Kemendagri: Budaya Pengaruhi Kerawanan Konflik Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut budaya sebagai salah satu faktor yang memengaruhi kerawanan konflik saat penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak. Faktor budaya ini bisa menambah potensi konflik di daerah-daerah penyelenggara pilkada.
Kemendagri melakukan pemetaan kerawanan dengan beberapa indikator yaitu kontestasi, penyelenggara, partisipasi, geografis, dan budaya/militansi. Dari indikator tersebut, daerah-daerah yang dinilai memiliki kerawanan tinggi yaitu Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Konawe, Timor Tengah Selatan, Mimika, Paniai, Jayawijaya, dan Puncak. Sementara kategori sedang yakni Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bima.
Tahun ini akan diselenggarakan pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. "Ini kami membuat kerawanan yang merupakan kom binasi antara kerawanan yang dibuat Bawaslu dan indeks parameter yang ada dalam pemantauan dari politik. Ini mulai dari geografis sampai budaya," kata Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri Soedarmo, Rabu (3/1/2018).
Dia mengatakan, budaya cukup berpengaruh pada pelaksanaan pilkada. Daerah yang memiliki budaya kekeluargaan yang erat akan menimbulkan militansi. Hal ini sedikit-banyak akan menambah potensi kerawanan konflik saat pilkada. "Misalnya Sulawesi Selatan (masuk kerawanan tinggi) karena juga memiliki budaya militansi yang kuat," ucap dia.
Sedangkan untuk Papua, selain kontestasi, tingginya potensi kerawanan juga karena faktor budaya. Banyak suku yang ada di tanah Papua dan memiliki dukungan berbeda-beda. "Jika suku A dukung B dan suku B dukung C. Ini pendukungnya bisa tidak puas dengan hasil ini jika kalah. Makanya Papua sering masuk daerah rawan," ungkap dia.
Meski begitu, Soedarmo mengatakan bahwa pemetaan ini bisa saja berubah pascapenetapan calon kandidat kepala daerah sebab jumlah dan siapa yang akan berkontestasi akan memengaruhi kerawanan konflik. "Nanti kalau ada calon, mungkin saja bisa berubah. Misalnya ada daerah yang head to head juga berbeda dengan calonnya tiga. Nanti akan (petakan) ke sana juga," kata dia.
Sebelumnya Soedarmo juga menuturkan bahwa situasi saat ini masih kondusif. Semua daerah tetap melakukan deteksi dini untuk melakukan pencegahan. "Kita berharap terus bisa stabil. Nah, bagaimana caranya ini kita maksimalkan tim monitoring yang sudah terbentuk di semua daerah," ungkap dia.
Dia mengatakan, kampanye hitam, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), ataupun politik uang berpotensi terjadi di semua daerah. Pihaknya saat ini fokus agar hal tersebut tidak masif saat pelaksanaan pilkada mendatang. "Kita terus melakukan sosialisasi juga agar itu tidak ada money politics, black campaign, dan kampanye-kampanye negatif yang lain. Ini kan, ini supaya nanti bisa menjaga stabilitas keamanan dan ketenteraman masyarakat di daerah. Mudah-mudahan semua ya bisa berjalan lancar," kata dia.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cornelis mengatakan, saat ini kondisi masih kondusif meskipun dia mengakui Kalbar sering disebut-sebut sebagai daerah yang rawan. "Normal-normal saja. Dulu juga diramalkan, tapi aman. Tapi, demo saja tidak. Analisis saya sih tidak. Apapun keputusan pasti akan diterima," ucap dia. Namun, potensi tersebut bisa terjadi jika penyelenggara pemilu tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Jika peyelenggara melaksanakan tugasnya dengan adil, tidak akan terjadi.
Sebelumnya pemerintah diminta lebih ekstra mewaspadai potensi konflik sosial di tataran lokal saat Pilkada Serentak 2018. Satu di antara penyebabnya adalah semakin banyak elite politik yang akan terlibat. Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan keberadaan Pemi lu 2019 akan membuat banyak elite politik juga terlibat dalam Pilkada 2018. Maka itu, segala potensi konflik pada tataran lokal harus diwaspadai.
"Gesekannya tidak head to head antarkandidat. Tapi, juga akan ada beberapa pihak yang ikut bertarung. Jika tidak diantisipasi, bisa lebih kenceng kerusuhannya," kata dia.
Sunanto mengatakan, pada tahun mendatang para elite lokal akan memanfaatkan Pilkada 2018 untuk kontestasi 2019. Mulai dari para caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR, DPD, bahkan presiden. "Kandidat 2019 terlibat pilkada untuk memperkenalkan diri. Banyak kandidat sebarkan baliho dukung siapa. Akan semakin membuat masyarakat membingungkan," ungkap dia.
