Pilkada 2018, Partai Politik Defisit Kader?
A
A
A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
"Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara profesional dan kontinu menyaring kader-kadernya yang berkualitas, yang memiliki nilai jual populis di hadapan publik."
INDONESIA tahun ini akan menyelenggarakan hajatan pilkada serentak di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Pendaftaran pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah ditutup pada pukul 24.00 tadi malam setelah dibuka pada 8 Januari 2018.
Momentum politik berskala masif ini akan menjadi barometer politik elektoral menuju Pemilu 2019. Karena itu sudah bisa dipastikan, suasana rivalitas pilkada tersebut akan terasa menggigit dan penuh intrik, manuver.
Partai politik (parpol) atau koalisi parpol yang akan mengusung kandidatnya, akan berpikir keras bagaimana menetapkan bakal calon kepala daerah yang memiliki kans besar untuk menang. Salah satu fenomena yang cukup mencuri perhatian publik pada pilkada kali ini adalah lebih tertariknya parpol mencalonkan sosok bukan kadernya ketimbang kadernya sendiri dalam pilkada, khususnya di pemilihan gubernur.
Di Jawa Timur, selain PKB yang mengusung kadernya sebagai calon gubernur, yakni Syaifullah Yusuf, partai-partai lain seperti Demokrat, Golkar, dan Nasdem justru memilih Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak yang bukan kader partai. Di Jawa Barat, PPP, PKB, dan NasDem juga mengusung figur nonparpol yakni Ridwan Kamil sebagai calon gubernur. Golkar juga sempat akan mengusung Ridwan Kamil meski kemudian mencabut rekomendasinya.
Di Sumatera Utara, parpol ramai-ramai mengusung pasangan Letjen TNI Edy Rahmayadi yang berpasangan dengan pengusaha Musa Rajekshah. Keduanya bukan kader parpol. Parpol tersebut yakni Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan NasDem. Bahkan, NasDem sendiri batal mengusung kadernya yang notabene gubernur petahana, Tengku Erry Nuradi. Di Nusa Tenggara Timur, PDI Perjuangan menetapkan Marianus Sae sebagai calon gubernur. Menariknya, Marianus bukanlah kader PDIP, melainkan kader PKB setelah sebelumnya sempat jadi kader PAN.
Kenapa Defisit
Mengapa kader-kader partai dalam Pemilihan Gubernur 2018 mengalami defisit keterpilihan di etalase pencalonan partainya? Satu yang pasti, parpol selama ini nyatanya tidak pernah serius menekuni kerja berjenjang dalam hal regenerasi. Dengan kata lain, parpol tidak pernah mau serius menjalankan fungsi kaderisasi. Partai cenderung memilih figur karena potensi elektabilitasnya bagus, kemudian ditunjang dengan dukungan finansial yang bagus pula. Itu berarti partai belum bisa keluar dari lilitan pragmatisme politiknya.
Memang benar, parpol perlu mengusung calon yang “berkualitas” dan “layak dijual” dalam kontestasi. Karena sosok yang diusung oleh parpol mencerminkan komitmen dan militansi partai dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan layak memimpin rakyat dalam kurun lima tahun.
Benar, demi menghilangkan kecurigaan publik, elite politik mungkin akan selalu berprinsip di hadapan rakyat, bahwa yang paling penting dari politik itu adalah bagaimana menjalankan proses berpolitik secara etis dan bertanggung jawab. Namun bisa dipastikan, mana ada politisi atau parpol yang mau rela kalah di gelanggang kekuasaan. Apalagi setelah jorjoran mengeluarkan “amunisi” ke petinggi parpol agar dikasih “perahu” menuju pilkada.
Para politisi atau petinggi politik pasti akan bersikeras mengamankan posisinya untuk meraih kemenangan, sekalipun dengan menabrak norma-norma politik termasuk dengan “membunuh” langkah anak kandung politik atau kadernya sendiri hanya karena kalah elektabilitas dalam survei atau kalau dukungan finansial. Partai mestinya perlu menghargai perjuangan kader-kadernya yang telah jatuh-bangun berjuang membesarkan partai sebagai bentuk apresiasi politik.
