Berteman dengan Fintech
A
A
A
Roberto Akyuwen
Analis Eksekutif Senior pada Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK
PENGGUNAAN teknologi digital telah memasuki sektor jasa keuangan global dengan intensitas yang semakin tinggi. Bank merupakan institusi keuangan yang paling terpengaruh oleh perkembangan teknologi digital dibandingkan asuransi, lembaga pembiayaan, dana pensiun dan modal ventura, serta pasar modal. Setelah sekian lama menjalankan bisnis dengan membuka banyak kantor cabang dan melakukan layanan tatap muka, bank mulai menggunakan auto teller machine (ATM), mobile banking, dan internet banking yang membantu mereka menghadapi tantangan pasar untuk melayani lebih banyak nasabah dengan biaya lebih murah.
Tantangan yang dihadapi perbankan semakin besar dalam satu dekade terakhir dengan munculnya perusahaan teknologi keuangan atau FinTech. Keberadaan FinTech membawa perubahan fundamental, karena kemampuannya untuk melayani penduduk yang unbanked, seperti penduduk di wilayah terpencil, kaum wanita, dan penduduk berpendapatan rendah atau miskin. Philipe Gelis, chief executive officer (CEO) Kantox dalam Gelis dan Woods (2014) menyatakan “FinTech is changing the finance sector just like the internet changed the written press and the music industries. In what is a stagnant sector monopolized by banks, finance is ripe for innovation and FinTech is unquestionably the catalyst needed for change“.
Telepon seluler dan internet telah menjadi bagian dari gaya hidup penduduk di seantero dunia dan mengubah cara nasabah mengakses produk dan layanan keuangan. Sektor keuangan memang telah melakukan banyak perubahan, namun penetrasi aplikasi berbasis teknologi tetap saja memberikan pengaruh signifikan. He dkk (2017) mengemukakan “A new wave of technological innovations, often called ‘FinTech’, is accelerating change in the financial sector“. FinTech dapat melakukannya dengan mengungkapkan data mengenai individu dan perusahaan, kemajuan intelegensi artifisial, kekuatan perhitungan, kriptografi, dan jangkauan internet.
Menurut PwC (2016), “FinTech is a dynamic segment at the intersection of the financial services and technology sectors where technology-focused start-ups and new market entrants innovate the products and services currently provided by the traditional financial services industry”. Perusahaan-perusahaan FinTech dengan platformnya menuai pendapatan yang berlipat dua, yaitu dari USD5,6 miliar pada 2014 menjadi USD12,2 miliar pada 2015 dan bisa meningkat lagi pada tahun-tahun selanjutnya. Pelaku FinTech dengan teknologi terkini dan strategi pemasaran yang unik telah mengubah lanskap persaingan jasa keuangan.
Definisi FinTech lainnya diutarakan Gelis dan Woods (2014), yaitu “FinTech is the term given to financial service firms whose product or service is built upon technology, often resulting in highly innovative, pioneering services”. Dalam pandangan Zavolokina, Dolata, dan Schwabe (2016), meskipun FinTech telah menjadi bahan debat publik, pengertiannya masih bersifat ambigu bagi banyak orang. Ketidakjelasan ini terjadi di kalangan para ahli, nasabah, dan pengamat, karena perkembangan FinTech yang sangat cepat.
FinTech berada di dalam suatu ekosistem perekonomian digital yang mencakup pembayaran, pembiayaan, perbankan digital, asuransi digital, dan kegiatan pendukung. Loan-based crowdfunding atau peer to peer lending (P2P lending) merupakan kegiatan yang paling berkembang di antara kelima aktivitas tersebut. CGI (2017) menuliskan P2P lending sebagai “Personal or business borrowing from individuals or a group of investors rather than a bank, facilitated by an online service that matches borrowers with lenders”.
