2018, KPK Siap Tuntaskan 8 Kasus Besar yang Mangkrak
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan segera melakukan evaluasi guna menuntaskan sekira 8 kasus besar yang mangkrak dan/atau belum selesai selama dua tahun di bawah pimpinan KPK periode 2015-2019.
Termasuk di antaranya, menaikkan kasus yang sedang di tahap penyidikan ke tahap penuntutan. Hal tersebut terungkap saat konferensi pers capaian kinerja 2017 KPK di Auditorium Utama gedung penunjang, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2017) sore.
Konferensi pers ini dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Sekretaris Jenderal KPK Raden Bimo Gunung Abdul Kadir, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan sejumlah jajaran KPK lainnya.
Agus Rahardjo mengatakan, memang ada beberapa kasus yang sempat tidak ditangani KPK selama dua tahun meski ada perkara yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan terpidananya sudah dieksekusi menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dalam beberapa perkara tersebut, memang tercantum dalam putusan bahwa perbuatan terpidana dilakukan bersama-sama dengan pihak-pihak lain.
Dia mencontohkan, perkara korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam perkara ini, terpidana 12 tahun penjara mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter Budi Mulya kini sudah di Lapas Sukamiskin. Agus kembali menjanjikan seperti dalam penyampaian laporan kinerja 2016 bahwa kasus Century dan kasus-kasus lain yang belum sempat ditangani meski ada putusan inkracht.
"Yang lain menunggu giliran aja. Kita akan kaji lagi (di 2018). Karena hari ini kita memang disibukkan dengan yang tidak semua bisa kita sentuh. Karena ada prioritas yang didorong penyidik," ujar Agus di Auditorium Utama Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2017)
Berdasarkan putusan tingkat banding yang sudah inkracht, majelis hakim menilai dalam kasus ini negara dirugikan lebih dari Rp7,451 triliun. Majelis juga menuangkan pihak yang bersama-sama Budi Mulya yakni mantan Gubernur BI Boediono, mantan Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah, mantan Deputi Gubernur Muliaman Dharmansyah Hadad, mantan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur (alm) S Budi Rochadi, Robert Tantular, Harmanus H Muslim, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede. Satu majelis hakim lain menilai mantan Ketua KSSK sekaligus mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga dinilai bersamasama melakukan korupsi.
Tiga kasus besar lainnya yakni, perkara korupsi pelaksanaan dan penyelenggaraan ibadah haji, pemanfaatan kuota, dan penggunaan dana haji dengan terpidana 10 tahun mantan Menteri Agama sekaligus mantan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali. Majelis hakim menilai akibat perbuatan Suryadharma bersama-sama pihak lain, negara mengalami kerugian lebih Rp27,283 miliar dan 17.967.405 real Arab Saudi.
Para pihak yang bersama-sama dengan Suryadharma di antaranya, mantan Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PPP yang kini anggota Komisi III DPR Hasrul Azwar, Wakil Ketua Komisi IX DPR 2014-2019 dari Fraksi PPP Ermalena Mhs, dan mantan anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PPP Mukhlisin.
Kemudian, perkara suap pengurusan APBN Kementerian ESDM Kementerian ESDM dengan terpidana almarhum mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, terpidana mantan Menteri ESDM Jero Wacik (divonis 8 tahun ), dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Warono Karno (divonis 7 tahun).
Berikutnya, perkara suap pengurusan tender minyak mentah dan kondesat di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan terpidana mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini (divonis) 7 tahundan Deviardi (swasta, divonis 4 tahun 6 bulan).
Dalam perkara APBN Kementerian ESDM dan tender di SKK Migas banyak pihak di Komisi VII periode 2009-2014 yang disebut menerima uang puluhan miliar dalam putusan para terpidana.
Terakhir, kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999. KPK sempat menetapkan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka. KPK juga pernah mengantungi hasil audit invesitagatif kerugian negara sebelumnya sebesar Rp375 miliar dan nilai kerugian bertambah saat penyidikan menjadi Rp2,5 triliun.
