Tahun Politik dan Netralitas Media
A
A
A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi Informasi DPR RI
DALAM hitungan waktu yang tak lama lagi kita akan meninggalkan tahun 2017 dan menyambut datangnya tahun baru. Biasanya akhir tahun dijadikan sebagai momentum evaluasi untuk memotret perjalanan setahun dalam berbagai peristiwa yang dinamis. Dalam konstelasi politik, kita akan meninggalkan catatan hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta dan memasuki tahun politik yang “panas”, yakni Pilkada 2018 dan pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2019.
Sebagai sebuah catatan renungan, politik tahun 2017 diwarnai dengan kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang begitu “keras”, bukan hanya antarkandidat dan pendukungnya, Anies vs Ahok, tetapi juga menguras energi bangsa karena gaungnya yang begitu luas. Ada banyak faktor yang mendorong “panasnya” Pilkada DKI Jakarta, tetapi faktor yang paling terasa adalah keterlibatan media dalam memanasi suhu politik.
Media mempunyai andil begitu besar dalam mendesain pesan politik melalui media framing sehingga terbentuk sentimen politik yang meluas.
Isu yang berkembang dalam perhelatan Pilkada DKI 2017 adalah keberpihakan media massa. Panasnya politik DKI tak terlepas dari keberpihakan media yang terbelah antara pendukung Anies vs Ahok. Keberpihakan ini terlihat dari konten media yang cenderung mengangkat kandidatnya dan menyudutkan lawan. Juga terlihat dari porsi pemberitaan yang tidak imbang sehingga pertarungan politik Anies vs Ahok bergeser menjadi pertempuran media.
Napoelon Bonaparte pernah berkata, dia lebih takut kepada seorang jurnalis dengan penanya daripada seribu tentara dengan bayonetnya. Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu juga pendapat Stuart Hall, media merupakan sarana paling penting dari kapitalisme Abad XX untuk memelihara hegemoni ideologis dan kepentingan. Media juga menyediakan kerangka berpikir bagi kelompok dominan yang terus-menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tandingan dari pihak-pihak yang dikuasai.
Media juga dapat mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Media memiliki kebijakan redaksional terkait isi peristiwa politik yang ingin disampaikan. Kebijakan ini membuat media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Media memiliki fungsi agenda setting, yaitu media memiliki hak menyiarkan suatu peristiwa atau tidak menyiarkannya untuk menggiring opini publik.
Dalam menghadapi tahun politik 2018 dan 2019, isu keberpihakan media kembali menjadi sorotan. Sorotan ini terkait dengan kekhawatiran mendasar bahwa tahun politik akan rawan dengan pertarungan kepentingan yang dapat menyeret media pada peran yang tidak netral sehingga dapat menciptakan suasana politik yang kondusif. Apakah kebebasan media di Indonesia dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu? Apakah independensi dan netralitas media, berkaca dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta, masih terjamin di tahun politik?
Ancaman Netralitas dan Independensi Media
Tentu pengalaman Pilkada DKI Jakarta harus menjadi refleksi kritis karena media telah menjadi bagian dari pertarungan pilkada yang memecah massa pendukung Ahok dan Anies. Seolah-olah media terbelah ke dalam dua kekuatan politik tersebut, meskipun belum ada penelitian yang menegaskan hal tersebut. Namun, dapat direfleksikan bahwa pada Pilkada DKI 2017 media telah menjadi bagian dari pertarungan pemilihan gubernur DKI.
Menjelang tahun politik yang diperkirakan akan panas, diperlukan idealisme jurnalistik untuk mencerdaskan dan memberdayakan publik. Karena kepentingan publik adalah pegangan dasar dari jurnalisme, independensi dan netralitas menjadi elemen penting dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Independen dalam arti merdeka melaksanakan ideologi jurnalisme, sedangkan netral artinya berimbang, akurat, tak memihak kecuali demi kepentingan publik.
Pada dasarnya, independensi dan netralitas media adalah dua konsep yang tak dapat dipisahkan, namun masing-masing dapat didefinisikan berbeda. Independensi media berarti dalam memproduksi isi media tidak ada tekanan dari pihak lain dan ada kemerdekaan dalam ruang redaksi dalam menghasilkan berita. Sementara netralistas menunjukkan media tidak berpihak dalam menyampaikan berita.
