Kinerja Ekonomi 2017
A
A
A
PENUTUPAN perdagangan saham akhir tahun di Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat diwarnai insiden kecil. Waktu menunjukkan penutupan perdagangan saham secara resmi pada pukul 16.00 WIB tinggal sekitar dua menit, tiba-tiba bel tanda penutupan perdagangan berbunyi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta sejumlah anggota Kabinet Kerja dan para undangan pun dibuat kaget. Rupanya, ajudan Presiden Jokowi tak sengaja menekan bel tanda penutupan perdagangan saat meletakkan map berisi teks sambutan Presiden. Untungnya hadirin hanya kaget sejenak.
Tak lama setelah insiden bel itu Presiden pun resmi menutup perdagangan saham akhir 2017 di mana indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat 41,6 poin atau sekitar 0,66% ke level 6.355. Posisi IHSG pada penutupan perdagangan tersebut tertinggi dalam sejarah perdagangan saham di negeri ini. Apakah ini pertanda perekonomian Indonesia pada tahun depan lebih cerah?
Sebelum menyinggung bagaimana proyeksi perekonomian nasional tahun depan yang juga disebut sebagai tahun politik karena ditandai pelaksanaan 171 pilkada serentak, tak ada salahnya menengok dulu kinerja perekonomian nasional sepanjang tahun ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengklaim kondisi perekonomian Indonesia sepanjang 2017 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dia mengakui, me¬mang ekonomi 2017 sempat melambat, namun memasuki triwulan ketiga kinerja ekonomi cukup baik. Berangkat dari kinerja kuartal ketiga tersebut pihak bank sentral memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional berada di level 5,05%.
Dalam paparan akhir tahun orang nomor satu di BI itu terungkap bahwa indikator perbaikan ekonomi terimplementasi dari meningkatnya angka realisasi investasi dan kinerja eksporimpor yang mulai berotot. Selain itu, Indonesia telah mengantongi surplus neraca perdagangan sebesar USD12 miliar atau lebih tinggi dibandingkan periode November 2016 yang tercatat USD8,48 miliar.
Begitu pula defisit neraca transaksi berjalan yang semakin mengecil dari 4,2% pada periode 2013 dan diperkirakan hanya 1,65% dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini. Indikator lainnya adalah status Indonesia sebagai negara layak untuk investasi (investment grade) yang disematkan sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Dan, cadangan devisa terus meningkat yang kini tercatat sebesar USD125,9 miliar. Angka tersebut setara dengan 8,1 bulan impor dan pembayaran kewajiban ke luar negeri.
Bagaimana dengan stabilitas sistem keuangan? Agus membeberkan bahwa kondisi sistem keuangan yang stabil dapat dilihat dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio /CAR) perbankan. Pada periode Oktober 2017 CAR perbankan masuk kategori tinggi pada level 23,2% dan rasio likuiditas pada level 22,7%. Adapun rasio kredit ber¬masalah (non performing loan /NPL) pada posisi 2,96% (gros) atau 1,25% (net). Adapun pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan di antaranya penerbitan obligasi, saham dan medium term notes terus bertumbuh hingga tercatat 45,5% pada Oktober lalu.
Hanya, target penyaluran kredit belum bisa melampaui dua digit seperti yang ditargetkan, tengok saja penyaluran baru mencapai 8,16% pada Oktober 2017 atau sedikit membaik dibandingkan periode September 2017 yang tercatat 7,86%. Untuk ni¬lai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), BI mengklaim dalam volatilitas yang terjaga.
Sepanjang tahun ini nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi sekitar 0,8% atau berada di level aman karena masih di bawah 1% dengan volatilitas sekitar 3,1%. Hal itu sejalan dengan laju inflasi yang terkontrol. Dan, aliran dana asing yang masuk Indonesia mencapai Rp138 triliun.
Sementara itu, pendapatan negara telah mencapai Rp1.496,9 triliun hingga pertengahan bulan ini. Di antaranya, realisasi penerimaan pajak Rp1.211,5 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat Rp281 triliun dari target Rp260 triliun berkat harga minyak yang melebihi harga asumsi. Begitu pun penerimaan hibah yang meningkat dari target Rp3,1 triliun menjadi Rp4,4 triliun.