Partai mestinya membangun sistem sirkulasi kepemimpinan politik yang berbasis pada kaderisasi yang kontinu dan bertanggung jawab, karena hanya dengan demikian partai diuntungkan dari segi pelembagaan kepemimpinan dan demokrasi kepartaian sebagai investasi yang perlu diperjuangkan dari waktu ke waktu untuk mematangkan pelembagaan diri partai.
Jika kita sepakat parpol adalah instrumen kaderisasi kepemimpinan pada segala level, regenerasi kepemimpinan di tubuh parpol harus dijalankan secara evaluatif, kontinu. Apa mau dikatakan, performa partai kini bisa dikatakan sedang terancam. Alih-alih menjadi wadah mencetak bibit-bibit pemimpin yang berkualitas, memiliki penguasaan ideologi, partai justru menjadi sekadar rental yang bebas disewa oleh oknum-oknum politisi penggarap untuk mencapai target pragmatis. Parpol kehilangan pegangan ideologi perjuangannya sebagai filter untuk menginternalisasi prinsip-prinsip kejuangan nilai-nilai loyalitas. Karena kehilangan itu, partai dengan sengaja menurunkan standar rekrutmen politiknya ke dalam pilihan transaksional dan menjauh dari nafas demokrasi.
Dalam kondisi parpol yang gemar membentang karpet merah seluas-luasnya bagi kader di luar partai untuk kebutuhan memenangkan kontestasi politik, kita tentu sulit untuk berharap parpol secara mutual beroleh berkah dari pencalonan tersebut. Partai menjadi rental pergi dan datangnya para politisi oportunis yang tidak memiliki penyatuan ideologis dengan partai yang diusungnya. Akibatnya para politisi yang diusung tersebut tak akan pernah berpikir bagaimana merawat institusionalisasi partai yang ditunggangnya dalam pilkada.
Partai akhirnya tak lebih sebagai faksi dalam perburuan kursi politik di pilkada. Menurut Voltaire (dalam Giovanni Sartory, Parties and Party System: A Frameworks for Analysis (1976), istilah partai adalah sesuatu yang baik, sedangkan faksi identik dengan keburukan dan dibenci dari zaman Romawi hingga abad ke-19. Dari seluruh tradisi pemikiran politik barat, jarang ada yang tidak menganggap faksi sebagai sesuatu yang dibenci, karena sejatinya faksi adalah un parti s?detieux dans un?tat (sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara), sedangkan partai lebih dipakai untuk menunjuk faksi-faksi yang tidak memberontak.
Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara profesional dan kontinu menyaring kader-kadernya yang berkualitas, yang memiliki nilai jual populis di hadapan publik. Bagaimanapun, partai yang kuat dan disukai rakyat sepanjang masa adalah partai yang selalu mengembangkan kedewasaan dirinya lewat proses belajar dan berlatih menghadapi sejumlah tantangan politik dan demokrasi, bahkan berlatih untuk tidak mudah terpancing oleh godaan kemenangan politik sesaat dengan mengabaikan proses (Almond, 1984).
Karena itu, parpol lebih baik membangun otokritik secara dewasa untuk ke depannya berupaya memperbaiki kualitas fungsi dan perannya sebagai gawang demokrasi yakni merevitalisasi mekanisme kepartaian terkait tahap penjaringan, seleksi kandidat peserta pilkada, bahkan kontrol dan pemberian sanksi ketat terhadap berbagai indikasi politik uang terutama dalam proses seleksi di internal partai, sehingga penguatan demokrasi yang dicita- citakan lewat tubuh kepartaian tidak terus mengendap sebagai utopia yang dimakan zaman.
Rakyat juga mengharapkan partai memiliki inovasi untuk melahirkan kebijakan berkualitas dalam menjalankan roda organisasinya, bersinergi dengan aspirasi rakyat, sembari mereduksi sekat-sekat politik dengan rakyat selama ini, sehingga dengan demikian partai bisa mencuri kembali perhatian publik dan selalu surplus kader berkualitas di setiap pilkada.
