Generasi Milenial dan Pudarnya Nasionalisme Pangan

Kamis, 18 Januari 2018 - 08:15 WIB
Generasi Milenial dan...
Generasi Milenial dan Pudarnya Nasionalisme Pangan
A A A
Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas, Medan


Salah satu pro-kontra yang mewarnai pembukaan 2018 adalah kebijakan pemerintah melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton dari Thailand dan Vietnam. Beras ini dijadwalkan akan tiba pada akhir Januari mendatang. Kebijakan impor yang diawali defisit beras yang terjadi saat ini adalah pertanda bahwa pembangunan pertanian pangan di negeri yang terkenal subur ini belumlah optimal.

Hal ini bertolak belakang dengan tema nasional Hari Pangan Sedunia 2017 yang memosisikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2020. Pertanyaannya apakah Indonesia yang memiliki tanah subur masih bisa diandalkan sebagai lumbung pangan?

Kian mahalnya harga beras medium beberapa waktu terakhir telah membebani masyarakat, terutama golongan bawah. Kenaikan harga beras merupakan sinyal bahwa terjadi kelangkaan pada pasokan bahan makanan pokok ini. Aura defisit beras di Tanah Air sudah terasa sejak akhir 2017. Hal inilah yang mendorong pemerintah melakukan impor 500.000 untuk menutup defisit pasokan dan menstabilkan harga.

Selama 2017 kondisi di lapangan memang sudah sangat berbeda dengan harapan pemerintah yang telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp9.450 per kg. Harga beras medium pada Juli 2017 bertengger di posisi Rp10.600 per kg. Harga kemudian meningkat menjadi Rp10.800 per kg pada November pada tahun yang sama. Memasuki Januari 2018, harga ini kembali ini merangkak naik menjadi Rp11.050 per kg. Operasi pasar pun sudah ditempuh, tapi tampak kurang efektif menurunkan harga.

Di sisi lain, penerapan HET justru merugikan para pedagang eceran karena biaya yang dikeluarkan saat membeli beras dari pedagang besar sudah melebih HET yang dipatok. Belum lagi biaya lain, seperti transportasi yang tidak diperhitungkan pemerintah. Menurut para pengamat ekonomi pangan, kebijakan HET tidak fair karena menekan pedagang kecil, padahal yang dapat margin keuntungan terbesar justru pemilik penggilingan besar, pedagang besar, dan tengkulak.

Mesin Kemiskinan

Harga beras yang konsisten tinggi telah memberatkan konsumen, terutama masyarakat miskin yang pendapatannya di kisaran Rp300.000 per bulan. Tak pelak beras telah menjadi mesin pendorong penambahan angka kemiskinan. Selain itu, penerapan HET yang seharusnya menjadi cara jitu untuk menahan laju kenaikan harga justru bukan menjadi solusi untuk menjaga stabilitas harga beras.

Penggilingan padi skala kecil banyak yang tutup karena harga gabah sudah lebih tinggi daripada HET. Para pedagang memilih untuk tidak berjualan beras atau tetap jualan tapi dioplos dengan beras yang berkualitas buruk yang menjadi cikal bakal pelaku mafia beras.

Seperti disinggung di depan, defisit beras yang terjadi saat ini adalah pertanda bahwa pembangunan pertanian pangan sejauh ini belum optimal. Predikat Indonesia sebagai lumbung pangan pun kembali layak dipertanyakan. Jika dilihat sekilas ke belakang tentang kondisi terkini kemampuan petani untuk menguasai teknologi di bidang pertanian, harapan Indonesia menjadi lumbung pangan bak sebuah mimpi. Betapa tidak, sebagian besar petani di perdesaan tetap menggunakan peralatan tradisional.

Untuk mengolah lahan, misalnya, mereka masih menggunakan luku dengan bantuan tenaga kerbau. Selain hasil yang diperoleh tidak efisien, juga mendorong perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri di kota. Sektor pertanian kini makin kehilangan daya tarik. Ini membuat sektor pertanian di Tanah Air jauh tertinggal dibanding di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, yang kondisi awalnya tidak berbeda jauh dengan Indonesia.

Lambatnya perkembangan modernisasi pertanian di Indonesia tidak lepas dari pro dan kontra kehadiran alat-alat mesin pertanian (alsintan) di tengah masyarakat petani. Sebagian besar masyarakat menganggap traktor menimbulkan pengangguran di pedesaan. Saat diperkenalkan mekanisasi pertanian pada 1967 tenaga kerja di sektor pertanian masih relatif banyak. Jika traktor digunakan, akan terjadi pengangguran sebanyak selisih waktu masing-masing untuk setiap pengerjaan satu hektare sawah.

