Pilkada, Pemilukada, atau Pilcada?

Rabu, 03 Januari 2018 - 07:47 WIB
Pilkada, Pemilukada,...
Pilkada, Pemilukada, atau Pilcada?
A A A
Muhammad Oliz
Wakil Sekretaris PWI Kabupaten Kudus - Penggiat Jaringan Advokasi dan Hukum Pemilu Jawa Tengah

Pada 2018 ada 171 daerah baik level provinsi, kabu­paten, atau kotamadya di Indonesia yang akan melak­sana­kan gawe pemilihan kepala daerah. Rinciannya terdiri atas 115 kabupaten, 39 kotamadya, dan 17 provinsi yang mengikuti gawe pemilihan kepala daerah serentak tahap ketiga tersebut.

Dalam beberapa tahun ter­akhir, istilah untuk menyebut pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat itu meng­alami beberapa perubahan. Mulai dari Pilkada, Pemilukada, hingga istilah akronim sesuai lokasi pemilihan. Semisal untuk pemilihan gubernur-wakil gu­bernur disingkat Pilgub. Se­dang­kan pemilihan bupati disebut Pil­bup, dan Pilwakot untuk ting­kat kotamadya.

Tiga istilah tersebut diguna­kan jajaran KPU dalam kurun waktu yang berbeda. Peng­guna­an istilah yang berbeda itu diang­gap sesuai dengan payung hu­kum yang memang terus ber­ubah. Istilah Pilkada me­rujuk UU No 32 Tahun 2004. Sedang­kan istilah Pemilukada meng­ikuti ketentuan UU No 22 Tahun 2007. Sedangkan Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot mengekor aturan dalam UU No 15 Tahun 2011.

Penggunaan istilah yang berbeda itu sempat menuai kritik dari berbagai kalangan. Semisal Pilkada dinilai bukan bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) sehingga mesti­nya tidak menggunakan istilah Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Istilah Pemilukada juga dinilai me­ngandung contradictio in terminis sebab kata ”pemilihan umum” me­rujuk pemilihan yang ber­lang­sung di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, pemilihan kepala daerah hanya berlang­sung di wilayah setempat se­hing­ga lebih tepat istilah Pilkada (Joss Wibisono, 2015).

Namun, ada juga yang sepa­kat dengan istilah Pilgub, Pil­bup, atau Pilwakot. Selain lebih sesuai dengan regulasi, juga ”me­wakili” daerah yang menggelar hajat pemilihan kepala daerah

Kalangan media, baik arus utama maupun media sosial de­ngan alasan untuk memu­dah­kan atau telanjur populer di­gunakan, juga terkesan asal mencomot beragam istilah itu. Indikasinya, media tak hanya menggunakan satu istilah. Na­mun, ada yang meng­gunakan istilah Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot.

Tulisan ini mencoba me­na­war­kan satu istilah baru untuk digunakan kalangan media, baik media mainstream maupun me­dia sosial untuk menyebut pemi­lihan kepala daerah. Istilah baru ini sekaligus untuk ”kampanye” pendidikan politik jelang Pe­milih­an Kepala Daerah Serentak yang digelar 27 Juni 2018.

Yakni, istilah Pemilihan Calon Abdi Daerah (Pilcada). Istilah itu untuk ”meng­ganti­kan” Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, dan Pilwakot. Harapannya, istilah baru itu lebih membuka wawasan terkait substansi kontestasi untuk mencari calon gubernur - wakil gubernur, calon bupati -wakil bupati, atau calon wali kota-wakil wali kota ter­sebut. Alam bawah sadar masya­rakat harus dibuka jika sosok yang akan dipilih itu sejatinya adalah ”abdi” yang dituntut mem­­bawa kemajuan dan menyejah­tera­kan masyarakat di daerah yang di­pimpinnya.

Penggunaan istilah Pilcada ini juga sekaligus untuk mem­beri efek tekan kepada partai politik pengusung - pendukung, atau pasangan calon bahwa me­reka maju meramaikan kontes­tasi pemilihan itu tujuan uta­ma­nya untuk melayani daerah dan masyarakatnya. Bukan un­tuk ”gagah-gagahan” mencari status pemimpin atau bahkan jika sudah dilantik, malah raja-raja kecil yang menilap uang rak­yat serta mengingkari sum­pah jabatannya.