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
"Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara profesional dan kontinu menyaring kader-kadernya yang berkualitas, yang memiliki nilai jual populis di hadapan publik."
INDONESIA tahun ini akan menyelenggarakan hajatan pilkada serentak di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Pendaftaran pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah ditutup pada pukul 24.00 tadi malam setelah dibuka pada 8 Januari 2018.
Momentum politik berskala masif ini akan menjadi barometer politik elektoral menuju Pemilu 2019. Karena itu sudah bisa dipastikan, suasana rivalitas pilkada tersebut akan terasa menggigit dan penuh intrik, manuver.
Partai politik (parpol) atau koalisi parpol yang akan mengusung kandidatnya, akan berpikir keras bagaimana menetapkan bakal calon kepala daerah yang memiliki kans besar untuk menang. Salah satu fenomena yang cukup mencuri perhatian publik pada pilkada kali ini adalah lebih tertariknya parpol mencalonkan sosok bukan kadernya ketimbang kadernya sendiri dalam pilkada, khususnya di pemilihan gubernur.
Di Jawa Timur, selain PKB yang mengusung kadernya sebagai calon gubernur, yakni Syaifullah Yusuf, partai-partai lain seperti Demokrat, Golkar, dan Nasdem justru memilih Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak yang bukan kader partai. Di Jawa Barat, PPP, PKB, dan NasDem juga mengusung figur nonparpol yakni Ridwan Kamil sebagai calon gubernur. Golkar juga sempat akan mengusung Ridwan Kamil meski kemudian mencabut rekomendasinya.
Di Sumatera Utara, parpol ramai-ramai mengusung pasangan Letjen TNI Edy Rahmayadi yang berpasangan dengan pengusaha Musa Rajekshah. Keduanya bukan kader parpol. Parpol tersebut yakni Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan NasDem. Bahkan, NasDem sendiri batal mengusung kadernya yang notabene gubernur petahana, Tengku Erry Nuradi. Di Nusa Tenggara Timur, PDI Perjuangan menetapkan Marianus Sae sebagai calon gubernur. Menariknya, Marianus bukanlah kader PDIP, melainkan kader PKB setelah sebelumnya sempat jadi kader PAN.
Kenapa Defisit
Mengapa kader-kader partai dalam Pemilihan Gubernur 2018 mengalami defisit keterpilihan di etalase pencalonan partainya? Satu yang pasti, parpol selama ini nyatanya tidak pernah serius menekuni kerja berjenjang dalam hal regenerasi. Dengan kata lain, parpol tidak pernah mau serius menjalankan fungsi kaderisasi. Partai cenderung memilih figur karena potensi elektabilitasnya bagus, kemudian ditunjang dengan dukungan finansial yang bagus pula. Itu berarti partai belum bisa keluar dari lilitan pragmatisme politiknya.
Memang benar, parpol perlu mengusung calon yang “berkualitas” dan “layak dijual” dalam kontestasi. Karena sosok yang diusung oleh parpol mencerminkan komitmen dan militansi partai dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan layak memimpin rakyat dalam kurun lima tahun.
Benar, demi menghilangkan kecurigaan publik, elite politik mungkin akan selalu berprinsip di hadapan rakyat, bahwa yang paling penting dari politik itu adalah bagaimana menjalankan proses berpolitik secara etis dan bertanggung jawab. Namun bisa dipastikan, mana ada politisi atau parpol yang mau rela kalah di gelanggang kekuasaan. Apalagi setelah jorjoran mengeluarkan “amunisi” ke petinggi parpol agar dikasih “perahu” menuju pilkada.
Para politisi atau petinggi politik pasti akan bersikeras mengamankan posisinya untuk meraih kemenangan, sekalipun dengan menabrak norma-norma politik termasuk dengan “membunuh” langkah anak kandung politik atau kadernya sendiri hanya karena kalah elektabilitas dalam survei atau kalau dukungan finansial. Partai mestinya perlu menghargai perjuangan kader-kadernya yang telah jatuh-bangun berjuang membesarkan partai sebagai bentuk apresiasi politik.
