Pilkada 2018, Partai Politik Defisit Kader?

Kamis, 11 Januari 2018 - 08:20 WIB
Pilkada 2018, Partai Politik Defisit Kader?
Pilkada 2018, Partai Politik Defisit Kader?
A A A
Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

"Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara pro­fesional dan kontinu me­nya­ring kader-kadernya yang ber­kua­litas, yang memiliki nilai jual po­pulis di hadapan publik."

INDONESIA tahun ini akan me­nyelenggarakan hajat­an pil­ka­da serentak di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten). Pen­daf­taran pa­sang­an calon oleh Ko­misi Pe­mi­lihan Umum (KPU) pun telah di­tu­tup pada pukul 24.00 tadi ma­lam setelah di­bu­ka pada 8 Ja­nua­ri 2018.
Momentum politik ber­skala masif ini akan menjadi baro­me­t­er politik elektoral menuju Pe­milu 2019. Karena itu sudah bi­sa dipastikan, suasana riva­li­tas pilkada ter­sebut akan terasa menggigit dan penuh intrik, ma­nuver.

Partai politik (parpol) atau koa­lisi parpol yang akan me­ngu­sung kandidatnya, akan ber­pikir keras bagaimana me­ne­tapkan bakal calon kepala dae­rah yang memiliki kans be­sar untuk menang. Salah satu fenomena yang cukup mencuri perhatian pub­lik pada pilkada kali ini adalah lebih tertariknya parpol men­calonkan sosok bukan kader­nya ketimbang kadernya sen­diri da­lam pilkada, khususnya di pe­mi­lih­an gubernur.

Di Jawa Timur, selain PKB yang mengusung kadernya se­ba­gai calon gubernur, yakni Syai­fullah Yusuf, partai-partai lain seperti Demokrat, Golkar, dan Nasdem justru memilih Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak yang bukan kader partai. Di Jawa Barat, PPP, PKB, dan NasDem juga me­ngu­sung figur nonparpol yakni Ridwan Kamil sebagai calon gubernur. Golkar juga sempat akan mengusung Ridwan Ka­mil meski kemudian mencabut rekomendasinya.

Di Sumatera Utara, parpol ramai-ramai mengusung pa­sang­an Letjen TNI Edy Rahmayadi yang ber­pa­sang­an dengan pengusaha Mu­sa Rajekshah. Keduanya bu­kan kader parpol. Parpol ter­sebut yakni Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan NasDem. Bah­kan, NasDem sendiri batal me­ngu­sung ka­dernya yang nota­bene gu­ber­nur petahana, Teng­ku Erry Nuradi. Di Nusa Tenggara Timur, PDI Perjuangan menetapkan Marianus Sae sebagai calon gubernur. Menariknya, Ma­ria­nus bukanlah ka­der PDIP, me­lain­kan kader PKB setelah sebe­lumnya sempat jadi kader PAN.

Kenapa Defisit
Mengapa kader-kader partai dalam Pemilihan Gubernur 2018 mengalami defisit keter­pi­lihan di eta­lase pencalonan par­tainya? Satu yang pasti, par­pol selama ini nya­tanya tidak pernah serius menekuni kerja berjenjang dalam hal rege­ne­rasi. Dengan kata lain, parpol ti­dak pernah mau serius men­ja­lankan fung­si kaderisasi. Partai cenderung memilih figur ka­rena potensi elektabilitasnya ba­gus, ke­mu­dian ditunjang de­ngan du­kungan finansial yang bagus pula. Itu berarti partai belum bisa keluar dari lilitan prag­matisme politiknya.

Memang benar, parpol per­lu mengusung calon yang “ber­kua­litas” dan “layak dijual” da­lam kontestasi. Karena sosok yang diusung oleh parpol men­cer­minkan ko­mitmen dan mi­­lit­ansi par­tai dalam meng­­­ha­sil­kan pemimpin yang berkualitas dan layak me­mim­pin rakyat da­lam kurun lima tahun.

Benar, demi menghi­lang­kan kecurigaan publik, elite politik mungkin akan selalu berprinsip di hadapan rakyat, bahwa yang paling penting dari politik itu adalah bagaimana men­ja­lan­kan proses berpolitik secara etis dan bertanggung jawab. Na­mun bisa dipastikan, mana ada po­litisi atau parpol yang mau rela kalah di ge­langgang ke­kua­sa­an. Apalagi setelah jorjoran mengeluarkan “amunisi” ke pe­tinggi parpol agar dikasih “pe­rahu” menuju pilkada.

Para politisi atau petinggi po­litik pasti akan bersikeras meng­amankan posisinya un­tuk me­raih kemenangan, sekalipun dengan menabrak norma-nor­ma politik ter­masuk dengan “mem­bunuh” langkah anak kan­dung politik atau kadernya sen­diri hanya karena kalah elek­ta­bilitas dalam survei atau ka­lau du­kung­an fi­nan­sial. Par­tai mes­ti­nya per­lu meng­har­­gai per­juang­an kader-ka­der­nya yang telah jatuh-bangun ber­juang membesarkan par­tai se­bagai bentuk apre­siasi politik.

