Menyandera Verifikasi Parpol
A
A
A
Khairul Fahmi
Dosen HTN, Peneliti Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
PASCAPUTUSAN MK Nomor 53/PUU-XV/2017, tahapan verifikasi parpol peserta pemilu 2019 memasuki babak baru. Putusan yang menyatakan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 itu eksplisit memuat perintah agar semua parpol calon peserta pemilu diverifikasi. Semua parpol, baik peserta pemilu 2014 maupun parpol baru, mesti diperiksa kembali keterpenuhan syaratnya sebelum ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu 2019.
Walaupun demikian, pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR justru hendak membelokkannya. Dalam rapat konsultasi DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu dua hari lalu diusulkan agar verifikasi faktual ditiadakan. Untuk itu, seluruh fraksi di DPR mengusulkan agar pengaturan tentang verifikasi faktual dalam Peraturan KPU No 11/2017 dihilangkan.
Pada saat yang sama, verifikasi cukup dimaknai sebatas penelitian administrasi yang sudah selesai dilakukan. Dengan begitu, bengkalai verifikasi faktual tidak perlu lagi diselesaikan KPU. Seluruh parpol yang sudah lulus penelitian administrasi sudah dianggap lulus verifikasi dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.
UU dan Putusan MK
Usulan memaknai verifikasi sebatas penelitian administrasi jelas merupakan upaya pembangkangan terhadap hukum. Usulan itu dibangun atas argumentasi bahwa UU No 7/2017 tidak mengatur tentang verifikasi faktual dan MK tidak menegaskan ihwal verifikasi itu. Dalil tersebut jelas tak lebih dari sekadar akal-akalan belaka.
Pertama, UU No 7/2017 memang tidak menyebut istilah verifikasi faktual sebagaimana pernah digunakan dalam UU No 8/2012, tetapi hanya menggunakan istilah verifikasi. Sesuai Pasal 174 dan Pasal 178 UU Pemilu, verifikasi itu dilakukan dengan melaksanakan dua aktivitas, yaitu penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan.
Penelitian administrasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan yang ditentukan undang-undang. Pada tahap ini, KPU sebatas memeriksa apakah persyaratan yang ada sudah lengkap secara kuantitatif, termasuk memeriksa syarat minimal jumlah anggota masing-masing parpol.
Selanjutnya, keterpenuhan syarat secara kuantitatif itu ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan keabsahan syarat atau disebut juga dengan verifikasi faktual. Pada tahap ini, syarat-syarat yang ada diperiksa kebenarannya. Pemeriksaan pada tahap inilah yang akan jadi penilaian akhir menentukan apakah parpol calon peserta pemilu memenuhi syarat atau tidak. Rangkaian penelitian administrasi (verifikasi administrasi) dan penetapan keabsahan (verifikasi faktual) itu merupakan satu kesatuan tahapan verifikasi.
Apabila verifikasi hanya dimaknai sebatas penelitian administrasi sebagaimana kehendak pemerintah dan DPR, maka penetapan keabsahan yang diperintahkan UU Pemilu tentu tidak akan dilaksanakan. Dalam arti, perintah UU akan diabaikan atau disimpangi. Pengabaian dimaksud dipastikan akan berdampak pada ditetapkannya parpol sebagai peserta pemilu, sekalipun belum pernah dibuktikan keabsahan persyaratannya.
Kedua, putusan MK juga dianggap tidak menegaskan keharusan verifikasi faktual. Apabila alasan ini benar adanya, maka hal itu jelas sebuah kekeliruan besar. Dalam pertimbangan hukum, putusan No 53/PUU-XV/2017, secara eksplisit ditegaskan bahwa verifikasi faktual harus dilaksanakan.
Tepatnya, MK menyatakan, peraturan KPU yang terkait dengan verifikasi parpol peserta pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang dimuat dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Artinya, MK memerintah KPU agar mengatur secara detail bagaimana verifikasi faktual dilaksanakan.
Bahkan, MK juga menyoroti masalah verifikasi syarat kepengurusan parpol tingkat kecamatan yang sama sekali tidak pernah dilakukan pada Pemilu 2014. Dalam pertimbangan hukum MK dinyatakan, KPU juga harus mengatur dan melaksanakan verifikasi faktual terhadap kepengurusan partai politik tingkat kecamatan.
