Pilkada, Pemilukada, atau Pilcada?
A
A
A
Muhammad Oliz
Wakil Sekretaris PWI Kabupaten Kudus - Penggiat Jaringan Advokasi dan Hukum Pemilu Jawa Tengah
Pada 2018 ada 171 daerah baik level provinsi, kabupaten, atau kotamadya di Indonesia yang akan melaksanakan gawe pemilihan kepala daerah. Rinciannya terdiri atas 115 kabupaten, 39 kotamadya, dan 17 provinsi yang mengikuti gawe pemilihan kepala daerah serentak tahap ketiga tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah untuk menyebut pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat itu mengalami beberapa perubahan. Mulai dari Pilkada, Pemilukada, hingga istilah akronim sesuai lokasi pemilihan. Semisal untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur disingkat Pilgub. Sedangkan pemilihan bupati disebut Pilbup, dan Pilwakot untuk tingkat kotamadya.
Tiga istilah tersebut digunakan jajaran KPU dalam kurun waktu yang berbeda. Penggunaan istilah yang berbeda itu dianggap sesuai dengan payung hukum yang memang terus berubah. Istilah Pilkada merujuk UU No 32 Tahun 2004. Sedangkan istilah Pemilukada mengikuti ketentuan UU No 22 Tahun 2007. Sedangkan Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot mengekor aturan dalam UU No 15 Tahun 2011.
Penggunaan istilah yang berbeda itu sempat menuai kritik dari berbagai kalangan. Semisal Pilkada dinilai bukan bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) sehingga mestinya tidak menggunakan istilah Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Istilah Pemilukada juga dinilai mengandung contradictio in terminis sebab kata ”pemilihan umum” merujuk pemilihan yang berlangsung di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, pemilihan kepala daerah hanya berlangsung di wilayah setempat sehingga lebih tepat istilah Pilkada (Joss Wibisono, 2015).
Namun, ada juga yang sepakat dengan istilah Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot. Selain lebih sesuai dengan regulasi, juga ”mewakili” daerah yang menggelar hajat pemilihan kepala daerah
Kalangan media, baik arus utama maupun media sosial dengan alasan untuk memudahkan atau telanjur populer digunakan, juga terkesan asal mencomot beragam istilah itu. Indikasinya, media tak hanya menggunakan satu istilah. Namun, ada yang menggunakan istilah Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot.
Tulisan ini mencoba menawarkan satu istilah baru untuk digunakan kalangan media, baik media mainstream maupun media sosial untuk menyebut pemilihan kepala daerah. Istilah baru ini sekaligus untuk ”kampanye” pendidikan politik jelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang digelar 27 Juni 2018.
Yakni, istilah Pemilihan Calon Abdi Daerah (Pilcada). Istilah itu untuk ”menggantikan” Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, dan Pilwakot. Harapannya, istilah baru itu lebih membuka wawasan terkait substansi kontestasi untuk mencari calon gubernur - wakil gubernur, calon bupati -wakil bupati, atau calon wali kota-wakil wali kota tersebut. Alam bawah sadar masyarakat harus dibuka jika sosok yang akan dipilih itu sejatinya adalah ”abdi” yang dituntut membawa kemajuan dan menyejahterakan masyarakat di daerah yang dipimpinnya.
Penggunaan istilah Pilcada ini juga sekaligus untuk memberi efek tekan kepada partai politik pengusung - pendukung, atau pasangan calon bahwa mereka maju meramaikan kontestasi pemilihan itu tujuan utamanya untuk melayani daerah dan masyarakatnya. Bukan untuk ”gagah-gagahan” mencari status pemimpin atau bahkan jika sudah dilantik, malah raja-raja kecil yang menilap uang rakyat serta mengingkari sumpah jabatannya.
Bahasa dan Pikiran
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas. Menurut ahli Semantik asal Rusia, Benyamin Vigotsky, ada korelasi antara bahasa (kata) dan pikiran manusia. Keduanya saling mempengaruhi (http://widhiarso.staff.ugm.ac.id).
Penggunaan istilah Pilkada, Pemilukada, Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot terlalu normatif. Logika pikir kalangan awam akan menafsiri jika hasil pilkada adalah sepasang pemimpin yang akan memimpin sebuah daerah, baik provinsi, kabupaten, atau kotamadya dalam kurun waktu tertentu. Dan, jika pemenang pemilihan kepala daerah itu dilantik, mereka akan berstatus pemimpin. Sedangkan masyarakat adalah golongan yang dipimpin. Secara psikologis, lazimnya ”status” pemimpin akan berada di atas kalangan yang dipimpinnya. Ada perasaan inferior yang menghinggapi kalangan yang dipimpin terhadap pemimpinnya.