KPK lantas kalah di praperadilan melawan Hadi pada Selasa, 26 Mei 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tahap peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), pada 16 Juni 2016 majelis hakim PK menganulir putusan PN Jaksel. Berdasarkan putusan PK MA Nomor: 50 PK/Pid.Sus/2016, Hadi tetap menjadi tersangka.
Laode Muhamad Syarif menambahkan, memang ada banyak kasus atau perkara yang belum ditindaklanjuti KPK termasuk empat kasus yakni Century, haji, APBN Kementerian ESDM, tender di SKK Migas, hingga kasus pajak BCA yang sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Dia mengatakan, perkara-perkara yang tidak ditangani dalam kurun dua tahun periode pimpinan KPK 2015-2019 tetap akan dievaluasi dan dibahas pada 2018.
"Kita akan evaluasi, kita cek di 2018. Kerjaan hukum itu tidak bisa diburu-burui. Ya kita jadikan prioritas 2018, jangan sampai kelamaan juga," ujar Syarif.
Dia mengakui banyaknya intensitas kasus melalui operasi tangkap tangan (OTT) selama dua tahun belakangan memang menjadi salah satu faktor konsentrasi KPK dalam menangani kasus atau perkara terpecah. Termasuk beberapa kasus lama yang sudah ada putusan inkracht yang tidak ditangan selama dua tahun. Sebagai contoh, pada 2016 KPK melakukan 17 kali OTT dan pada 2017 meningkat menjadi 19 OTT.
"Kalau misalnya OTT itu tidak bisa ditunda, karena waktunya itu sudah beberapa hari harus sudah limpah. Sedangkan yang lain kasus-kasus ekor atau anak kan itu sudah diteliti oleh bagian penindakan dan pengaduan masyarakat," kilahnya.
Mantan Senior Adviser on Justice and Environmental Governance di Partnership for Governance Reform (Kemitraan) ini mengakui kasus-kasus lama yang belum ditangani atau belum selesai termasuk warisan dari pimpinan KPK periode 2011-2015 memang menjadi beban KPK.
Misalnya Century, dugaan korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004, dan dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 di Pelindo II. Untuk kasus SKL BLBI, tutur Syarif, pada pimpinan periode sekarang berhasil ditingkat ke penyidikan dengan tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
"Misalnya (SKL) BLBI yang lama, iya itu menjadi beban kita, yang dulu nggak terselesaikan. Ya alhamdulillah satu sudah terselesaikan pak SAT.
Dan mudah-mudahan kita dapatkan lagi informasi yang lebih baik dari Pak SAT," tegas Syarif.
Untuk kasus tiga QCC Pelindo II, Syarif melanjutkan, saat ini penanganannya sedang berlangsung dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Richard Joost Lino. Penyidikan kasus dengan Lino memang sudah berlangsung lebih dua tahun. Syarif mengakui selama kurun 2017 ini KPK belum pernah memeriksa Lino sebagai tersangka.
Meski demikian, Syarif menggariskan, pemeriksaan saksi-saksi untuk tersangka Lino terus bergulir sepanjang 2016 hingga 2017. Ditambah lagi beberapa hari lalu KPK bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pertemuan dan gelar perkara (ekspose) bersama. BPK menyampaikan kerugian negara final sedang dihitung dan segera diselesaikan.
"Kita bekerjasama juga dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujarnya.
Dia memaparkan, KPK tidak pernah berpikir atau terintervensi dari sisi politik dalam melanjutkan dan menuntaskan perkara. Syarif menggariskan, langkah tindaklanjut atas sebuah perkara atau kasus termasuk yang masih mangkrak serta sedang dalam tahap penyidikan saat ini memang harus dilihat dengan skala prioritas. Salah satu yang menjadi ukuran adalah besaran nilai kerugian negaranya. Di samping itu, KPK juga melihat efek jera serta cost and benefit-nya.
