Berteman dengan Fintech

Kamis, 14 Desember 2017 - 08:22 WIB
Berteman dengan Fintech
Berteman dengan Fintech
A A A
Roberto Akyuwen
Analis Eksekutif Senior pada Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK

PENGGUNAAN teknologi digital telah memasuki sektor jasa keuangan global dengan intensitas yang semakin tinggi. Bank merupa­kan institusi keuangan yang paling terpengaruh oleh per­kembangan teknologi digital dibandingkan asuransi, lem­baga pembiayaan, dana pensiun dan modal ventura, serta pasar modal. Setelah sekian lama men­jalankan bisnis dengan mem­buka banyak kantor cabang dan melakukan layanan tatap muka, bank mulai meng­gunakan auto teller machine (ATM), mobile banking, dan internet banking yang mem­bantu mereka meng­hadapi tan­tangan pasar untuk melayani lebih banyak nasabah dengan biaya lebih murah.

Tantangan yang dihadapi perbankan semakin besar dalam satu dekade terakhir dengan munculnya perusahaan teknologi keuangan atau FinTech. Keberadaan FinTech membawa perubahan funda­mental, karena kemam­pu­an­nya untuk melayani penduduk yang unbanked, seperti pen­duduk di wilayah terpencil, kaum wanita, dan penduduk ber­pendapatan rendah atau miskin. Philipe Gelis, chief executive officer (CEO) Kantox dalam Gelis dan Woods (2014) menyatakan “FinTech is changing the finance sector just like the internet changed the written press and the music industries. In what is a stagnant sector monopolized by banks, finance is ripe for innovation and FinTech is unquestionably the catalyst needed for change“.

Telepon seluler dan internet telah menjadi bagian dari gaya hidup penduduk di seantero dunia dan mengubah cara nasa­bah mengakses produk dan la­yan­an keuangan. Sektor ke­uang­an memang telah melaku­kan banyak perubahan, namun penetrasi aplikasi berbasis tek­nologi tetap saja memberikan pengaruh signifikan. He dkk (2017) mengemukakan “A new wave of technological innovations, often called ‘FinTech’, is accelerating change in the financial sector“. FinTech dapat melakukannya dengan mengungkapkan data mengenai individu dan per­usahaan, kemajuan intelegensi artifisial, kekuatan per­hitung­an, kriptografi, dan jangkauan internet.

Menurut PwC (2016), “FinTech is a dynamic segment at the intersection of the financial services and technology sectors where technology-focused start-ups and new market entrants innovate the products and services currently provided by the traditional financial services industry”. Perusahaan-per­usa­ha­an FinTech dengan platform­nya menuai pendapatan yang berlipat dua, yaitu dari USD5,6 miliar pada 2014 menjadi USD12,2 miliar pada 2015 dan bisa meningkat lagi pada tahun-tahun selanjutnya. Pelaku Fin­Tech dengan teknologi terkini dan strategi pemasaran yang unik telah mengubah lanskap persaingan jasa keuangan.

Definisi FinTech lainnya diutarakan Gelis dan Woods (2014), yaitu “FinTech is the term given to financial service firms whose product or service is built upon technology, often resulting in highly innovative, pioneering services”. Dalam pandangan Zavolokina, Dolata, dan Schwabe (2016), meskipun FinTech telah menjadi bahan debat publik, pengertiannya masih bersifat ambigu bagi banyak orang. Ke­tidak­j­elasan ini terjadi di kalang­an para ahli, nasabah, dan peng­amat, karena perkembangan FinTech yang sangat cepat.

FinTech berada di dalam suatu ekosistem perekonomian digital yang mencakup pem­bayaran, pembiayaan, per­bank­an digital, asuransi digital, dan kegiatan pendukung. Loan-based crowdfunding atau peer to peer lending (P2P lending) me­rupakan kegiatan yang paling berkembang di antara kelima aktivitas tersebut. CGI (2017) menuliskan P2P lending sebagai “Personal or business borrowing from individuals or a group of investors rather than a bank, facilitated by an online service that matches borrowers with lenders”.

Hampir seluruh artikel me­ngenai FinTech menekankan pentingnya perhatian peme­rintah dan regulator terhadap perkembangan FinTech. Mueller (2017) menyatakan bahwa regu­lator seyogianya me­nerbitkan aturan yang mam­pu beradaptasi dengan ke­cepatan inovasi me­lalui pen­dekatan regulatory sand­box. Mueller mencatat 14 model sandbox di dunia yang mem­bawa beraneka ragam kompli­kasi, termasuk di Indonesia, dengan lebih dari separuhnya telah di­jalankan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan regulasi khusus untuk menata P2P lending di Indonesia, yaitu Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Definisi P2P lending di dalam regulasi ini adalah penye­lenggaraan layan­an jasa ke­uang­an untuk mem­pertemukan pem­beri pinjaman dengan penerima pinjaman da­lam rangka melaku­kan per­janjian pinjam-memin­jam dalam mata uang rupiah se­cara langsung melalui sistem elek­­tronik dengan meng­guna­kan jaringan internet.