McQuail berpendapat bahwa media yang berfungsi menyebarluaskan informasi kepada publik seharusnya bekerja berdasarkan prinsip kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran, dan kualitas informasi, mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas. Karena itu, baik pemilik maupun pengelola media seharusnya mematuhi prinsip-prinsip tersebut.
Pertanyaannya, mampukah media menegakkan netralitas dan independensi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019? Jawabannya tentu saja tidak. Karena ada tiga faktor yang dapat mengancam netralitas dan independensi media di tahun politik 2018 dan 2019. Pertama, faktor cengkeraman pemilik media. Dalam pendekatan politik ekonomi, kekuatan kelas kapitalis yang menguasai media begitu besar pengaruhnya terhadap netralitas dan independensi media. Kelompok pemilik media akan menggunakan medianya untuk memengaruhi opini publik sekaligus menciptakan citra politik. Dampak dari cengkeraman pemilik media adalah tidak adanya netralitas dan independensi media dalam pemberitaan.
Kedua, faktor pemilik media yang mempunyai afiliasi dengan partai politik dapat memengaruhi kebijakan media sampai kepada isi medianya. Intervensi akan terjadi sampai memasukkan agenda politik mereka ke dalam produk berita. Media akan berbahaya jika dikuasai kepentingan politik karena dijadikan sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Relasi kepemilikan media dengan kekuasaan di tingkat elite menjadikan media rentan dipolitisasi.
Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap media yang tidak netral dan independen dalam pemberitaan politik. Berdasarkan Pasal 36 UU Penyiaran, ada keharusan yang bersifat imperatif agar isi siaran netral dan tidak berpihak. Kenyataannya, keberpihakan media dalam politik begitu kental dan kuat, terutama ketika peranan media begitu besar dalam kehidupan politik.
Tentu saja tiga faktor yang dapat mengancam netralitas dan independensi media harus diatasi karena keberpihakan media dapat mengancam proses demokratisasi. Tahun politik harus disambut dengan suasana politik yang santun dan elok. Maka, di situlah kita harapkan media menjaga netralitasnya di tahun politik 2018 dan 2019 untuk menciptakan tatanan politik yang makin demokratis.
Anggota Komisi Informasi DPR RI
DALAM hitungan waktu yang tak lama lagi kita akan meninggalkan tahun 2017 dan menyambut datangnya tahun baru. Biasanya akhir tahun dijadikan sebagai momentum evaluasi untuk memotret perjalanan setahun dalam berbagai peristiwa yang dinamis. Dalam konstelasi politik, kita akan meninggalkan catatan hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta dan memasuki tahun politik yang “panas”, yakni Pilkada 2018 dan pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2019.
Sebagai sebuah catatan renungan, politik tahun 2017 diwarnai dengan kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang begitu “keras”, bukan hanya antarkandidat dan pendukungnya, Anies vs Ahok, tetapi juga menguras energi bangsa karena gaungnya yang begitu luas. Ada banyak faktor yang mendorong “panasnya” Pilkada DKI Jakarta, tetapi faktor yang paling terasa adalah keterlibatan media dalam memanasi suhu politik.
Media mempunyai andil begitu besar dalam mendesain pesan politik melalui media framing sehingga terbentuk sentimen politik yang meluas.
Isu yang berkembang dalam perhelatan Pilkada DKI 2017 adalah keberpihakan media massa. Panasnya politik DKI tak terlepas dari keberpihakan media yang terbelah antara pendukung Anies vs Ahok. Keberpihakan ini terlihat dari konten media yang cenderung mengangkat kandidatnya dan menyudutkan lawan. Juga terlihat dari porsi pemberitaan yang tidak imbang sehingga pertarungan politik Anies vs Ahok bergeser menjadi pertempuran media.
Napoelon Bonaparte pernah berkata, dia lebih takut kepada seorang jurnalis dengan penanya daripada seribu tentara dengan bayonetnya. Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu juga pendapat Stuart Hall, media merupakan sarana paling penting dari kapitalisme Abad XX untuk memelihara hegemoni ideologis dan kepentingan. Media juga menyediakan kerangka berpikir bagi kelompok dominan yang terus-menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tandingan dari pihak-pihak yang dikuasai.