"Kalau misalnya kerugian negaranya yang besar ya itu kita dahulukan. Tetapi tidak pernah prioritas itu yang berhubungan dengan politik. Tetapi misalnya dia antar pejabat yang tinggi dan rendah, ya harusnya pejabat yang lebih tinggi dulu," paparnya.
Selain itu, khusus kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas juga sedang dipetakan KPK dan menjadi fokus KPK ke depan. Hanya saja, Syarif belum mau menjanjikan mana kasus yang akan lebih dulu ditindaklanjuti dengan misalnya dinaikkan ke penyidikan dengan penetapan tersangka baru serta dilimpahkan tersangka yang ada ke penuntutan.
"Belum disebut target berapa kasusnya. Tapi kami berharap bahwa kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat itu bisa kita kerjakan, bisa selesai," katanya.
Syarif menambahkan, perkara besar yang ditangani KPK di bawah pimpinan KPK sekarang yakni dugaan suap pengadaan pesawat Airbus SAS sebanyak 50 buah dan 11 mesin Rolls Royce Holding plc pada Garuda Indonesia kurun 2005-2014. Kasus ini bagi KPK juga menjadi perhatian dan mendapat pengawasan dari masyarakat.
Di kasus ini, lanjut Syarif, KPK sudah menetapkan dua tersangka. Emirsyah Satar selaku Direktur Utama Garuda Indonesia 2005-2014 ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dari Soetikno Soedarjo selaku Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd yang juga pendiri Mugi Rekso Abadi (MRA) Group sebagai tersangka pemberi.
Sebagaimana pernyataan KPK sebelumnya, nilai suap yang diterima Emirsyah dalam bentuk uang dalam bentuk euro 1,2 juta dan USD180.000 atau senilai setara Rp20 miliar dan berbentuk barang senilai USD2 juta (setara Rp26 miliar) yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
"Kasus Garuda seharusnya tidak akan lama lagi limpah (ke penuntuttan) ya. Kasus Garuda itu kami terus terang masih menunggu perhitungannya di Singapura dan di Inggris. Karena itu kan lintas yuridiksi," ucap Syarif.
Termasuk di antaranya, menaikkan kasus yang sedang di tahap penyidikan ke tahap penuntutan. Hal tersebut terungkap saat konferensi pers capaian kinerja 2017 KPK di Auditorium Utama gedung penunjang, Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2017) sore.
Konferensi pers ini dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Sekretaris Jenderal KPK Raden Bimo Gunung Abdul Kadir, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan sejumlah jajaran KPK lainnya.
Agus Rahardjo mengatakan, memang ada beberapa kasus yang sempat tidak ditangani KPK selama dua tahun meski ada perkara yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan terpidananya sudah dieksekusi menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Dalam beberapa perkara tersebut, memang tercantum dalam putusan bahwa perbuatan terpidana dilakukan bersama-sama dengan pihak-pihak lain.
Dia mencontohkan, perkara korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam perkara ini, terpidana 12 tahun penjara mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter Budi Mulya kini sudah di Lapas Sukamiskin. Agus kembali menjanjikan seperti dalam penyampaian laporan kinerja 2016 bahwa kasus Century dan kasus-kasus lain yang belum sempat ditangani meski ada putusan inkracht.
"Yang lain menunggu giliran aja. Kita akan kaji lagi (di 2018). Karena hari ini kita memang disibukkan dengan yang tidak semua bisa kita sentuh. Karena ada prioritas yang didorong penyidik," ujar Agus di Auditorium Utama Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2017)
Berdasarkan putusan tingkat banding yang sudah inkracht, majelis hakim menilai dalam kasus ini negara dirugikan lebih dari Rp7,451 triliun. Majelis juga menuangkan pihak yang bersama-sama Budi Mulya yakni mantan Gubernur BI Boediono, mantan Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjrijah, mantan Deputi Gubernur Muliaman Dharmansyah Hadad, mantan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur (alm) S Budi Rochadi, Robert Tantular, Harmanus H Muslim, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede. Satu majelis hakim lain menilai mantan Ketua KSSK sekaligus mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga dinilai bersamasama melakukan korupsi.
