Setnov dan Masa Depan Peradilan
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
BANYAK yang resah ketika para kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) pada sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), Rabu lalu (20/12), mengajukan eksepsi untuk membela kliennya. Melalui eksepsi mereka mengatakan bahwa dakwaan terhadap Setnov cacat yuridis karena tidak ada bukti ini, tidak ada bukti itu, tidak ada bukti kaitan masalah antara para terdakwa kasus e-KTP sebelumnya dan Setnov. Dipertanyakan juga tendensi KPK yang menghilangkan beberapa nama lain yang sebelumnya telah disebut-sebut ikut menerima bancakan uang korupsi e-KTP.
Banyak warga masyarakat yang resah atas eksepsi itu karena mereka khawatir, jangan-jangan dakwaan kasus ini nantinya dinyatakan batal dan ditutup karena tidak sesuai dengan hukum seperti yang dikemukakan oleh tim kuasa hukum Setnov. Jangan-jangan Setnov lepas lagi.
Tapi banyak yang yakin, termasuk saya, bahwa eksepsi seperti itu hanyalah ritual kepengacaraan yang tidak akan memengaruhi kelanjutan kasus ini sampai vonis. Semua kuasa hukum pada awal-awal persidangan selalu membuat eksepsi seperti itu, tetapi untuk semua kasus di KPK eksepsi-eksepsi terdakwa selalu kandas.
Dakwaan jaksa oleh kuasa hukum selalu dituding cacat yuridis karena kurang ini, kelebihan itu, tidak sesuai dengan anu, alat buktinya tidak sah, dan sebagainya, dan semacamnya. Kalaupun dakwaan jaksa sudah benar bisa dicari juga kesalahan pada tanda-tanda baca, misalnya, kok tidak ada koma di antara kalimat A dan B, kok tidak memakai titik-koma saja, kalimatnya tidak jelas, dakwaan kabur, dan seterusnya, dan selanjutnya.
Pokoknya, ritual kuasa hukum ya harus menyalahkan dakwaan dulu. Ritual itu hampir tidak pernah dilewatkan oleh kuasa hukum mana pun karena hal itu adalah bagian dari upaya membangun kepercayaan klien kepadanya dan membuat klien yang keruh menjadi tersenyum.
Pada sidang kemarin kita lihat Setnov juga sudah mulai tersenyum meski seminggu sebelumnya (sidang pertama tanggal 14 Desember 2017) kita semua teramat sangat khawatir melihat dia sakit, tatapannya kosong, dan tidak bisa mendengar pertanyaan hakim. Saat itu Setnov tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim karena (sepertinya) tidak bisa mendengar, tetapi ketika ditanya oleh kuasa hukumnya bisa menjawab dengan cukup mengalir.
Pada sidang pekan ini Setnov sudah tersenyum tersebab kuasa hukumnya membuat eksepsi yang manis dan gurih bagi dirinya. Padahal itu hanya ritual kepengacaraan yang selama ini selalu mudah dipatahkan oleh jaksa dan selalu gagal untuk meyakinkan pengadilan.
Jadi bagi mereka yang resah karena eksepsi yang disampaikan dengan begitu ekspresif oleh kuasa hukum Setnov itu, tak perlulah melanjutkan keresahan. Insyaallah eksepsi itu akan ditolak oleh majelis hakim dan sidang akan berlanjut sampai vonis. Selama ini kan selalu begitu.
Tak ada eksepsi yang dibeli oleh hakim di pengadilan tipikor. Tak pernah itu terjadi. Jadi 99% eksepsi para kuasa hukum itu akan menguap mulai sidang-sidang minggu yang akan datang. Sidang, insyaallah, berlanjut dan masuk ke pembuktian untuk akhirnya vonis.
Yang pantas dirisaukan dari kasus penersangkaan yang kemudian menjadi pendakwaan terhadap Setnov adalah munculnya modus baru dalam menghindar dari penindakan hukum. Meskipun, mungkin, Setnov benar-benar sakit saat dijadikan tersangka, rangkaian peristiwa yang menyertainya menimbulkan kecurigaan bahwa itu semua hanya kepura-puraan.
Kalau pengadilan tidak berlaku tegas dan keras atas kisah perlawanan hukum Setnov ini, masa depan dunia peradilan kita akan rusak. Mengapa?
Pada saat pertama kali dijadikan tersangka dalam kasus ini Setnov jatuh sakit dan mondok di rumah sakit elite dengan kendali mesin dan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya. Menurut pihak rumah sakit, Setnov sakit sehingga KPK tidak bisa memeriksanya. Tapi tak lama setelah dinyatakan menang di pra-peradilan, Setnov menjadi sembuh dan bisa masuk kantor.
Setelah akan ditahan karena dijadikan tersangka lagi untuk kedua kalinya tiba-tiba Setnov hilang dari radar KPK dan tahu-tahu diberitakan mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga harus mondok di Rumah Sakit Permata Hijau. Menurut pihak rumah sakit, kali ini pun Setnov sakit serius sehingga KPK tidak bisa memeriksanya.
