasus Viostin DS dan Enzyplex ini tidak boleh selesai hanya dengan menarik dua suplemen dan obat tersebut dari pasaran. Pemerintah dan aparat hukum harus melakukan investigasi sampai tuntas mengapa dua suplemen tersebut bisa sampai lolos ke pasaran tanpa ada keterangan kandungannya secara jelas. Hasilnya harus diumumkan ke masyarakat. Transparansi ini penting untuk menghilangkan kecurigaan masyarakat terhadap penanganan kasus.
Selanjutnya kasus temuan ini harus diproses secara hukum. Setidaknya dua produsen suplemen tersebut diduga kuat melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam aturan itu disebutkan, siapa pun yang melanggar diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Ancaman hukuman di atas sebenarnya terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkannya. Namun setidaknya aparat hukum harus tegas mengusut kasus ini hingga tuntas.
Penegakan hukum penting dilakukan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi yang berani memalsukan kandungan obat atau makanan, apalagi memasukkan zat-zat yang haram maupun berbahaya. Karena jika masalah ini kembali dibiarkan, kasus-kasus serupa dipastikan akan muncul lagi di masa mendatang. Di sinilah konsistensi dan ketegasan pemerintah dan aparat hukum diuji. Kita tunggu saja.
(maf)