Di sisi lain, seiring perkembangan teknologi, sektor pertanian dengan teknologi tradisional tidak lagi memikat hati generasi muda yang berpendidikan tinggi. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian makin berkurang karena sektor industri dan jasa dinilai lebih menarik. Bidang pertanian pangan dianggap kurang bergengsi untuk digeluti.

Sektor pertanian yang umumnya di desa, dikenal sebagai pekerjaan melelahkan tetapi hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang tercurah. Berbeda dengan bidang lain, misalnya bekerja di kantor yang ruangannya berpendingin akan memberi hasil yang lebih cepat dibanding sektor pertanian yang harus menunggu berbulan-bulan. Bagi kalangan muda ini pekerjaan petani merupakan status sosial yang dipandang rendah dan tidak mempunyai bargaining power di tengah masyarakat.

Akibatnya, sektor pertanian semakin kehilangan sumber daya manusia yang andal. Pemuda lulusan perguruan tinggi, dari generasi milenial, kian menjauhi sektor pertanian. Bahkan, mereka menganggap sektor ini sumber kemiskinan baru.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman pernah memaparkan data bahwa setiap tahun negeri ini kehilangan rumah tangga petani sekitar 2% karena beralih profesi ke sektor lain. Lebih rumit lagi, dari jumlah petani yang ada, sekitar 65% sudah berusia di atas 45 tahun. Hanya terdapat sekitar 4% pemuda usia 15-35 tahun yang bekerja dan berminat untuk menjadi petani.

Bahkan, ada gejala seolah urusan pertanian bukan menjadi urusan generasi muda karena sekolah pertanian pun kalah "bergengsi" dibandingkan sekolah lain, seperti akuntansi, arsitektur, hukum, dan kedokteran. Tak pelak lagi Indonesia telah kehilangan 5,1 juta rumah tangga petani (BPS, 2013).

Kesejahteraan Petani

Target Indonesia menjadi lumbung pangan dunia seperti yang sudah diagendakan tahun lalu haruslah menjadi kenyataan. Indonesia yang jumlah penduduknya urutan keempat terbesar di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat butuh pangan yang beragam dalam jumlah yang amat besar.

Peningkatan produksi pangan yang kian melandai karena dipicu alih fungsi lahan dan dampak pemanasan global patut segera dirumuskan solusinya. Pembangunan pertanian di negeri agraris ini harus dapat membawa peningkatan kesejahteraan petani. Pada masa mendatang kemiskinan yang jadi potret kehidupan petani di perdesaan seharusnya tidak lagi terlihat di mata generasi muda.

Meskipun negeri ini dipuja subur dan makmur, sekitar 75% dari kebutuhan pangannya dipenuhi dari impor yang besarnya setara dengan USD4 miliar atau Rp53 triliun. Sepuluh tahun ke depan jika tidak ada perbaikan dalam pembangunan pertanian pangan, alokasi dana untuk mengimpor pangan diprediksi akan melonjak menjadi tiga kali lipat. Sebuah jumlah yang sangat besar. Padahal, anggaran yang ada seharusnya bisa dialihkan untuk membangun pabrik pupuk, pusat penelitian perbenihan tanaman pangan, serta perbaikan bendungan dan industri hilir pertanian yang muaranya memberi kesejahteraan kepada petani lokal di perdesaan.

Implikasi lain dari kebijakan pangan impor dapat merapuhkan pilar kedaulatan pangan (food sovereignty) di tengah sumber daya pertanian dan pangan lokal nonberas yang melimpah. Generasi milenial akan semakin asing dengan makanan nusantara berbasis singkong karena opini rasa di lidahnya sudah terpatri aura roti berbahan gandum. Ketertarikan mengonsumsi pangan lokal semakin luntur karena dianggap sebagai makanan orang miskin dan inferior. Nasionalisme pangan pun kian memudar di tengah generasi milenial.

Karena itu, pemerintah harus mampu mendorong generasi milenial untuk menjadi benteng kebangkitan pembangunan pertanian pada masa datang. Lewat sejumlah daya tarik yang dikembangkan seiring dengan dinamika generasi milenial di bidang teknologi digital diharapkan anak muda di perdesaan tidak meninggalkan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya.

Hal ini membutuhkan pemimpin yang cakap dan tangguh dengan karakter kebangsaan untuk pembangunan kedaulatan pangan yang menyejahterakan keluarga petani. Muaranya ketika terjadi regenerasi petani untuk Indonesia 2045, generasi milenial mampu menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0870 seconds (0.1#10.140)