Peradaban Islam di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia

Sabtu, 13 Januari 2018 - 07:02 WIB
Peradaban Islam di Tengah...
Peradaban Islam di Tengah Pergeseran Peradaban Dunia
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI UII Yogyakarta

PERADABAN
besar dunia berpindah dari satu bangsa kepada bangsa yang lain. Secara ringkas, peradaban besar bermula dari Mesir, lalu berpindah ke Babilonia, kemudian beralih ke Aegian, terus bergeser ke Yunani. Dari Yunani bergerak ke Carthago, lalu beralih ke Romawi, kemudian berpindah ke umat Islam (Arab) dan selanjutnya dari umat Islam bergeser ke Barat.

Peradaban besar tidak bertahan di satu kawasan atau bangsa tertentu, tetapi berpindah dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Itulah fakta sejarah yang dapat kita saksikan. Segala ciptaan manusia, termasuk kebudayaan dan peradaban, pada saatnya pasti akan berakhir. Selalu terjadi siklus peradaban sebagai sunnatullah yang pasti berlaku.

Dalam konteks ini, Allah menegaskan: "Dan demikianlah hari-hari kejayaan dan keterpurukan itu Kami gilirkan di antara para manusia." (QS Ali Imran: 140)

Peradaban Islam

Masa keemasan peradaban Islam berlangsung selama 7 abad (abad 7-13 M), membentang dari Sungai Indus di Timur sampai ke Tanah Andalus di Barat. Maurice Lombard menyebut puncak kemajuan peradaban Islam sebagai The Golden Age of Islam.

Philip K Hitti secara puitis menyebut The Glory That was Baghdad (Kemegahan Yang Bernama Baghdad) untuk melukiskan keemasan peradaban muslim pada masa Daulah Abbasiyah di Baghdad dan membuat julukan Cordova: Jewel of the World (Cordova Mutiara Dunia) untuk menggambarkan keemasan peradaban muslim pada masa Daulah Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol).

Baghdad dan Cordova menjadi pusat, ikon, dan menara kembar yang menebar ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam, terutama ke dunia Barat.

Masa keemasan peradaban Islam mencatat sejumlah pakar brilian. Misalnya Ibnu Sina yang dikenal sebagai ahli ilmu kedokteran menulis buku Al-Qanun fit-Thib (Qanun of Medicine) yang menjadi rujukan otoritatif di perguruan tinggi Eropa sampai abad ke-15. Al-Khwarizmi yang dikenal sebagai ahli astronomi dan matematika menulis buku Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (Perhitungan Integral dan Persamaan). Buku inilah yang memperkenalkan ilmu aljabar (algebra) ke Eropa dan menyebarkan angka-angka Arab di dunia Barat.

Selanjutnya Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd terkenal sebagai filosof yang banyak kontribusi dan pengaruhnya di Eropa. Al-Kindi terkenal dengan metode filsafatnya yang menggabungkan dalil Plato dan Aristoteles dengan cara Neo-Platonis. Al-Farabi merekonsiliasi ide filsafat Plato, Aristoteles, dan sufisme.

Pengaruh Rusyd sangat menonjol atas filsafat skolastik Kristen di Eropa pada abad Pertengahan. Di bidang sejarah dan sosiologi, Ibnu Khaldun adalah pakarnya. Karyanya, Muqaddimah, banyak memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap pemikiran sarjana Eropa. Kepakaran dan kebesaran Ibnu Khaldun diakui oleh sejarawan Toynbee.

Masa keemasan peradaban Islam baik di Timur maupun di Barat pada akhirnya runtuh. Peradaban Islam di Timur berakhir ketika pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan menyerang Baghdad (Daulah Abbasiyah) pada tahun 1258. Masa keemasan peradaban Islam di Barat juga berakhir ketika pasukan Kristen melakukan reconquesta pada 1492 terhadap Dinasti Nashiriyah (Bani Ahmar) yang merupakan dinasti muslim terakhir di Andalusia.

PascaBaghdad dan pasca-Cordova, ada tiga peradaban besar Islam yang muncul, yaitu Turki Usmani, Dinasti Safawiyah di Persia, dan Dinasti Mughal di India. Tiga peradaban Islam ini pun pada akhirnya mengalami kemunduran.