Hampir seluruh artikel mengenai FinTech menekankan pentingnya perhatian pemerintah dan regulator terhadap perkembangan FinTech. Mueller (2017) menyatakan bahwa regulator seyogianya menerbitkan aturan yang mampu beradaptasi dengan kecepatan inovasi melalui pendekatan regulatory sandbox. Mueller mencatat 14 model sandbox di dunia yang membawa beraneka ragam komplikasi, termasuk di Indonesia, dengan lebih dari separuhnya telah dijalankan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan regulasi khusus untuk menata P2P lending di Indonesia, yaitu Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Definisi P2P lending di dalam regulasi ini adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Menurut Hendrikus Passagi, direktur pengaturan, perizinan dan pengawasan FinTech OJK, praktik P2P lending sejalan dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu gotong royong, sehingga berpotensi sangat besar untuk berkembang di kemudian hari. Passagi memprediksi pengguna P2P lending akan melampaui jumlah investor di pasar modal dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Memang, para pelaku FinTech saat ini belum mampu menjadi pemain yang dominan di pasar keuangan, karena kebanyakan masih berskala kecil. Namun, tujuan yang ingin dicapai FinTech adalah mengalahkan penguasa pasar keuangan yang ada. FinTech belum mampu mengganggu lanskap kompetisi di pasar industri keuangan, namun telah meletakkan dasar bagi gangguan di masa mendatang. Seorang eksekutif senior dari suatu bank menyatakan bahwa “We thought we knew our customers, but FinTechs really know our customers” (PwC, 2016).
PwC Global FinTech Survey 2016 menunjukkan bahwa consumer banking serta fund transfers and payments merupakan sektor-sektor yang paling terganggu oleh FinTech pada 2020, diikuti investment and wealth management serta SME banking. Asuransi pun tidak luput dari pengaruh kehadiran FinTech. Bukan hal yang mustahil bahwa jumlah perusahaan jasa keuangan tradisional akan menyusut dalam beberapa tahun ke depan. FinTech di mata nasabah adalah pendekatan layanan keuangan yang tidak mampu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan tradisional.
Hasil survei PwC (2017) mengungkapkan lebih dari 80% lembaga keuangan di seluruh dunia percaya bisnis mereka sedang berada pada risiko yang tinggi dengan kehadiran FinTech. Kehilangan bisnis yang diambil oleh para inovator dimulai dari sektor pembayaran, kemudian menyusul transfer dana, dan selanjutnya keuangan pribadi. Pertumbuhan penerimaan perusahaan FinTech yang berkisar 24% per tahun sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku lainnya dalam industri jasa keuangan.
Perkembangan jumlah perusahaan FinTech di Indonesia cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun belum seluruhnya terdaftar atau memperoleh izin dari OJK. Data Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan FinTech OJK menunjukkan hingga 3 November 2017 terdapat 25 perusahaan FinTech yang telah terdaftar atau berizin dari OJK. Jumlah ini setara 29,41% dari seluruh perusahaan FinTech yang terdata (85 perusahaan). Perusahaan FinTech lainnya yang sedang dalam proses pendaftaran sebanyak 33 perusahaan atau 38,82%, sedangkan 27 perusahaan atau 31,76% telah menyatakan minat untuk mendaftar.
Perkembangan perusahaan FinTech membuka ruang bagi perbaikan akses keuangan bagi penduduk Indonesia, namun sekaligus meningkatkan persaingan. Dari segi kemampuan untuk menjangkau nasabah, perusahaan FinTech akan kesulitan untuk melayani para nasabah yang mendiami kawasan yang jauh dari Pulau Jawa, antara lain disebabkan keterbatasan dalam melakukan know your customer (KYC).
Dalam konteks ini, kerja sama dapat dilakukan dengan lembaga keuangan mikro (LKM), bank perkreditan rakyat (BPR), atau bank pembangunan daerah (BPD). Dalam pandangan Pamitra Wineka, founder Tanihub dan Tanifund, perkembangan FinTech di Indonesia cukup cepat walaupun belum seinovatif di Amerika Serikat. Penyebabnya adalah masih banyak regulasi di Indonesia yang belum mendukung, seperti digital signature dan online cash loan. Bisnis bank seharusnya dapat bertumbuh pesat jika mereka lebih berani dan diperbolehkan oleh regulasi untuk bekerja sama dengan perusahaan P2P lending.
Pendapat Eka sejalan dengan Hendrikus Passagi, direktur pengaturan, perizinan dan pengawasan FinTech OJK. Menurutnya, semua mekanisme P2P lending seharusnya berada dalam sistem perbankan nasional sehingga aset perbankan akan meningkat tajam. Bank pun akan semakin kompetitif dan mampu bertumbuh dengan pesat. Hanya perbankan yang “malas berinovasi” akan tertinggal dan menjadi korban dari perkembangan teknologi digital. Kemitraan dengan inovator memungkinkan bank mengembangkan bisnis mereka dengan mendatangkan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi di pasar. Sebaliknya, perusahaan FinTech juga memperoleh manfaat dari kerja sama yang dibangun, karena membutuhkan akses terhadap data dalam jumlah besar yang dimiliki oleh perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Segmen FinTech di beberapa negara telah mulai bergeser dari pendekatan business to clients (B2C) menjadi business to business (b2b).