Partai mestinya mem­ba­ngun sistem sirkulasi kepe­mim­pinan politik yang ber­basis pada kaderisasi yang kontinu dan bertanggung jawab, karena hanya dengan demikian partai diuntungkan dari segi pe­lem­bagaan ke­pemimpinan dan de­mo­k­rasi kepartaian sebagai in­ves­tasi yang perlu diperjuang­kan dari waktu ke waktu untuk me­matangkan pelembagaan diri partai.

Jika kita sepakat parpol ada­lah instrumen kaderisasi ke­pe­mimpinan pada segala level, regenerasi kepe­mim­pinan di tubuh parpol harus dijalankan secara evaluatif, kontinu. Apa mau dikatakan, performa par­tai kini bisa dikatakan sedang terancam. Alih-alih menjadi wadah mencetak bibit-bibit pe­mim­pin yang berkualitas, me­mi­liki penguasaan ideologi, par­tai justru menjadi sekadar rental yang bebas disewa oleh oknum-oknum politisi peng­ga­rap untuk mencapai target prag­matis. Parpol kehilangan pe­gangan ideologi per­juang­an­nya sebagai filter untuk meng­in­ternalisasi prinsip-prinsip kejuangan nilai-nilai loyalitas. Karena kehilangan itu, partai dengan sengaja menurunkan standar rek­rutmen politiknya ke dalam pilihan transaksional dan menjauh dari nafas de­mokrasi.

Dalam kondisi parpol yang gemar membentang karpet merah seluas-luasnya bagi ka­der di luar partai untuk kebu­tuh­an memenangkan kon­tes­tasi politik, kita tentu sulit un­tuk berharap parpol secara mu­tual beroleh berkah dari pen­ca­lonan tersebut. Partai menjadi rental pergi dan datangnya para politisi oportunis yang tidak memiliki penyatuan ideologis dengan partai yang di­usung­nya. Akibatnya para politisi yang diusung tersebut tak akan pernah berpikir bagaimana me­rawat insti­tusionalisasi partai yang di­tunggangnya dalam pilkada.

Partai akhirnya tak lebih se­bagai faksi dalam perburuan kur­si politik di pilkada. Me­nu­rut Voltaire (dalam Giovanni Sar­tory, Parties and Party Sys­tem: A Frameworks for Analysis (1976), istilah partai adalah sesuatu yang baik, sedangkan faksi identik dengan keburukan dan dibenci dari zaman Romawi hingga abad ke-19. Dari seluruh tradisi pemikiran politik barat, jarang ada yang tidak meng­ang­gap faksi sebagai sesuatu yang dibenci, karena sejatinya faksi adalah un parti s?detieux dans un?tat (sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara), sedangkan partai lebih di­pakai untuk menunjuk faksi-faksi yang tidak memberontak.

Partai yang dewasa dan demokratis adalah partai yang tidak pernah kehilangan akal dan ide brilian untuk secara pro­fesional dan kontinu me­nya­ring kader-kadernya yang ber­kua­litas, yang memiliki nilai jual po­pulis di hadapan publik. Ba­gai­manapun, partai yang kuat dan disukai rakyat sepanjang masa adalah partai yang selalu mengembangkan kedewasaan dirinya lewat proses belajar dan berlatih menghadapi sejum­lah tan­tangan politik dan de­mokrasi, bahkan berlatih un­tuk tidak mudah terpancing oleh godaan kemenangan po­li­tik sesaat dengan meng­abai­kan proses (Almond, 1984).

Karena itu, parpol lebih baik membangun otokritik se­ca­ra dewasa untuk ke de­pan­nya berupaya memperbaiki kua­litas fungsi dan perannya se­bagai gawang demokrasi yakni mere­vi­ta­lisasi meka­nis­me kepar­tai­an terkait tahap penjaringan, se­leksi kandidat peserta pil­ka­da, bahkan kon­trol dan pem­be­rian sanksi ke­tat terhadap ber­bagai indikasi politik uang ter­utama dalam proses seleksi di internal par­tai, sehingga pe­nguat­an de­mo­krasi yang dicita- citakan le­wat tubuh kepartaian tidak te­rus mengendap sebagai uto­pia yang dimakan zaman.

Rakyat juga meng­ha­rap­kan partai memiliki inovasi un­tuk melahirkan kebijakan ber­kua­li­tas dalam men­ja­lan­kan roda or­ganisasinya, ber­si­ner­gi dengan aspirasi rakyat, sem­bari mere­duksi sekat-se­kat politik de­ngan rakyat se­la­ma ini, se­hing­ga dengan demi­ki­an partai bisa mencuri kem­bali perhatian pub­lik dan se­la­lu surplus kader berkualitas di setiap pilkada.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5968 seconds (0.1#10.140)