Lebih jauh ditegaskan, mengabaikan verifikasi faktual atas semua persyaratan dimaksud di samping kontradiksi dengan penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu, juga sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Dalam hal ini, kehati-hatian penyelenggara untuk memastikan semua persyaratan dilakukan verifikasi faktual begitu penting.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, bagian mana sesungguhnya dalam putusan MK dimaksud yang dinilai tidak menegaskan ihwal keberadaan verifikasi faktual sehingga hendak dibelokkan pula? Bukankah alasan bahwa MK tidak menegaskan keberadaan verifikasi faktual hanyalah sebatas argumentasi yang dibuat-buat untuk sekadar menghindar dari lorong verifikasi faktual yang seharusnya dilewati?
Menyandera Verifikasi Faktual
Usulan fraksi-fraksi DPR untuk menghilangkan ketentuan verifikasi faktual dalam peraturan KPU juga merupakan bukti keengganan parpol untuk diverifikasi. Secara a contrario dapat dipahami, berbagai alasan yang dibangun ketika melahirkan norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu terkandung niat untuk tidak mau diverifikasi lagi. Parpol di DPR ingin mengikuti pemilu tanpa perlu diverifikasi keterpenuhan syaratnya.
Keengganan itu salah satunya dilatari kekhawatiran tidak akan mampu memenuhi syarat yang diatur undang-undang. Hal itu sangat logis, mengingat mayoritas parpol memang tidak mengelola organisasi secara baik. Infrastruktur, kepengurusan, dan keanggotaan parpol tidak terjaga secara baik dan berkesinambungan. Parpol hanya ada menjelang pemilu dan tenggelam kembali ketika momen pemilu dan pilkada berlalu.
Sikap enggan untuk diverifikasi tersebut jelas merupakan kemunduran. Seharusnya, proses verifikasi dijadikan momentum evaluasi bagi kemajuan organisasi parpol. Bersamaan dengan itu, sarana bagi parpol untuk melakukan evaluasi ke dalam terkait kekuatan dan kemampuan organisasinya. Sementara bagi rakyat, proses verifikasi merupakan jaminan bahwa suara yang akan mereka berikan dalam pemilu betul-betul diserahkan kepada parpol yang mengurus organisasinya dengan baik. Bila organisasi parpol saja tidak terkelola, bagaimana pula parpol akan dapat mengelola negara dan kepentingan rakyat secara lebih luas.
Di samping merupakan kemunduran, masalah serius yang kemudian muncul dari keengganan itu adalah upaya menyandera proses verifikasi faktual. Hal itu dilakukan dengan menolak permintaan KPU memperpanjang waktu verifikasi atau tambahan anggaran verifikasi. Tanpa perpanjangan waktu atau tambahan anggaran, sulit bagi KPU untuk menyelesaikan verifikasi faktual. Kesempatan inilah yang dijadikan alasan untuk menyandera KPU agar tunduk pada keinginan parpol di DPR.
Bagaimana pun, KPU tidak boleh tunduk pada tekanan itu. Hukum yang berlaku tidak boleh bertekuk lutut pada kepentingan jangka pendek parpol. Permintaan untuk tidak dilakukan verifikasi faktual tidak beralasan untuk dikabulkan. Lagi pula, bagaimana mungkin KPU menghentikan proses verifikasi faktual terhadap parpol baru yang sedang berjalan dan langsung menetapkannya sebagai peserta pemilu? Ke mana “wajah” KPU hendak “disurukkan” jika permintaan tidak logis itu dipenuhi. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah melaksanakan verifikasi faktual terhadap semua parpol.
Dari aspek kelembagaan, usulan menghilangkan tahap verifikasi faktual juga merupakan ujian kemandirian penyelenggara. KPU harus berjalan sesuai hukum yang ada demi untuk menjaga kemandiriannya dan menjauhkan diri dari perangkap ketidakmandirian. Jalan yang diusulkan fraksi-fraksi DPR adalah bom waktu kematian independensi KPU. Bila tetap nekat menempuhnya, wassalam kemandirian KPU.