Persoalannya, ternyata tak semua pemimpin hasil pemilihan kepala daerah adalah pemimpin dalam artian yang sebenarnya, yakni membawa kemajuan daerah yang dipimpinnya, mengangkat kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kemajuan, dan beragam hal positif lain. Fakta di lapangan malah justru membuat miris. Banyak pemimpin daerah yang mengkhianati rakyatnya.
Data per Agustus 2016 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasar catatan Kemendagri menunjukkan ada 361 kepala daerah di Indonesia yang tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota. Sedangkan khusus 2017, sejak Januari -27 Desember, tercatat ada sembilan kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota yang menjadi tersangka karena dicokok lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK (http://kpk.go.id).
Penggunaan istilah Pemilihan Calon Abdi Daerah (Pilcada) bagian dari upaya awal untuk mengikis inferioritas masyarakat terhadap kepala daerah yang bakal memimpinnya. Kampanye dan propaganda penggunaan istilah Pilcada ini jika dilakukan secara terus-menerus di media, baik arus utama maupun media sosial, bisa menjadi alat tekan yang efektif. ”Serangan” bertubi itu diharapkan bisa memengaruhi wawasan, sikap, hingga perilaku politik publik.
Lewat langkah ini, awak media baik yang di lapangan maupun meja redaksi bisa menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta menghormati kebinekaan sebagaimana amanat Pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Materi untuk membangun kesadaran politik itu kita sisipkan lewat berbagai konten yang ditampilkan media massa, baik cetak, elektronik, maupun online.
Karakteristik media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, YouTube, Instagram, Line, My Space, Blog, WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan sebagainya yang mampu menyebarkan informasi secara cepat, serta mampu menjangkau masyarakat yang luas dan heterogen menjadi modal yang harus dimaksimalkan untuk pendidikan politik masyarakat.
Langkah ini juga sekaligus bagian dari upaya literasi untuk mengimbangi maraknya konten kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam yang disusupkan lewat informasi di media sosial. Atau, setidaknya mengimbangi berita terselubung tentang pencitraan diri atau bahkan berita untuk menjatuhkan lawan politik yang lazim ”dipasang” tiap kali hajatan pemilu (Pilkada) oleh buzzer yang berafiliasi ke parpol pendukung - pengusung hingga pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah.
Mari kita sambut dan ramaikan gawe Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dengan penggunaan istilah Pilcada. Kita ingatkan sejak dini bahwa mereka adalah sosok-sosok yang mengabdi untuk daerah dan rakyatnya. Dengan begitu, kita pun tak sungkan untuk menagih janji-janji mereka jika melenceng saat memimpin.
Wakil Sekretaris PWI Kabupaten Kudus - Penggiat Jaringan Advokasi dan Hukum Pemilu Jawa Tengah
Pada 2018 ada 171 daerah baik level provinsi, kabupaten, atau kotamadya di Indonesia yang akan melaksanakan gawe pemilihan kepala daerah. Rinciannya terdiri atas 115 kabupaten, 39 kotamadya, dan 17 provinsi yang mengikuti gawe pemilihan kepala daerah serentak tahap ketiga tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah untuk menyebut pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat itu mengalami beberapa perubahan. Mulai dari Pilkada, Pemilukada, hingga istilah akronim sesuai lokasi pemilihan. Semisal untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur disingkat Pilgub. Sedangkan pemilihan bupati disebut Pilbup, dan Pilwakot untuk tingkat kotamadya.
Tiga istilah tersebut digunakan jajaran KPU dalam kurun waktu yang berbeda. Penggunaan istilah yang berbeda itu dianggap sesuai dengan payung hukum yang memang terus berubah. Istilah Pilkada merujuk UU No 32 Tahun 2004. Sedangkan istilah Pemilukada mengikuti ketentuan UU No 22 Tahun 2007. Sedangkan Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot mengekor aturan dalam UU No 15 Tahun 2011.
Penggunaan istilah yang berbeda itu sempat menuai kritik dari berbagai kalangan. Semisal Pilkada dinilai bukan bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) sehingga mestinya tidak menggunakan istilah Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Istilah Pemilukada juga dinilai mengandung contradictio in terminis sebab kata ”pemilihan umum” merujuk pemilihan yang berlangsung di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, pemilihan kepala daerah hanya berlangsung di wilayah setempat sehingga lebih tepat istilah Pilkada (Joss Wibisono, 2015).
Namun, ada juga yang sepakat dengan istilah Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot. Selain lebih sesuai dengan regulasi, juga ”mewakili” daerah yang menggelar hajat pemilihan kepala daerah
Kalangan media, baik arus utama maupun media sosial dengan alasan untuk memudahkan atau telanjur populer digunakan, juga terkesan asal mencomot beragam istilah itu. Indikasinya, media tak hanya menggunakan satu istilah. Namun, ada yang menggunakan istilah Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot.
Tulisan ini mencoba menawarkan satu istilah baru untuk digunakan kalangan media, baik media mainstream maupun media sosial untuk menyebut pemilihan kepala daerah. Istilah baru ini sekaligus untuk ”kampanye” pendidikan politik jelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang digelar 27 Juni 2018.