Partai mestinya membangun sistem sirkulasi kepemimpinan politik yang berbasis pada kaderisasi yang kontinu dan bertanggung jawab, karena hanya dengan demikian partai diuntungkan dari segi pelembagaan kepemimpinan dan demokrasi kepartaian sebagai investasi yang perlu diperjuangkan dari waktu ke waktu untuk mematangkan pelembagaan diri partai.
Jika kita sepakat parpol adalah instrumen kaderisasi kepemimpinan pada segala level, regenerasi kepemimpinan di tubuh parpol harus dijalankan secara evaluatif, kontinu. Apa mau dikatakan, performa partai kini bisa dikatakan sedang terancam. Alih-alih menjadi wadah mencetak bibit-bibit pemimpin yang berkualitas, memiliki penguasaan ideologi, partai justru menjadi sekadar rental yang bebas disewa oleh oknum-oknum politisi penggarap untuk mencapai target pragmatis. Parpol kehilangan pegangan ideologi perjuangannya sebagai filter untuk menginternalisasi prinsip-prinsip kejuangan nilai-nilai loyalitas. Karena kehilangan itu, partai dengan sengaja menurunkan standar rekrutmen politiknya ke dalam pilihan transaksional dan menjauh dari nafas demokrasi.
Dalam kondisi parpol yang gemar membentang karpet merah seluas-luasnya bagi kader di luar partai untuk kebutuhan memenangkan kontestasi politik, kita tentu sulit untuk berharap parpol secara mutual beroleh berkah dari pencalonan tersebut. Partai menjadi rental pergi dan datangnya para politisi oportunis yang tidak memiliki penyatuan ideologis dengan partai yang diusungnya. Akibatnya para politisi yang diusung tersebut tak akan pernah berpikir bagaimana merawat institusionalisasi partai yang ditunggangnya dalam pilkada.
Partai akhirnya tak lebih sebagai faksi dalam perburuan kursi politik di pilkada. Menurut Voltaire (dalam Giovanni Sartory, Parties and Party System: A Frameworks for Analysis (1976), istilah partai adalah sesuatu yang baik, sedangkan faksi identik dengan keburukan dan dibenci dari zaman Romawi hingga abad ke-19. Dari seluruh tradisi pemikiran politik barat, jarang ada yang tidak menganggap faksi sebagai sesuatu yang dibenci, karena sejatinya faksi adalah un parti s?detieux dans un?tat (sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara), sedangkan partai lebih dipakai untuk menunjuk faksi-faksi yang tidak memberontak.
Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara profesional dan kontinu menyaring kader-kadernya yang berkualitas, yang memiliki nilai jual populis di hadapan publik. Bagaimanapun, partai yang kuat dan disukai rakyat sepanjang masa adalah partai yang selalu mengembangkan kedewasaan dirinya lewat proses belajar dan berlatih menghadapi sejumlah tantangan politik dan demokrasi, bahkan berlatih untuk tidak mudah terpancing oleh godaan kemenangan politik sesaat dengan mengabaikan proses (Almond, 1984).
Karena itu, parpol lebih baik membangun otokritik secara dewasa untuk ke depannya berupaya memperbaiki kualitas fungsi dan perannya sebagai gawang demokrasi yakni merevitalisasi mekanisme kepartaian terkait tahap penjaringan, seleksi kandidat peserta pilkada, bahkan kontrol dan pemberian sanksi ketat terhadap berbagai indikasi politik uang terutama dalam proses seleksi di internal partai, sehingga penguatan demokrasi yang dicita- citakan lewat tubuh kepartaian tidak terus mengendap sebagai utopia yang dimakan zaman.
Rakyat juga mengharapkan partai memiliki inovasi untuk melahirkan kebijakan berkualitas dalam menjalankan roda organisasinya, bersinergi dengan aspirasi rakyat, sembari mereduksi sekat-sekat politik dengan rakyat selama ini, sehingga dengan demikian partai bisa mencuri kembali perhatian publik dan selalu surplus kader berkualitas di setiap pilkada.
(pur)