Dosen HTN, Peneliti Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
PASCAPUTUSAN MK Nomor 53/PUU-XV/2017, tahapan verifikasi parpol peserta pemilu 2019 memasuki babak baru. Putusan yang menyatakan Pasal 173 ayat (3) UU No 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 itu eksplisit memuat perintah agar semua parpol calon peserta pemilu diverifikasi. Semua parpol, baik peserta pemilu 2014 maupun parpol baru, mesti diperiksa kembali keterpenuhan syaratnya sebelum ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu 2019.
Walaupun demikian, pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR justru hendak membelokkannya. Dalam rapat konsultasi DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu dua hari lalu diusulkan agar verifikasi faktual ditiadakan. Untuk itu, seluruh fraksi di DPR mengusulkan agar pengaturan tentang verifikasi faktual dalam Peraturan KPU No 11/2017 dihilangkan.
Pada saat yang sama, verifikasi cukup dimaknai sebatas penelitian administrasi yang sudah selesai dilakukan. Dengan begitu, bengkalai verifikasi faktual tidak perlu lagi diselesaikan KPU. Seluruh parpol yang sudah lulus penelitian administrasi sudah dianggap lulus verifikasi dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.
UU dan Putusan MK
Usulan memaknai verifikasi sebatas penelitian administrasi jelas merupakan upaya pembangkangan terhadap hukum. Usulan itu dibangun atas argumentasi bahwa UU No 7/2017 tidak mengatur tentang verifikasi faktual dan MK tidak menegaskan ihwal verifikasi itu. Dalil tersebut jelas tak lebih dari sekadar akal-akalan belaka.
Pertama, UU No 7/2017 memang tidak menyebut istilah verifikasi faktual sebagaimana pernah digunakan dalam UU No 8/2012, tetapi hanya menggunakan istilah verifikasi. Sesuai Pasal 174 dan Pasal 178 UU Pemilu, verifikasi itu dilakukan dengan melaksanakan dua aktivitas, yaitu penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan.
Penelitian administrasi merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan yang ditentukan undang-undang. Pada tahap ini, KPU sebatas memeriksa apakah persyaratan yang ada sudah lengkap secara kuantitatif, termasuk memeriksa syarat minimal jumlah anggota masing-masing parpol.
Selanjutnya, keterpenuhan syarat secara kuantitatif itu ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan keabsahan syarat atau disebut juga dengan verifikasi faktual. Pada tahap ini, syarat-syarat yang ada diperiksa kebenarannya. Pemeriksaan pada tahap inilah yang akan jadi penilaian akhir menentukan apakah parpol calon peserta pemilu memenuhi syarat atau tidak. Rangkaian penelitian administrasi (verifikasi administrasi) dan penetapan keabsahan (verifikasi faktual) itu merupakan satu kesatuan tahapan verifikasi.
Apabila verifikasi hanya dimaknai sebatas penelitian administrasi sebagaimana kehendak pemerintah dan DPR, maka penetapan keabsahan yang diperintahkan UU Pemilu tentu tidak akan dilaksanakan. Dalam arti, perintah UU akan diabaikan atau disimpangi. Pengabaian dimaksud dipastikan akan berdampak pada ditetapkannya parpol sebagai peserta pemilu, sekalipun belum pernah dibuktikan keabsahan persyaratannya.
Kedua, putusan MK juga dianggap tidak menegaskan keharusan verifikasi faktual. Apabila alasan ini benar adanya, maka hal itu jelas sebuah kekeliruan besar. Dalam pertimbangan hukum, putusan No 53/PUU-XV/2017, secara eksplisit ditegaskan bahwa verifikasi faktual harus dilaksanakan.
Tepatnya, MK menyatakan, peraturan KPU yang terkait dengan verifikasi parpol peserta pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang dimuat dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Artinya, MK memerintah KPU agar mengatur secara detail bagaimana verifikasi faktual dilaksanakan.
Bahkan, MK juga menyoroti masalah verifikasi syarat kepengurusan parpol tingkat kecamatan yang sama sekali tidak pernah dilakukan pada Pemilu 2014. Dalam pertimbangan hukum MK dinyatakan, KPU juga harus mengatur dan melaksanakan verifikasi faktual terhadap kepengurusan partai politik tingkat kecamatan.