Menurut Hendrikus Passagi, direktur pengaturan, perizinan dan pengawasan FinTech OJK, praktik P2P lending sejalan de­ngan budaya bangsa Indonesia, yaitu gotong royong, sehingga berpotensi sangat besar untuk berkembang di kemudian hari. Passagi memprediksi pengguna P2P lending akan melampaui jumlah investor di pasar modal dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Memang, para pelaku FinTech saat ini belum mampu menjadi pemain yang dominan di pasar keuangan, karena ke­banyakan masih berskala kecil. Namun, tujuan yang ingin di­capai FinTech adalah menga­lah­kan penguasa pasar ke­uang­an yang ada. FinTech belum mampu mengganggu lanskap kompetisi di pasar industri ke­uangan, namun telah me­letak­kan dasar bagi gangguan di masa mendatang. Seorang ekse­kutif senior dari suatu bank menyata­kan bahwa “We thought we knew our customers, but FinTechs really know our customers” (PwC, 2016).

PwC Global FinTech Survey 2016 menunjukkan bahwa consumer banking serta fund transfers and payments me­rupa­kan sektor-sektor yang paling terganggu oleh FinTech pada 2020, diikuti investment and wealth management serta SME banking. Asuransi pun tidak luput dari pengaruh kehadiran FinTech. Bukan hal yang mus­tahil bahwa jumlah perusahaan jasa keuangan tradisional akan menyusut dalam beberapa ta­hun ke depan. FinTech di mata nasabah adalah pendekatan layanan keuangan yang tidak mampu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan tradisional.

Hasil survei PwC (2017) mengungkapkan lebih dari 80% lembaga keuangan di seluruh dunia percaya bisnis mereka sedang berada pada risiko yang tinggi dengan kehadiran FinTech. Kehilangan bisnis yang diambil oleh para inovator dimulai dari sektor pembayar­an, kemudian menyusul trans­fer dana, dan selanjutnya ke­uangan pribadi. Pertumbuhan pe­ne­rima­­an perusahaan FinTech yang berkisar 24% per tahun sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku lainnya dalam industri jasa keuangan.

Perkembangan jumlah perusahaan FinTech di Indo­nesia cukup pesat dalam bebe­rapa tahun terakhir, meskipun belum seluruhnya terdaftar atau memperoleh izin dari OJK. Data Direktorat Pengaturan, Per­izin­an, dan Pengawasan FinTech OJK me­nunjukkan hingga 3 November 2017 ter­dapat 25 perusahaan FinTech yang telah terdaftar atau berizin dari OJK. Jumlah ini setara 29,41% dari seluruh per­usaha­an FinTech yang terdata (85 per­usahaan). Perusahaan FinTech lainnya yang sedang da­lam proses pendaftaran se­ba­nyak 33 perusahaan atau 38,82%, sedangkan 27 per­usa­ha­an atau 31,76% telah menya­ta­kan minat untuk mendaftar.

Perkembangan perusahaan FinTech membuka ruang bagi perbaikan akses keuangan bagi penduduk Indonesia, namun sekaligus meningkatkan per­saingan. Dari segi kemampuan untuk menjangkau nasabah, per­­usahaan FinTech akan ke­sulitan untuk melayani para na­sabah yang mendiami kawas­an yang jauh dari Pulau Jawa, antara lain disebabkan keter­batasan dalam melakukan know your customer (KYC).

Dalam konteks ini, kerja sama dapat dilakukan dengan lembaga keuangan mikro (LKM), bank perkreditan rakyat (BPR), atau bank pembangunan daerah (BPD). Dalam pandangan Pa­mitra Wineka, founder Tanihub dan Tanifund, perkembangan FinTech di Indonesia cukup ce­pat walaupun belum se­inovatif di Amerika Serikat. Penye­bab­nya adalah masih banyak re­gulasi di Indonesia yang belum mendukung, seperti digital signature dan online cash loan. Bisnis bank seharusnya dapat bertumbuh pesat jika mereka lebih berani dan diperbolehkan oleh regulasi untuk bekerja sama dengan perusahaan P2P lending.

Pendapat Eka sejalan de­ngan Hendrikus Passagi, direk­tur peng­­aturan, perizinan dan peng­­awasan FinTech OJK. Me­nurutnya, semua mekanisme P2P lending seharusnya berada da­lam sistem perbankan na­sional sehingga aset perbankan akan meningkat tajam. Bank pun akan semakin kompetitif dan mampu bertumbuh dengan pesat. Hanya perbankan yang “malas berinovasi” akan ter­tinggal dan menjadi korban dari perkembangan teknologi digi­tal. Kemitraan dengan inovator memungkinkan bank mengem­bangkan bisnis mereka dengan mendatangkan solusi terhadap berbagai persoalan yang di­hadapi di pasar. Sebaliknya, per­usahaan FinTech juga mem­peroleh manfaat dari kerja sama yang dibangun, karena mem­butuhkan akses terhadap data dalam jumlah besar yang dimiliki oleh perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Segmen FinTech di beberapa negara telah mulai bergeser dari pendekatan business to clients (B2C) menjadi business to business (b2b).
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3355 seconds (0.1#10.140)