Media juga dapat mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Media memiliki kebijakan redaksional terkait isi peristiwa politik yang ingin disampaikan. Kebijakan ini membuat media banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Media memiliki fungsi agenda setting, yaitu media memiliki hak menyiarkan suatu peristiwa atau tidak menyiarkannya untuk menggiring opini publik.
Dalam menghadapi tahun politik 2018 dan 2019, isu keberpihakan media kembali menjadi sorotan. Sorotan ini terkait dengan kekhawatiran mendasar bahwa tahun politik akan rawan dengan pertarungan kepentingan yang dapat menyeret media pada peran yang tidak netral sehingga dapat menciptakan suasana politik yang kondusif. Apakah kebebasan media di Indonesia dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu? Apakah independensi dan netralitas media, berkaca dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta, masih terjamin di tahun politik?
Ancaman Netralitas dan Independensi Media
Tentu pengalaman Pilkada DKI Jakarta harus menjadi refleksi kritis karena media telah menjadi bagian dari pertarungan pilkada yang memecah massa pendukung Ahok dan Anies. Seolah-olah media terbelah ke dalam dua kekuatan politik tersebut, meskipun belum ada penelitian yang menegaskan hal tersebut. Namun, dapat direfleksikan bahwa pada Pilkada DKI 2017 media telah menjadi bagian dari pertarungan pemilihan gubernur DKI.
Menjelang tahun politik yang diperkirakan akan panas, diperlukan idealisme jurnalistik untuk mencerdaskan dan memberdayakan publik. Karena kepentingan publik adalah pegangan dasar dari jurnalisme, independensi dan netralitas menjadi elemen penting dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Independen dalam arti merdeka melaksanakan ideologi jurnalisme, sedangkan netral artinya berimbang, akurat, tak memihak kecuali demi kepentingan publik.
Pada dasarnya, independensi dan netralitas media adalah dua konsep yang tak dapat dipisahkan, namun masing-masing dapat didefinisikan berbeda. Independensi media berarti dalam memproduksi isi media tidak ada tekanan dari pihak lain dan ada kemerdekaan dalam ruang redaksi dalam menghasilkan berita. Sementara netralistas menunjukkan media tidak berpihak dalam menyampaikan berita.
McQuail berpendapat bahwa media yang berfungsi menyebarluaskan informasi kepada publik seharusnya bekerja berdasarkan prinsip kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran, dan kualitas informasi, mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas. Karena itu, baik pemilik maupun pengelola media seharusnya mematuhi prinsip-prinsip tersebut.
Pertanyaannya, mampukah media menegakkan netralitas dan independensi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019? Jawabannya tentu saja tidak. Karena ada tiga faktor yang dapat mengancam netralitas dan independensi media di tahun politik 2018 dan 2019. Pertama, faktor cengkeraman pemilik media. Dalam pendekatan politik ekonomi, kekuatan kelas kapitalis yang menguasai media begitu besar pengaruhnya terhadap netralitas dan independensi media. Kelompok pemilik media akan menggunakan medianya untuk memengaruhi opini publik sekaligus menciptakan citra politik. Dampak dari cengkeraman pemilik media adalah tidak adanya netralitas dan independensi media dalam pemberitaan.
Kedua, faktor pemilik media yang mempunyai afiliasi dengan partai politik dapat memengaruhi kebijakan media sampai kepada isi medianya. Intervensi akan terjadi sampai memasukkan agenda politik mereka ke dalam produk berita. Media akan berbahaya jika dikuasai kepentingan politik karena dijadikan sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Relasi kepemilikan media dengan kekuasaan di tingkat elite menjadikan media rentan dipolitisasi.
Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap media yang tidak netral dan independen dalam pemberitaan politik. Berdasarkan Pasal 36 UU Penyiaran, ada keharusan yang bersifat imperatif agar isi siaran netral dan tidak berpihak. Kenyataannya, keberpihakan media dalam politik begitu kental dan kuat, terutama ketika peranan media begitu besar dalam kehidupan politik.
Tentu saja tiga faktor yang dapat mengancam netralitas dan independensi media harus diatasi karena keberpihakan media dapat mengancam proses demokratisasi. Tahun politik harus disambut dengan suasana politik yang santun dan elok. Maka, di situlah kita harapkan media menjaga netralitasnya di tahun politik 2018 dan 2019 untuk menciptakan tatanan politik yang makin demokratis.
(kri)