Analis Eksekutif Senior pada Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK
PENGGUNAAN teknologi digital telah memasuki sektor jasa keuangan global dengan intensitas yang semakin tinggi. Bank merupakan institusi keuangan yang paling terpengaruh oleh perkembangan teknologi digital dibandingkan asuransi, lembaga pembiayaan, dana pensiun dan modal ventura, serta pasar modal. Setelah sekian lama menjalankan bisnis dengan membuka banyak kantor cabang dan melakukan layanan tatap muka, bank mulai menggunakan auto teller machine (ATM), mobile banking, dan internet banking yang membantu mereka menghadapi tantangan pasar untuk melayani lebih banyak nasabah dengan biaya lebih murah.
Tantangan yang dihadapi perbankan semakin besar dalam satu dekade terakhir dengan munculnya perusahaan teknologi keuangan atau FinTech. Keberadaan FinTech membawa perubahan fundamental, karena kemampuannya untuk melayani penduduk yang unbanked, seperti penduduk di wilayah terpencil, kaum wanita, dan penduduk berpendapatan rendah atau miskin. Philipe Gelis, chief executive officer (CEO) Kantox dalam Gelis dan Woods (2014) menyatakan “FinTech is changing the finance sector just like the internet changed the written press and the music industries. In what is a stagnant sector monopolized by banks, finance is ripe for innovation and FinTech is unquestionably the catalyst needed for change“.
Telepon seluler dan internet telah menjadi bagian dari gaya hidup penduduk di seantero dunia dan mengubah cara nasabah mengakses produk dan layanan keuangan. Sektor keuangan memang telah melakukan banyak perubahan, namun penetrasi aplikasi berbasis teknologi tetap saja memberikan pengaruh signifikan. He dkk (2017) mengemukakan “A new wave of technological innovations, often called ‘FinTech’, is accelerating change in the financial sector“. FinTech dapat melakukannya dengan mengungkapkan data mengenai individu dan perusahaan, kemajuan intelegensi artifisial, kekuatan perhitungan, kriptografi, dan jangkauan internet.
Menurut PwC (2016), “FinTech is a dynamic segment at the intersection of the financial services and technology sectors where technology-focused start-ups and new market entrants innovate the products and services currently provided by the traditional financial services industry”. Perusahaan-perusahaan FinTech dengan platformnya menuai pendapatan yang berlipat dua, yaitu dari USD5,6 miliar pada 2014 menjadi USD12,2 miliar pada 2015 dan bisa meningkat lagi pada tahun-tahun selanjutnya. Pelaku FinTech dengan teknologi terkini dan strategi pemasaran yang unik telah mengubah lanskap persaingan jasa keuangan.
Definisi FinTech lainnya diutarakan Gelis dan Woods (2014), yaitu “FinTech is the term given to financial service firms whose product or service is built upon technology, often resulting in highly innovative, pioneering services”. Dalam pandangan Zavolokina, Dolata, dan Schwabe (2016), meskipun FinTech telah menjadi bahan debat publik, pengertiannya masih bersifat ambigu bagi banyak orang. Ketidakjelasan ini terjadi di kalangan para ahli, nasabah, dan pengamat, karena perkembangan FinTech yang sangat cepat.
FinTech berada di dalam suatu ekosistem perekonomian digital yang mencakup pembayaran, pembiayaan, perbankan digital, asuransi digital, dan kegiatan pendukung. Loan-based crowdfunding atau peer to peer lending (P2P lending) merupakan kegiatan yang paling berkembang di antara kelima aktivitas tersebut. CGI (2017) menuliskan P2P lending sebagai “Personal or business borrowing from individuals or a group of investors rather than a bank, facilitated by an online service that matches borrowers with lenders”.
Hampir seluruh artikel mengenai FinTech menekankan pentingnya perhatian pemerintah dan regulator terhadap perkembangan FinTech. Mueller (2017) menyatakan bahwa regulator seyogianya menerbitkan aturan yang mampu beradaptasi dengan kecepatan inovasi melalui pendekatan regulatory sandbox. Mueller mencatat 14 model sandbox di dunia yang membawa beraneka ragam komplikasi, termasuk di Indonesia, dengan lebih dari separuhnya telah dijalankan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan regulasi khusus untuk menata P2P lending di Indonesia, yaitu Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Definisi P2P lending di dalam regulasi ini adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Menurut Hendrikus Passagi, direktur pengaturan, perizinan dan pengawasan FinTech OJK, praktik P2P lending sejalan dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu gotong royong, sehingga berpotensi sangat besar untuk berkembang di kemudian hari. Passagi memprediksi pengguna P2P lending akan melampaui jumlah investor di pasar modal dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Memang, para pelaku FinTech saat ini belum mampu menjadi pemain yang dominan di pasar keuangan, karena kebanyakan masih berskala kecil. Namun, tujuan yang ingin dicapai FinTech adalah mengalahkan penguasa pasar keuangan yang ada. FinTech belum mampu mengganggu lanskap kompetisi di pasar industri keuangan, namun telah meletakkan dasar bagi gangguan di masa mendatang. Seorang eksekutif senior dari suatu bank menyatakan bahwa “We thought we knew our customers, but FinTechs really know our customers” (PwC, 2016).
