Kesenjangan Ekonomi

Rabu, 24 Januari 2018 - 08:00 WIB
Kesenjangan Ekonomi
Kesenjangan Ekonomi
A A A
SANGAT menarik mencermati tentang jumlah miliarder dunia tumbuh setiap dua hari pada periode Maret 2016-Maret 2017 (Koran Sindo, 23 Januari 2018). Bahasa awam menerima informasi itu sebagai orang kaya dunia bertambah banyak. Pun demikian jika sekilas dilihat, seperti menunjukkan bahwa ekonomi dunia tumbuh dengan baik. Namun jika ditelaah lebih dalam, justru ekonomi dunia dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Bahkan lembaga nirlaba Oxfam mengatakan kondisi ini menunjukkan sistem ekonomi dunia gagal. Kenapa? Karena ketika orang kaya bertambah banyak namun justru penghasilan kelompok menengah ke bawah stagnan. Artinya kue ekonomi selama ini hanya dimiliki oleh segelintir orang dan masyarakat pada umumnya. Oxfam menyebutkan kekayaan delapan orang miliarder setara dengan kekayaan 3,6 juta orang dunia.

Kesenjangan ekonomi dunia justru semakin menganga. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Wajar jika Oxfam me­nyebutkan bahwa sistem ekonomi dunia gagal mengatasi persoalan ekonomi di bumi ini. Oxfam menyebutkan kegagalan ini disebabkan adanya dugaan penggelapan pajak oleh kaum berduit.

Selain itu, negara-negara tertentu yang menerapkan pajak rendah sehingga banyak miliarder yang menyembunyikan hartanya ke negara-negara tersebut. Semua negara tampaknya belum bisa mengatasi ini semua sehingga seperti memperhatikan si kaya dan membiarkan begitu saja orang menengah ke bewah. Apakah ini juga menunjukkan bahwa sistem kapitalis yang saat ini banyak dipakai oleh banyak negara sudah tepat? Perlu kajian yang perlu mendalam lagi.

Parahnya lagi, para miliarder ini memiliki akses atau bahkan diberikan akses yang lebih mudah ke dunia politik. Dengan kekuatan hartanya, mereka bisa mengendalikan sistem politik negara bahkan dunia agar menguntungkan para miliarder. Artinya suap menyuap, nepotisme dan korupsi masih menjadi persoalan di dunia. Jika demikian ekonomi dunia memang benar-benar hanya dikendalikan dengan segelintir orang berduit. Sedangkan mereka yang tidak atau belum memiliki duit hanya bisa pasrah karena toh juga tidak mempunyai akses atau diberi akses ke dunia politik.

Gambaran dunia di atas mirip dengan Indonesia. Bahwa persoalan kesenjangan masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa ini. Perbandingan miliarder di Indonesia dengan kelompok menengah ke bawah justru nilainya lebih lebar dari dunia. Oxfam menyebutkan juga kekayaan empat miliarder di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang di Indonesia.

Ketimpangan ini yang membuat pertumbuhan ekonomi kita tidak bisa cepat ataupun berkualitas. Jika sistem ekonomi dunia dikatakan oleh Oxfam gagal, apakah ini berarti sistem ekonomi di Indonesia juga gagal. Jika mengacu pada parameter di atas tentu, sistem ekonomi kita juga perlu dipertanyakan juga.

Pemerintahan demi pemerintahan di Indonesia memang terus bekerja untuk mengatasi ketimpangan ini. Pemerintah bukan tidak tahu tentang ketimpangan ini, namun hingga saat ini belum ada solusi yang kon­kret tentang ini. Terbukti bahwa ketimpangan antara si kaya dan si miskin masih saja terjadi. Bahkan di kota sebesar DKI Jakarta yang menjadi ibu kota negeri ini, ketimpangan justru sangat terlihat.

Memang ketimpangan yang diukur menggunakan gini ratio menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menurun dibandingkan periode-periode sebelumnya. Pada semester II 2016 gini ratio kita mencapai 0,394. Ada penurunan di semester I 2017 yaitu 0,393 dan menurun lagi pada 0,393 pada semester II 2017. Namun, rakyat saat ini tidak memedulikan angka-angka tersebut. Rakyat kita membutuhkan kondisi real saat ini.

Kita hargai upaya pemerintah saat ini dengan membangun dari pinggiran Indonesia. Artinya memang daerah-daerah yang selama ini tidak terjamah pembangunan langsung diintervensi pemerintah, terutama Indonesia Timur, Kalimantan dan Sumatera. Pulau Jawa yang secara ekonomi telah maju bukan menjadi fokus.

Tentu harapannya, upaya pemerintah ini bisa membuahkan hasil dengan menekan kemiskinan. Satu pekerjaan rumah lagi bagi pemerintah adalah hubungan antara miliarder dan politik, seperti dugaan Oxfam di atas perlu dicermati. Jika ini terus berlanjut bukan tidak mungkin upaya membangun Indonesia dari pinggiran juga sebatas jargon.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0745 seconds (0.1#10.140)