Rangkap Jabatan
A
A
A
MASALAH rangkap jabatan menteri dengan partai politik (parpol) memang bukan isu baru. Hampir di setiap rezim, masalah dobel jabatan ini menjadi pro kontra di masyarakat. Yang penting, rangkap jabatan atau tidak, para menteri dituntut bekerja profesional dan menjadikan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya.
Terpilihnya Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum DPP Golkar menggantikan Setya Novanto yang kini sedang terkena kasus dugaan korupsi e-KTP di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pemicu masalah rangkap jabatan di Kabinet Kerja. Ditambah lagi, masuknya Idrus Marham menggantikan Khofifah Indar Parawansa menjadi Menteri Sosial. Idrus yang sebelumnya menjabat sekretaris jenderal (sekjen) kini masih menjadi pengurus DPP Partai Golkar.
Fenomena ini cukup menarik untuk dikaji bersama. Karena dari awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu menekankan untuk tidak mengizinkan menterinya rangkap jabatan. Sejumlah menteri akhirnya memilih meninggalkan jabatan struktural di partai saat ditunjuk masuk dalam Kabinet Kerja.
Di antaranya, sebut saja Menko Polhukam Jenderal (purn) Wiranto langsung melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Hanura saat didaulat masuk ke Kabinet Kerja. Lalu, Puan Maharani sebelumnya juga melepaskan jabatan strukturalnya di PDIP saat dipercaya Presiden Jokowi memegang posisi sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
M Prasetyo juga keluar dari kepenguruan di Partai Nasdem ketika ditunjuk menjadi Jaksa Agung. Mereka masuk ke dalam pemerintahan benar-benar dalam status tidak berafiliasi lagi dengan parpol. Tradisi yang sudah dibangun Presiden Jokowi selama tiga tahun pemerintahannya ini sebenarnya sangat positif dan patut diapresiasi.
Ada sejumlah alasan mengapa anggota kabinet harus benar-benar bersih dari kepentingan parpol. Pertama, agar kinerja sang menteri tersebut konsentrasinya benar-benar untuk kepentingan bangsa dan negara. Rangkap jabatan membuat fokus menteri menjadi terbagi-bagi, sehingga kinerjanya berpotensi tidak akan optimal. Tak mengherankan jika rangkap jabatan bakal mengganggu pekerjaan sang menteri yang memang sudah memiliki pekerjaan yang berat.
Kedua, untuk menghindari penggunaan fasilitas negara bagi kepentingan politik tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pejabat yang merangkap jabatan lain di partai politik seringkali kebijakannya menjadi bias. Power yang dimiliki bagai seorang menteri bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan parpol yang menaunginya. Akibatnya, seorang menteri yang rangkap jabatan sulit akan berlaku objektif dan independen.
Ketiga, kebijakan tidak rangkap jabatan juga diperlukan untuk menghindarkan kementerian dijadikan “mesin ATM” partai politik. Posisi menteri sebagai pejabat tinggi negara memiliki power yang besar sehingga bisa dimungkinkan disalahgunakan yang bersangkutan untuk kepentingan parpolnya. Apalagi, saat ini sudah masuk tahun politik yang tentu parpol membutuhkan suplai dana yang besar untuk menhadapi pemilu.
Meski dampaknya tidak baik untuk kinerja pemerintahan, namun rangkap jabatan tidak dilarang. Hal itu hanya tergantung komitmen dan niat baik seorang pemimpin. Kebijakan Presiden Jokowi yang tidak lagi concern terhadap isu rangkap jabatan ini bisa dipahami dalam kerangka kepentingan Pemilu 2019.
Hal ini juga terkait dengan penambahan satu kursi menteri bagi Golkar. Semuanya bisa dimaknai sebagai cara pemerintah dalam mengikat Golkar agar tidak beralih ke “lain hati”. Kita hanya bisa berharap agar menteri yang rangkap jabatan benar-benar bisa bersikap profesional dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk parpolnya.
Terpilihnya Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum DPP Golkar menggantikan Setya Novanto yang kini sedang terkena kasus dugaan korupsi e-KTP di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pemicu masalah rangkap jabatan di Kabinet Kerja. Ditambah lagi, masuknya Idrus Marham menggantikan Khofifah Indar Parawansa menjadi Menteri Sosial. Idrus yang sebelumnya menjabat sekretaris jenderal (sekjen) kini masih menjadi pengurus DPP Partai Golkar.
Fenomena ini cukup menarik untuk dikaji bersama. Karena dari awal pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu menekankan untuk tidak mengizinkan menterinya rangkap jabatan. Sejumlah menteri akhirnya memilih meninggalkan jabatan struktural di partai saat ditunjuk masuk dalam Kabinet Kerja.
Di antaranya, sebut saja Menko Polhukam Jenderal (purn) Wiranto langsung melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Hanura saat didaulat masuk ke Kabinet Kerja. Lalu, Puan Maharani sebelumnya juga melepaskan jabatan strukturalnya di PDIP saat dipercaya Presiden Jokowi memegang posisi sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
M Prasetyo juga keluar dari kepenguruan di Partai Nasdem ketika ditunjuk menjadi Jaksa Agung. Mereka masuk ke dalam pemerintahan benar-benar dalam status tidak berafiliasi lagi dengan parpol. Tradisi yang sudah dibangun Presiden Jokowi selama tiga tahun pemerintahannya ini sebenarnya sangat positif dan patut diapresiasi.
Ada sejumlah alasan mengapa anggota kabinet harus benar-benar bersih dari kepentingan parpol. Pertama, agar kinerja sang menteri tersebut konsentrasinya benar-benar untuk kepentingan bangsa dan negara. Rangkap jabatan membuat fokus menteri menjadi terbagi-bagi, sehingga kinerjanya berpotensi tidak akan optimal. Tak mengherankan jika rangkap jabatan bakal mengganggu pekerjaan sang menteri yang memang sudah memiliki pekerjaan yang berat.
Kedua, untuk menghindari penggunaan fasilitas negara bagi kepentingan politik tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pejabat yang merangkap jabatan lain di partai politik seringkali kebijakannya menjadi bias. Power yang dimiliki bagai seorang menteri bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan parpol yang menaunginya. Akibatnya, seorang menteri yang rangkap jabatan sulit akan berlaku objektif dan independen.
Ketiga, kebijakan tidak rangkap jabatan juga diperlukan untuk menghindarkan kementerian dijadikan “mesin ATM” partai politik. Posisi menteri sebagai pejabat tinggi negara memiliki power yang besar sehingga bisa dimungkinkan disalahgunakan yang bersangkutan untuk kepentingan parpolnya. Apalagi, saat ini sudah masuk tahun politik yang tentu parpol membutuhkan suplai dana yang besar untuk menhadapi pemilu.
Meski dampaknya tidak baik untuk kinerja pemerintahan, namun rangkap jabatan tidak dilarang. Hal itu hanya tergantung komitmen dan niat baik seorang pemimpin. Kebijakan Presiden Jokowi yang tidak lagi concern terhadap isu rangkap jabatan ini bisa dipahami dalam kerangka kepentingan Pemilu 2019.
Hal ini juga terkait dengan penambahan satu kursi menteri bagi Golkar. Semuanya bisa dimaknai sebagai cara pemerintah dalam mengikat Golkar agar tidak beralih ke “lain hati”. Kita hanya bisa berharap agar menteri yang rangkap jabatan benar-benar bisa bersikap profesional dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk parpolnya.
(kri)