PwC Global FinTech Survey 2016 menunjukkan bahwa consumer banking serta fund transfers and payments merupakan sektor-sektor yang paling terganggu oleh FinTech pada 2020, diikuti investment and wealth management serta SME banking. Asuransi pun tidak luput dari pengaruh kehadiran FinTech. Bukan hal yang mustahil bahwa jumlah perusahaan jasa keuangan tradisional akan menyusut dalam beberapa tahun ke depan. FinTech di mata nasabah adalah pendekatan layanan keuangan yang tidak mampu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan tradisional.
Hasil survei PwC (2017) mengungkapkan lebih dari 80% lembaga keuangan di seluruh dunia percaya bisnis mereka sedang berada pada risiko yang tinggi dengan kehadiran FinTech. Kehilangan bisnis yang diambil oleh para inovator dimulai dari sektor pembayaran, kemudian menyusul transfer dana, dan selanjutnya keuangan pribadi. Pertumbuhan penerimaan perusahaan FinTech yang berkisar 24% per tahun sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku lainnya dalam industri jasa keuangan.
Perkembangan jumlah perusahaan FinTech di Indonesia cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun belum seluruhnya terdaftar atau memperoleh izin dari OJK. Data Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan FinTech OJK menunjukkan hingga 3 November 2017 terdapat 25 perusahaan FinTech yang telah terdaftar atau berizin dari OJK. Jumlah ini setara 29,41% dari seluruh perusahaan FinTech yang terdata (85 perusahaan). Perusahaan FinTech lainnya yang sedang dalam proses pendaftaran sebanyak 33 perusahaan atau 38,82%, sedangkan 27 perusahaan atau 31,76% telah menyatakan minat untuk mendaftar.
Perkembangan perusahaan FinTech membuka ruang bagi perbaikan akses keuangan bagi penduduk Indonesia, namun sekaligus meningkatkan persaingan. Dari segi kemampuan untuk menjangkau nasabah, perusahaan FinTech akan kesulitan untuk melayani para nasabah yang mendiami kawasan yang jauh dari Pulau Jawa, antara lain disebabkan keterbatasan dalam melakukan know your customer (KYC).
Dalam konteks ini, kerja sama dapat dilakukan dengan lembaga keuangan mikro (LKM), bank perkreditan rakyat (BPR), atau bank pembangunan daerah (BPD). Dalam pandangan Pamitra Wineka, founder Tanihub dan Tanifund, perkembangan FinTech di Indonesia cukup cepat walaupun belum seinovatif di Amerika Serikat. Penyebabnya adalah masih banyak regulasi di Indonesia yang belum mendukung, seperti digital signature dan online cash loan. Bisnis bank seharusnya dapat bertumbuh pesat jika mereka lebih berani dan diperbolehkan oleh regulasi untuk bekerja sama dengan perusahaan P2P lending.
Pendapat Eka sejalan dengan Hendrikus Passagi, direktur pengaturan, perizinan dan pengawasan FinTech OJK. Menurutnya, semua mekanisme P2P lending seharusnya berada dalam sistem perbankan nasional sehingga aset perbankan akan meningkat tajam. Bank pun akan semakin kompetitif dan mampu bertumbuh dengan pesat. Hanya perbankan yang “malas berinovasi” akan tertinggal dan menjadi korban dari perkembangan teknologi digital. Kemitraan dengan inovator memungkinkan bank mengembangkan bisnis mereka dengan mendatangkan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi di pasar. Sebaliknya, perusahaan FinTech juga memperoleh manfaat dari kerja sama yang dibangun, karena membutuhkan akses terhadap data dalam jumlah besar yang dimiliki oleh perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Segmen FinTech di beberapa negara telah mulai bergeser dari pendekatan business to clients (B2C) menjadi business to business (b2b).
(mhd)