Bahasa dan Pikiran
Bahasa yang diwujudkan da­lam kata-kata adalah repre­sentasi realitas. Menurut ahli Semantik asal Rusia, Benyamin Vigotsky, ada korelasi antara bahasa (kata) dan pikiran ma­nusia. Keduanya saling mem­pengaruhi (http://widhiarso.staff.ugm.ac.id).

Penggunaan istilah Pilkada, Pemilukada, Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot terlalu normatif. Logika pikir kalangan awam akan me­nafsiri jika hasil pilkada adalah sepasang pemimpin yang akan memimpin sebuah daerah, baik provinsi, kabu­paten, atau kota­madya dalam kurun waktu ter­tentu. Dan, jika pemenang pe­mi­lih­an kepala daerah itu dilantik, mereka akan berstatus pemim­pin. Sedangkan masya­rakat ada­lah golongan yang di­pim­pin. Se­cara psikologis, lazim­nya ”status” pemimpin akan ber­ada di atas kalangan yang di­pim­pinnya. Ada perasaan inferior yang meng­hinggapi kalangan yang di­pim­pin terhadap pemimpinnya.

Persoalannya, ternyata tak semua pemimpin hasil pemilih­an kepala daerah adalah pe­mimpin dalam artian yang se­benarnya, yakni membawa ke­majuan daerah yang dipimpin­nya, mengangkat kesejah­tera­an masyarakat dalam berbagai aspek kemajuan, dan beragam hal positif lain. Fakta di lapang­an malah justru membuat miris. Banyak pemimpin daerah yang mengkhianati rakyatnya.

Data per Agustus 2016 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasar catatan Kemendagri menunjukkan ada 361 kepala daerah di Indonesia yang tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota. Sedang­kan khusus 2017, sejak Januari -27 Desember, tercatat ada sembilan kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota yang menjadi tersangka karena dico­kok lewat operasi tangkap ta­ngan (OTT) KPK (http://kpk.go.id).

Penggunaan istilah Pe­milih­an Calon Abdi Daerah (Pilcada) bagian dari upaya awal untuk mengikis inferioritas masya­ra­kat terhadap kepala daerah yang bakal memimpinnya. Kam­panye dan propaganda penggunaan istilah Pilcada ini jika dilakukan secara terus-menerus di media, baik arus utama maupun media sosial, bisa menjadi alat tekan yang efektif. ”Serangan” bertubi itu diharapkan bisa memenga­ruhi wawasan, sikap, hingga perilaku politik publik.

Lewat langkah ini, awak me­dia baik yang di lapangan mau­pun meja redaksi bisa mene­gak­kan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya su­pre­masi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta meng­hormati kebinekaan sebagai­mana amanat Pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Materi untuk membangun ke­sadaran politik itu kita sisipkan lewat berbagai konten yang ditampilkan media massa, baik cetak, elektronik, maupun online.

Karakteristik media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, YouTube, Instagram, Line, My Space, Blog, WhatsApp, Black­Berry Messenger, dan sebagai­nya yang mampu menyebarkan informasi secara cepat, serta mampu menjangkau masya­ra­kat yang luas dan heterogen men­jadi modal yang harus d­i­maksimalkan untuk pen­didik­an politik masyarakat.

Langkah ini juga sekaligus bagian dari upaya literasi untuk mengimbangi maraknya konten kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam yang disusupkan lewat informasi di media sosial. Atau, setidaknya mengimbangi berita terse­lubung tentang pencitraan diri atau bah­kan berita untuk men­jatuh­kan lawan politik yang lazim ”dipasang” tiap kali hajatan pemilu (Pilkada) oleh buzzer yang berafiliasi ke parpol pen­dukung - pengusung hingga pa­sangan calon peserta pemilihan kepala daerah.

Mari kita sambut dan ramai­kan gawe Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dengan penggunaan istilah Pilcada. Kita ingatkan sejak dini bahwa mereka adalah sosok-sosok yang mengabdi untuk daerah dan rakyatnya. Dengan begitu, kita pun tak sungkan untuk me­nagih janji-janji mereka jika melenceng saat memimpin.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)