Tiga kasus besar lainnya yakni, perkara korupsi pelaksanaan dan penyelenggaraan ibadah haji, pemanfaatan kuota, dan penggunaan dana haji dengan terpidana 10 tahun mantan Menteri Agama sekaligus mantan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali. Majelis hakim menilai akibat perbuatan Suryadharma bersama-sama pihak lain, negara mengalami kerugian lebih Rp27,283 miliar dan 17.967.405 real Arab Saudi.
Para pihak yang bersama-sama dengan Suryadharma di antaranya, mantan Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PPP yang kini anggota Komisi III DPR Hasrul Azwar, Wakil Ketua Komisi IX DPR 2014-2019 dari Fraksi PPP Ermalena Mhs, dan mantan anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PPP Mukhlisin.
Kemudian, perkara suap pengurusan APBN Kementerian ESDM Kementerian ESDM dengan terpidana almarhum mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, terpidana mantan Menteri ESDM Jero Wacik (divonis 8 tahun ), dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Warono Karno (divonis 7 tahun).
Berikutnya, perkara suap pengurusan tender minyak mentah dan kondesat di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan terpidana mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini (divonis) 7 tahundan Deviardi (swasta, divonis 4 tahun 6 bulan).
Dalam perkara APBN Kementerian ESDM dan tender di SKK Migas banyak pihak di Komisi VII periode 2009-2014 yang disebut menerima uang puluhan miliar dalam putusan para terpidana.
Terakhir, kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999. KPK sempat menetapkan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka. KPK juga pernah mengantungi hasil audit invesitagatif kerugian negara sebelumnya sebesar Rp375 miliar dan nilai kerugian bertambah saat penyidikan menjadi Rp2,5 triliun.
KPK lantas kalah di praperadilan melawan Hadi pada Selasa, 26 Mei 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tahap peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), pada 16 Juni 2016 majelis hakim PK menganulir putusan PN Jaksel. Berdasarkan putusan PK MA Nomor: 50 PK/Pid.Sus/2016, Hadi tetap menjadi tersangka.
Laode Muhamad Syarif menambahkan, memang ada banyak kasus atau perkara yang belum ditindaklanjuti KPK termasuk empat kasus yakni Century, haji, APBN Kementerian ESDM, tender di SKK Migas, hingga kasus pajak BCA yang sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Dia mengatakan, perkara-perkara yang tidak ditangani dalam kurun dua tahun periode pimpinan KPK 2015-2019 tetap akan dievaluasi dan dibahas pada 2018.
"Kita akan evaluasi, kita cek di 2018. Kerjaan hukum itu tidak bisa diburu-burui. Ya kita jadikan prioritas 2018, jangan sampai kelamaan juga," ujar Syarif.
Dia mengakui banyaknya intensitas kasus melalui operasi tangkap tangan (OTT) selama dua tahun belakangan memang menjadi salah satu faktor konsentrasi KPK dalam menangani kasus atau perkara terpecah. Termasuk beberapa kasus lama yang sudah ada putusan inkracht yang tidak ditangan selama dua tahun. Sebagai contoh, pada 2016 KPK melakukan 17 kali OTT dan pada 2017 meningkat menjadi 19 OTT.
"Kalau misalnya OTT itu tidak bisa ditunda, karena waktunya itu sudah beberapa hari harus sudah limpah. Sedangkan yang lain kasus-kasus ekor atau anak kan itu sudah diteliti oleh bagian penindakan dan pengaduan masyarakat," kilahnya.
Mantan Senior Adviser on Justice and Environmental Governance di Partnership for Governance Reform (Kemitraan) ini mengakui kasus-kasus lama yang belum ditangani atau belum selesai termasuk warisan dari pimpinan KPK periode 2011-2015 memang menjadi beban KPK.