Sayangnya, meski sejumlah indikator membaiknya perekonomian nasional sepanjang tahun ini berdasarkan versi bank sentral, namun proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional harus tetap dikoreksi. Semula, pemerintah optimistis mengantongi angka pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%, belakangan dikoreksi menjadi 5,05%.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta sejumlah anggota Kabinet Kerja dan para undangan pun dibuat kaget. Rupanya, ajudan Presiden Jokowi tak sengaja menekan bel tanda penutupan perdagangan saat meletakkan map berisi teks sambutan Presiden. Untungnya hadirin hanya kaget sejenak.
Tak lama setelah insiden bel itu Presiden pun resmi menutup perdagangan saham akhir 2017 di mana indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat 41,6 poin atau sekitar 0,66% ke level 6.355. Posisi IHSG pada penutupan perdagangan tersebut tertinggi dalam sejarah perdagangan saham di negeri ini. Apakah ini pertanda perekonomian Indonesia pada tahun depan lebih cerah?
Sebelum menyinggung bagaimana proyeksi perekonomian nasional tahun depan yang juga disebut sebagai tahun politik karena ditandai pelaksanaan 171 pilkada serentak, tak ada salahnya menengok dulu kinerja perekonomian nasional sepanjang tahun ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengklaim kondisi perekonomian Indonesia sepanjang 2017 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dia mengakui, me¬mang ekonomi 2017 sempat melambat, namun memasuki triwulan ketiga kinerja ekonomi cukup baik. Berangkat dari kinerja kuartal ketiga tersebut pihak bank sentral memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional berada di level 5,05%.
Dalam paparan akhir tahun orang nomor satu di BI itu terungkap bahwa indikator perbaikan ekonomi terimplementasi dari meningkatnya angka realisasi investasi dan kinerja eksporimpor yang mulai berotot. Selain itu, Indonesia telah mengantongi surplus neraca perdagangan sebesar USD12 miliar atau lebih tinggi dibandingkan periode November 2016 yang tercatat USD8,48 miliar.
Begitu pula defisit neraca transaksi berjalan yang semakin mengecil dari 4,2% pada periode 2013 dan diperkirakan hanya 1,65% dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini. Indikator lainnya adalah status Indonesia sebagai negara layak untuk investasi (investment grade) yang disematkan sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Dan, cadangan devisa terus meningkat yang kini tercatat sebesar USD125,9 miliar. Angka tersebut setara dengan 8,1 bulan impor dan pembayaran kewajiban ke luar negeri.
Bagaimana dengan stabilitas sistem keuangan? Agus membeberkan bahwa kondisi sistem keuangan yang stabil dapat dilihat dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio /CAR) perbankan. Pada periode Oktober 2017 CAR perbankan masuk kategori tinggi pada level 23,2% dan rasio likuiditas pada level 22,7%. Adapun rasio kredit ber¬masalah (non performing loan /NPL) pada posisi 2,96% (gros) atau 1,25% (net). Adapun pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan di antaranya penerbitan obligasi, saham dan medium term notes terus bertumbuh hingga tercatat 45,5% pada Oktober lalu.
Hanya, target penyaluran kredit belum bisa melampaui dua digit seperti yang ditargetkan, tengok saja penyaluran baru mencapai 8,16% pada Oktober 2017 atau sedikit membaik dibandingkan periode September 2017 yang tercatat 7,86%. Untuk ni¬lai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), BI mengklaim dalam volatilitas yang terjaga.
Sepanjang tahun ini nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi sekitar 0,8% atau berada di level aman karena masih di bawah 1% dengan volatilitas sekitar 3,1%. Hal itu sejalan dengan laju inflasi yang terkontrol. Dan, aliran dana asing yang masuk Indonesia mencapai Rp138 triliun.
Sementara itu, pendapatan negara telah mencapai Rp1.496,9 triliun hingga pertengahan bulan ini. Di antaranya, realisasi penerimaan pajak Rp1.211,5 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat Rp281 triliun dari target Rp260 triliun berkat harga minyak yang melebihi harga asumsi. Begitu pun penerimaan hibah yang meningkat dari target Rp3,1 triliun menjadi Rp4,4 triliun.
Sayangnya, meski sejumlah indikator membaiknya perekonomian nasional sepanjang tahun ini berdasarkan versi bank sentral, namun proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional harus tetap dikoreksi. Semula, pemerintah optimistis mengantongi angka pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%, belakangan dikoreksi menjadi 5,05%.
(rhs)