Untungnya KPK terus berjuang secara militan. Setnov dinyatakan ditahan dan karenanya perawatan kesehatannya dilakukan di bawah tanggung jawab KPK dengan menunjuk tim dokter dari rumah sakit terbaik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setnov dikeluarkan, atas nama hukum, dari RS Permata Hijau.
Ternyata berdasar pemeriksaan dokter lintas keahlian di RSCM, Setnov dinyatakan cukup sehat dan bisa dibawa ke rumah tahanan untuk kemudian disidangkan. Itu pun belum menyelesaikan problem. Pada sidang pertama Setnov terlihat sakit parah, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa berbicara lancar.
Tapi kalau berbicara dengan penasihat hukumnya cukup lancar. Orang pun, di dunia medsos, banyak yang mengolok-olok. Untungnya majelis hakim yang dipimpin oleh Kusno cukup cerdik, cerdas, dan tangkas. Sidang diteruskan, dakwaan dibacakan, Setnov jadi tersangka, pra-peradilan yang diajukannya menjadi gugur.
Meski masyarakat kemudian menjadi lega karena pendakwaan di pengadilan bisa berjalan, peristiwa-peristiwa dramatik tentang peradilan terhadap Setnov ini menyimpan bibit buruk bagi masa depan peradilan di Indonesia. Peristiwa-peristiwa dramatik itu, nantinya, bisa menginspirasi terduga, tersangka, dan terdakwa tindak pidana untuk berpura-pura sakit.
Kalau gagal dilakukan pada saat jadi tersangka, bisa dilakukan lagi pada saat disidangkan sebagai terdakwa. Untungnya, dalam kasus Setnov ini, jaksa KPK dan hakim PN Jakarta Selatan cukup tegas, objektif, dan independen. Kalau tidak, hal ini akan menjadi preseden buruk.
Kekhawatiran tentang ini tentu masih menghantui kita, kalau-kalau besok terjadi lagi. Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Polri, kejaksaan, dan KPK harus memeriksa semua yang terkait dengan kasus dramatis tersebut.
Pimpinan rumah sakit, dokter yang menangani, penasihat hukum, dan semua yang terlibat harus ditindak jika terbukti ada ketidakberesan dalam kasus ini. Kalau tidak, masa depan dunia peradilan kitalah taruhannya. Bisa celakalah kita.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
BANYAK yang resah ketika para kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) pada sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), Rabu lalu (20/12), mengajukan eksepsi untuk membela kliennya. Melalui eksepsi mereka mengatakan bahwa dakwaan terhadap Setnov cacat yuridis karena tidak ada bukti ini, tidak ada bukti itu, tidak ada bukti kaitan masalah antara para terdakwa kasus e-KTP sebelumnya dan Setnov. Dipertanyakan juga tendensi KPK yang menghilangkan beberapa nama lain yang sebelumnya telah disebut-sebut ikut menerima bancakan uang korupsi e-KTP.
Banyak warga masyarakat yang resah atas eksepsi itu karena mereka khawatir, jangan-jangan dakwaan kasus ini nantinya dinyatakan batal dan ditutup karena tidak sesuai dengan hukum seperti yang dikemukakan oleh tim kuasa hukum Setnov. Jangan-jangan Setnov lepas lagi.
Tapi banyak yang yakin, termasuk saya, bahwa eksepsi seperti itu hanyalah ritual kepengacaraan yang tidak akan memengaruhi kelanjutan kasus ini sampai vonis. Semua kuasa hukum pada awal-awal persidangan selalu membuat eksepsi seperti itu, tetapi untuk semua kasus di KPK eksepsi-eksepsi terdakwa selalu kandas.
Dakwaan jaksa oleh kuasa hukum selalu dituding cacat yuridis karena kurang ini, kelebihan itu, tidak sesuai dengan anu, alat buktinya tidak sah, dan sebagainya, dan semacamnya. Kalaupun dakwaan jaksa sudah benar bisa dicari juga kesalahan pada tanda-tanda baca, misalnya, kok tidak ada koma di antara kalimat A dan B, kok tidak memakai titik-koma saja, kalimatnya tidak jelas, dakwaan kabur, dan seterusnya, dan selanjutnya.
Pokoknya, ritual kuasa hukum ya harus menyalahkan dakwaan dulu. Ritual itu hampir tidak pernah dilewatkan oleh kuasa hukum mana pun karena hal itu adalah bagian dari upaya membangun kepercayaan klien kepadanya dan membuat klien yang keruh menjadi tersenyum.
Pada sidang kemarin kita lihat Setnov juga sudah mulai tersenyum meski seminggu sebelumnya (sidang pertama tanggal 14 Desember 2017) kita semua teramat sangat khawatir melihat dia sakit, tatapannya kosong, dan tidak bisa mendengar pertanyaan hakim. Saat itu Setnov tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim karena (sepertinya) tidak bisa mendengar, tetapi ketika ditanya oleh kuasa hukumnya bisa menjawab dengan cukup mengalir.