Kemendagri melakukan pemetaan kerawanan dengan beberapa indikator yaitu kontestasi, penyelenggara, partisipasi, geografis, dan budaya/militansi. Dari indikator tersebut, daerah-daerah yang dinilai memiliki kerawanan tinggi yaitu Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Konawe, Timor Tengah Selatan, Mimika, Paniai, Jayawijaya, dan Puncak. Sementara kategori sedang yakni Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bima.
Tahun ini akan diselenggarakan pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. "Ini kami membuat kerawanan yang merupakan kom binasi antara kerawanan yang dibuat Bawaslu dan indeks parameter yang ada dalam pemantauan dari politik. Ini mulai dari geografis sampai budaya," kata Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri Soedarmo, Rabu (3/1/2018).
Dia mengatakan, budaya cukup berpengaruh pada pelaksanaan pilkada. Daerah yang memiliki budaya kekeluargaan yang erat akan menimbulkan militansi. Hal ini sedikit-banyak akan menambah potensi kerawanan konflik saat pilkada. "Misalnya Sulawesi Selatan (masuk kerawanan tinggi) karena juga memiliki budaya militansi yang kuat," ucap dia.
Sedangkan untuk Papua, selain kontestasi, tingginya potensi kerawanan juga karena faktor budaya. Banyak suku yang ada di tanah Papua dan memiliki dukungan berbeda-beda. "Jika suku A dukung B dan suku B dukung C. Ini pendukungnya bisa tidak puas dengan hasil ini jika kalah. Makanya Papua sering masuk daerah rawan," ungkap dia.
Meski begitu, Soedarmo mengatakan bahwa pemetaan ini bisa saja berubah pascapenetapan calon kandidat kepala daerah sebab jumlah dan siapa yang akan berkontestasi akan memengaruhi kerawanan konflik. "Nanti kalau ada calon, mungkin saja bisa berubah. Misalnya ada daerah yang head to head juga berbeda dengan calonnya tiga. Nanti akan (petakan) ke sana juga," kata dia.
Sebelumnya Soedarmo juga menuturkan bahwa situasi saat ini masih kondusif. Semua daerah tetap melakukan deteksi dini untuk melakukan pencegahan. "Kita berharap terus bisa stabil. Nah, bagaimana caranya ini kita maksimalkan tim monitoring yang sudah terbentuk di semua daerah," ungkap dia.
Dia mengatakan, kampanye hitam, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), ataupun politik uang berpotensi terjadi di semua daerah. Pihaknya saat ini fokus agar hal tersebut tidak masif saat pelaksanaan pilkada mendatang. "Kita terus melakukan sosialisasi juga agar itu tidak ada money politics, black campaign, dan kampanye-kampanye negatif yang lain. Ini kan, ini supaya nanti bisa menjaga stabilitas keamanan dan ketenteraman masyarakat di daerah. Mudah-mudahan semua ya bisa berjalan lancar," kata dia.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cornelis mengatakan, saat ini kondisi masih kondusif meskipun dia mengakui Kalbar sering disebut-sebut sebagai daerah yang rawan. "Normal-normal saja. Dulu juga diramalkan, tapi aman. Tapi, demo saja tidak. Analisis saya sih tidak. Apapun keputusan pasti akan diterima," ucap dia. Namun, potensi tersebut bisa terjadi jika penyelenggara pemilu tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Jika peyelenggara melaksanakan tugasnya dengan adil, tidak akan terjadi.
Sebelumnya pemerintah diminta lebih ekstra mewaspadai potensi konflik sosial di tataran lokal saat Pilkada Serentak 2018. Satu di antara penyebabnya adalah semakin banyak elite politik yang akan terlibat. Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan keberadaan Pemi lu 2019 akan membuat banyak elite politik juga terlibat dalam Pilkada 2018. Maka itu, segala potensi konflik pada tataran lokal harus diwaspadai.
"Gesekannya tidak head to head antarkandidat. Tapi, juga akan ada beberapa pihak yang ikut bertarung. Jika tidak diantisipasi, bisa lebih kenceng kerusuhannya," kata dia.
Sunanto mengatakan, pada tahun mendatang para elite lokal akan memanfaatkan Pilkada 2018 untuk kontestasi 2019. Mulai dari para caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR, DPD, bahkan presiden. "Kandidat 2019 terlibat pilkada untuk memperkenalkan diri. Banyak kandidat sebarkan baliho dukung siapa. Akan semakin membuat masyarakat membingungkan," ungkap dia.
(amm)