Peradaban Barat

Setelah peradaban Islam mengalami kemunduran, Barat mengambil alih obor peradaban dunia sampai sekarang ini. Peradaban Barat berwatak sekuler, yakni memisahkan masalah ukhrawi dari masalah duniawi. Sistem politik, kenegaraan, moralitas, pandangan hidup, seni budaya, dan pendidikan Barat adalah sekuler.

Sekularisme menjadi ciri khas peradaban Barat. Dalam peradaban sekuler, nilai spiritualitas kurang mendapat perhatian secara penuh, sementara nilai keduniawian mendapat perhatian yang berlebih. Inilah pemicu menjamurnya hedonisme di Barat. Peradaban sekuler Barat mengakibatkan terjadinya kegersangan rohani, alienasi, dan kehampaan spiritual yang menyebabkan masyarakatnya terjauh dari Tuhan yang bisa membawanya menuju kehancuran.

TS Eliot dalam puisinya mengkritik tajam peradaban Barat sekuler:

Semua ilmu pengetahuan kita membawa kita semakin dekat kepada kebodohan
Semua kebodohan kita membawa kita semakin dekat kepada kematian
Tapi semakin dekat kepada kematian, bukan semakin dekat kepada Tuhan
Mana lagi hayat kita yang telah hilang dalam kehidupan?
Mana lagi kebijaksanaan kita yang telah hilang dalam ilmu pengetahuan?
Mana lagi pengetahuan kita yang telah hilang dalam penerangan?
Perputaran semesta alam dalam dua puluh abad
Membawa kita semakin jauh dari Tuhan dan semakin dekat kepada debu kehancuran.

Oswald Spengler, Arnold Toynbee, Sorokin, Alfred Kroeber, Northrop, Albert Schweitzer, dan Lewis Mumford menyatakan bahwa kelam telah menyelimuti Barat dan satelit-satelitnya. Mereka menyatakan telah terjadi pertanda yang sedang bergerak ke arah berakhirnya peradaban Barat modern.

Sorokin dalam bukunya Social Philosophies in an Age of Crisis mengatakan:

"Para penulis sepakat bahwa pada akhir kebudayaan lama yang berpengaruh dan munculnya pengaruh kebudayaan baru telah terjadi suatu perpindahan pusat kewilayahan serta pergeseran lingkungan bangsa dan sistem super yang lama ke suatu lingkungan bangsa-bangsa yang baru. Oleh karena Eropa Barat adalah pusat sistem super kebudayaan yang sedang menurun, peradaban baru itu harus muncul di tempat yang lain."

Menurut Toynbee, Schurbart, Berdyaev, dan Sorokin, peradaban baru yang akan muncul bercorak "keagamaan yang ideal" (religiously ideational). Dalam pengamatan Northop, peradaban yang akan datang berbasis "persenyawaan yang selaras antara estetika-teoritika" (integral as harmonius of the aesthetic-theoritic).

Atau peradaban yang bertumpu pada "kesukarelaan etika dan rasional" (voluntaristically ethical and rational) sebagaimana diprediksi Albert Schweitzer. Adapun Fulton Sheen menamakan peradaban yang akan datang itu berorientasi pada "keagamaan dan Ketuhanan yang murni" (purely religious and theistic).

Peluang Kebangkitan Kembali Peradaban Islam

Indonesia berpotensi menjadi salah satu pusat peradaban Islam di dunia. Tandanya dapat dilihat antara lain dari semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam dari tingkat PAUD, TK, SD, sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Kualitas ilmiah dan kesarjanaan muslim di setiap disiplin keilmuan bertambah baik. Kondisi sosial ekonomi muslim meningkat.

Pesantren selain berbasis di perdesaan, juga tumbuh di kota-kota. Masjid didirikan di desa-desa dan di kota-kota. Majelis taklim dan majelis zikir bermunculan baik di desa maupun di kota. Kajian-kajian keislaman moderat berkembang di kampus-kampus. Bank syariah didirikan dan keuangan syariah diterapkan. Ada hotel syariah dan ada pula wisata halal di negeri ini. Banyak wanita yang secara sadar memakai hijab.

Keislaman dan keindonesiaan atau Islam dan Pancasila berjalan bergandengan secara harmonis di negeri ini. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia berpeluang menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan peradaban Islam ini tentunya merupakan bagian integral dari peradaban Indonesia berdasarkan Pancasila yang antiekstremisme, antiradikalisme, dan antiterorisme. Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme bukan ajaran agama dan Pancasila.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0619 seconds (0.1#10.140)