Pada sidang pekan ini Setnov sudah tersenyum tersebab kuasa hukumnya membuat eksepsi yang manis dan gurih bagi dirinya. Padahal itu hanya ritual kepengacaraan yang selama ini selalu mudah dipatahkan oleh jaksa dan selalu gagal untuk meyakinkan pengadilan.
Jadi bagi mereka yang resah karena eksepsi yang disampaikan dengan begitu ekspresif oleh kuasa hukum Setnov itu, tak perlulah melanjutkan keresahan. Insyaallah eksepsi itu akan ditolak oleh majelis hakim dan sidang akan berlanjut sampai vonis. Selama ini kan selalu begitu.
Tak ada eksepsi yang dibeli oleh hakim di pengadilan tipikor. Tak pernah itu terjadi. Jadi 99% eksepsi para kuasa hukum itu akan menguap mulai sidang-sidang minggu yang akan datang. Sidang, insyaallah, berlanjut dan masuk ke pembuktian untuk akhirnya vonis.
Yang pantas dirisaukan dari kasus penersangkaan yang kemudian menjadi pendakwaan terhadap Setnov adalah munculnya modus baru dalam menghindar dari penindakan hukum. Meskipun, mungkin, Setnov benar-benar sakit saat dijadikan tersangka, rangkaian peristiwa yang menyertainya menimbulkan kecurigaan bahwa itu semua hanya kepura-puraan.
Kalau pengadilan tidak berlaku tegas dan keras atas kisah perlawanan hukum Setnov ini, masa depan dunia peradilan kita akan rusak. Mengapa?
Pada saat pertama kali dijadikan tersangka dalam kasus ini Setnov jatuh sakit dan mondok di rumah sakit elite dengan kendali mesin dan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya. Menurut pihak rumah sakit, Setnov sakit sehingga KPK tidak bisa memeriksanya. Tapi tak lama setelah dinyatakan menang di pra-peradilan, Setnov menjadi sembuh dan bisa masuk kantor.
Setelah akan ditahan karena dijadikan tersangka lagi untuk kedua kalinya tiba-tiba Setnov hilang dari radar KPK dan tahu-tahu diberitakan mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga harus mondok di Rumah Sakit Permata Hijau. Menurut pihak rumah sakit, kali ini pun Setnov sakit serius sehingga KPK tidak bisa memeriksanya.
Untungnya KPK terus berjuang secara militan. Setnov dinyatakan ditahan dan karenanya perawatan kesehatannya dilakukan di bawah tanggung jawab KPK dengan menunjuk tim dokter dari rumah sakit terbaik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setnov dikeluarkan, atas nama hukum, dari RS Permata Hijau.
Ternyata berdasar pemeriksaan dokter lintas keahlian di RSCM, Setnov dinyatakan cukup sehat dan bisa dibawa ke rumah tahanan untuk kemudian disidangkan. Itu pun belum menyelesaikan problem. Pada sidang pertama Setnov terlihat sakit parah, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa berbicara lancar.
Tapi kalau berbicara dengan penasihat hukumnya cukup lancar. Orang pun, di dunia medsos, banyak yang mengolok-olok. Untungnya majelis hakim yang dipimpin oleh Kusno cukup cerdik, cerdas, dan tangkas. Sidang diteruskan, dakwaan dibacakan, Setnov jadi tersangka, pra-peradilan yang diajukannya menjadi gugur.
Meski masyarakat kemudian menjadi lega karena pendakwaan di pengadilan bisa berjalan, peristiwa-peristiwa dramatik tentang peradilan terhadap Setnov ini menyimpan bibit buruk bagi masa depan peradilan di Indonesia. Peristiwa-peristiwa dramatik itu, nantinya, bisa menginspirasi terduga, tersangka, dan terdakwa tindak pidana untuk berpura-pura sakit.
Kalau gagal dilakukan pada saat jadi tersangka, bisa dilakukan lagi pada saat disidangkan sebagai terdakwa. Untungnya, dalam kasus Setnov ini, jaksa KPK dan hakim PN Jakarta Selatan cukup tegas, objektif, dan independen. Kalau tidak, hal ini akan menjadi preseden buruk.
Kekhawatiran tentang ini tentu masih menghantui kita, kalau-kalau besok terjadi lagi. Oleh sebab itu Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Polri, kejaksaan, dan KPK harus memeriksa semua yang terkait dengan kasus dramatis tersebut.
Pimpinan rumah sakit, dokter yang menangani, penasihat hukum, dan semua yang terlibat harus ditindak jika terbukti ada ketidakberesan dalam kasus ini. Kalau tidak, masa depan dunia peradilan kitalah taruhannya. Bisa celakalah kita.
(poe)