Lebih jauh ditegaskan, mengabaikan verifikasi faktual atas semua persyaratan dimaksud di samping kontradiksi dengan penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu, juga sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Dalam hal ini, kehati-hatian penyelenggara untuk memastikan semua persyaratan dilakukan verifikasi faktual begitu penting.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, bagian mana sesungguhnya dalam putusan MK dimaksud yang dinilai tidak menegaskan ihwal keberadaan verifikasi faktual sehingga hendak dibelokkan pula? Bukankah alasan bahwa MK tidak menegaskan keberadaan verifikasi faktual hanyalah sebatas argumentasi yang dibuat-buat untuk sekadar menghindar dari lorong verifikasi faktual yang seharusnya dilewati?
Menyandera Verifikasi Faktual
Usulan fraksi-fraksi DPR untuk menghilangkan ketentuan verifikasi faktual dalam peraturan KPU juga merupakan bukti keengganan parpol untuk diverifikasi. Secara a contrario dapat dipahami, berbagai alasan yang dibangun ketika melahirkan norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu terkandung niat untuk tidak mau diverifikasi lagi. Parpol di DPR ingin mengikuti pemilu tanpa perlu diverifikasi keterpenuhan syaratnya.
Keengganan itu salah satunya dilatari kekhawatiran tidak akan mampu memenuhi syarat yang diatur undang-undang. Hal itu sangat logis, mengingat mayoritas parpol memang tidak mengelola organisasi secara baik. Infrastruktur, kepengurusan, dan keanggotaan parpol tidak terjaga secara baik dan berkesinambungan. Parpol hanya ada menjelang pemilu dan tenggelam kembali ketika momen pemilu dan pilkada berlalu.
Sikap enggan untuk diverifikasi tersebut jelas merupakan kemunduran. Seharusnya, proses verifikasi dijadikan momentum evaluasi bagi kemajuan organisasi parpol. Bersamaan dengan itu, sarana bagi parpol untuk melakukan evaluasi ke dalam terkait kekuatan dan kemampuan organisasinya. Sementara bagi rakyat, proses verifikasi merupakan jaminan bahwa suara yang akan mereka berikan dalam pemilu betul-betul diserahkan kepada parpol yang mengurus organisasinya dengan baik. Bila organisasi parpol saja tidak terkelola, bagaimana pula parpol akan dapat mengelola negara dan kepentingan rakyat secara lebih luas.
Di samping merupakan kemunduran, masalah serius yang kemudian muncul dari keengganan itu adalah upaya menyandera proses verifikasi faktual. Hal itu dilakukan dengan menolak permintaan KPU memperpanjang waktu verifikasi atau tambahan anggaran verifikasi. Tanpa perpanjangan waktu atau tambahan anggaran, sulit bagi KPU untuk menyelesaikan verifikasi faktual. Kesempatan inilah yang dijadikan alasan untuk menyandera KPU agar tunduk pada keinginan parpol di DPR.
Bagaimana pun, KPU tidak boleh tunduk pada tekanan itu. Hukum yang berlaku tidak boleh bertekuk lutut pada kepentingan jangka pendek parpol. Permintaan untuk tidak dilakukan verifikasi faktual tidak beralasan untuk dikabulkan. Lagi pula, bagaimana mungkin KPU menghentikan proses verifikasi faktual terhadap parpol baru yang sedang berjalan dan langsung menetapkannya sebagai peserta pemilu? Ke mana “wajah” KPU hendak “disurukkan” jika permintaan tidak logis itu dipenuhi. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah melaksanakan verifikasi faktual terhadap semua parpol.
Dari aspek kelembagaan, usulan menghilangkan tahap verifikasi faktual juga merupakan ujian kemandirian penyelenggara. KPU harus berjalan sesuai hukum yang ada demi untuk menjaga kemandiriannya dan menjauhkan diri dari perangkap ketidakmandirian. Jalan yang diusulkan fraksi-fraksi DPR adalah bom waktu kematian independensi KPU. Bila tetap nekat menempuhnya, wassalam kemandirian KPU.
(thm)