Misalnya Century, dugaan korupsi terkait pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004, dan dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 di Pelindo II. Untuk kasus SKL BLBI, tutur Syarif, pada pimpinan periode sekarang berhasil ditingkat ke penyidikan dengan tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung.
"Misalnya (SKL) BLBI yang lama, iya itu menjadi beban kita, yang dulu nggak terselesaikan. Ya alhamdulillah satu sudah terselesaikan pak SAT.
Dan mudah-mudahan kita dapatkan lagi informasi yang lebih baik dari Pak SAT," tegas Syarif.
Untuk kasus tiga QCC Pelindo II, Syarif melanjutkan, saat ini penanganannya sedang berlangsung dengan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Richard Joost Lino. Penyidikan kasus dengan Lino memang sudah berlangsung lebih dua tahun. Syarif mengakui selama kurun 2017 ini KPK belum pernah memeriksa Lino sebagai tersangka.
Meski demikian, Syarif menggariskan, pemeriksaan saksi-saksi untuk tersangka Lino terus bergulir sepanjang 2016 hingga 2017. Ditambah lagi beberapa hari lalu KPK bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pertemuan dan gelar perkara (ekspose) bersama. BPK menyampaikan kerugian negara final sedang dihitung dan segera diselesaikan.
"Kita bekerjasama juga dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," ujarnya.
Dia memaparkan, KPK tidak pernah berpikir atau terintervensi dari sisi politik dalam melanjutkan dan menuntaskan perkara. Syarif menggariskan, langkah tindaklanjut atas sebuah perkara atau kasus termasuk yang masih mangkrak serta sedang dalam tahap penyidikan saat ini memang harus dilihat dengan skala prioritas. Salah satu yang menjadi ukuran adalah besaran nilai kerugian negaranya. Di samping itu, KPK juga melihat efek jera serta cost and benefit-nya.
"Kalau misalnya kerugian negaranya yang besar ya itu kita dahulukan. Tetapi tidak pernah prioritas itu yang berhubungan dengan politik. Tetapi misalnya dia antar pejabat yang tinggi dan rendah, ya harusnya pejabat yang lebih tinggi dulu," paparnya.
Selain itu, khusus kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas juga sedang dipetakan KPK dan menjadi fokus KPK ke depan. Hanya saja, Syarif belum mau menjanjikan mana kasus yang akan lebih dulu ditindaklanjuti dengan misalnya dinaikkan ke penyidikan dengan penetapan tersangka baru serta dilimpahkan tersangka yang ada ke penuntutan.
"Belum disebut target berapa kasusnya. Tapi kami berharap bahwa kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat itu bisa kita kerjakan, bisa selesai," katanya.
Syarif menambahkan, perkara besar yang ditangani KPK di bawah pimpinan KPK sekarang yakni dugaan suap pengadaan pesawat Airbus SAS sebanyak 50 buah dan 11 mesin Rolls Royce Holding plc pada Garuda Indonesia kurun 2005-2014. Kasus ini bagi KPK juga menjadi perhatian dan mendapat pengawasan dari masyarakat.
Di kasus ini, lanjut Syarif, KPK sudah menetapkan dua tersangka. Emirsyah Satar selaku Direktur Utama Garuda Indonesia 2005-2014 ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dari Soetikno Soedarjo selaku Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd yang juga pendiri Mugi Rekso Abadi (MRA) Group sebagai tersangka pemberi.
Sebagaimana pernyataan KPK sebelumnya, nilai suap yang diterima Emirsyah dalam bentuk uang dalam bentuk euro 1,2 juta dan USD180.000 atau senilai setara Rp20 miliar dan berbentuk barang senilai USD2 juta (setara Rp26 miliar) yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
"Kasus Garuda seharusnya tidak akan lama lagi limpah (ke penuntuttan) ya. Kasus Garuda itu kami terus terang masih menunggu perhitungannya di Singapura dan di Inggris. Karena itu kan lintas yuridiksi," ucap Syarif.
(kri)