Yakni, istilah Pemilihan Calon Abdi Daerah (Pilcada). Istilah itu untuk ”menggantikan” Pilkada, Pemilukada, atau Pilgub, Pilbup, dan Pilwakot. Harapannya, istilah baru itu lebih membuka wawasan terkait substansi kontestasi untuk mencari calon gubernur - wakil gubernur, calon bupati -wakil bupati, atau calon wali kota-wakil wali kota tersebut. Alam bawah sadar masyarakat harus dibuka jika sosok yang akan dipilih itu sejatinya adalah ”abdi” yang dituntut membawa kemajuan dan menyejahterakan masyarakat di daerah yang dipimpinnya.
Penggunaan istilah Pilcada ini juga sekaligus untuk memberi efek tekan kepada partai politik pengusung - pendukung, atau pasangan calon bahwa mereka maju meramaikan kontestasi pemilihan itu tujuan utamanya untuk melayani daerah dan masyarakatnya. Bukan untuk ”gagah-gagahan” mencari status pemimpin atau bahkan jika sudah dilantik, malah raja-raja kecil yang menilap uang rakyat serta mengingkari sumpah jabatannya.
Bahasa dan Pikiran
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas. Menurut ahli Semantik asal Rusia, Benyamin Vigotsky, ada korelasi antara bahasa (kata) dan pikiran manusia. Keduanya saling mempengaruhi (http://widhiarso.staff.ugm.ac.id).
Penggunaan istilah Pilkada, Pemilukada, Pilgub, Pilbup, atau Pilwakot terlalu normatif. Logika pikir kalangan awam akan menafsiri jika hasil pilkada adalah sepasang pemimpin yang akan memimpin sebuah daerah, baik provinsi, kabupaten, atau kotamadya dalam kurun waktu tertentu. Dan, jika pemenang pemilihan kepala daerah itu dilantik, mereka akan berstatus pemimpin. Sedangkan masyarakat adalah golongan yang dipimpin. Secara psikologis, lazimnya ”status” pemimpin akan berada di atas kalangan yang dipimpinnya. Ada perasaan inferior yang menghinggapi kalangan yang dipimpin terhadap pemimpinnya.
Persoalannya, ternyata tak semua pemimpin hasil pemilihan kepala daerah adalah pemimpin dalam artian yang sebenarnya, yakni membawa kemajuan daerah yang dipimpinnya, mengangkat kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kemajuan, dan beragam hal positif lain. Fakta di lapangan malah justru membuat miris. Banyak pemimpin daerah yang mengkhianati rakyatnya.
Data per Agustus 2016 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasar catatan Kemendagri menunjukkan ada 361 kepala daerah di Indonesia yang tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota. Sedangkan khusus 2017, sejak Januari -27 Desember, tercatat ada sembilan kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota yang menjadi tersangka karena dicokok lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK (http://kpk.go.id).
Penggunaan istilah Pemilihan Calon Abdi Daerah (Pilcada) bagian dari upaya awal untuk mengikis inferioritas masyarakat terhadap kepala daerah yang bakal memimpinnya. Kampanye dan propaganda penggunaan istilah Pilcada ini jika dilakukan secara terus-menerus di media, baik arus utama maupun media sosial, bisa menjadi alat tekan yang efektif. ”Serangan” bertubi itu diharapkan bisa memengaruhi wawasan, sikap, hingga perilaku politik publik.
Lewat langkah ini, awak media baik yang di lapangan maupun meja redaksi bisa menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta menghormati kebinekaan sebagaimana amanat Pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Materi untuk membangun kesadaran politik itu kita sisipkan lewat berbagai konten yang ditampilkan media massa, baik cetak, elektronik, maupun online.
Karakteristik media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, YouTube, Instagram, Line, My Space, Blog, WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan sebagainya yang mampu menyebarkan informasi secara cepat, serta mampu menjangkau masyarakat yang luas dan heterogen menjadi modal yang harus dimaksimalkan untuk pendidikan politik masyarakat.
Langkah ini juga sekaligus bagian dari upaya literasi untuk mengimbangi maraknya konten kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam yang disusupkan lewat informasi di media sosial. Atau, setidaknya mengimbangi berita terselubung tentang pencitraan diri atau bahkan berita untuk menjatuhkan lawan politik yang lazim ”dipasang” tiap kali hajatan pemilu (Pilkada) oleh buzzer yang berafiliasi ke parpol pendukung - pengusung hingga pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah.
Mari kita sambut dan ramaikan gawe Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dengan penggunaan istilah Pilcada. Kita ingatkan sejak dini bahwa mereka adalah sosok-sosok yang mengabdi untuk daerah dan rakyatnya. Dengan begitu, kita pun tak sungkan untuk menagih janji-janji mereka jika melenceng saat memimpin.
(mhd)