Mengembalikan Marwah DPR
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
Hampir sebulan sudah Setya Novanto memimpin DPR dari balik jeruji besi tahanan komisi anti rasuah. Meski didesak mundur berbagai kalangan, Setya Novanto enggan melepas jabatan sebagai orang nomor wahid di Senayan.
Alih-alih meminta mundur, Golkar justru mendukung penuh sang ketua umum memimpin lembaga kedewanan hingga ada vonis tetap pengadilan.
Harus diakui, membiarkan DPR dipimpin tersangka dari penjara sama saja dengan membiarkan lembaga kedewanan berada di titik nadir. Kepercayaan publik merosot drastis. Praktik politik semacam ini justru menebalkan keyakinan bahwa DPR tak ubahnya sarang politisi korup yang 'kebal hukum'.
Sejumlah survei merilis temuan memiriskan. DPR ditahbiskan sebagai institusi politik dengan tingkat kepercayaan publik paling buncit. Hanya 29% yang merasa puas dengan performa kinerja DPR dalam menyerap aspirasi rakyat.
Selebihnya, rakyat pesimistis, persepsi negatif, dan tak terlalu berharap pada DPR. Rendahnya produktivitas di bidang legislasi membuat citra lembaga dewan kian hancur.
Ironisnya, DPR sebagai institusi politik prestisius tak berkutik menghadapi kehendak Setya Novanto yang terus ingin memimpin DPR. Fraksi-fraksi di DPR pun terkesan cari aman tanpa sikap jelas. Padahal, kasus korupsi Setya Novanto adalah aib nyata yang menyandera kredibilitas DPR.
Melawan Rakyat
Sejak awal, keengganan mundur Setya Novanto dari posisi ketua DPR diprotes lapisan rakyat. Protes sejumlah elemen rakyat harus dimaknai sebagai bentuk konfrontasi untuk menyelamatkan citra, kredibilitas, dan marwah DPR. Mereka hanya meminta DPR menghentikan segala 'kegilaan' Setya Novanto yang nyaris tak tersentuh.
Nyatanya, DPR bergeming tak kuasa menghadapi Setya Novanto. DPR menganggap kritik dan protes rakyat sebagai angin lalu belaku. Tanpa rasa malu, DPR bersikukuh bahwa mereka tak punya alasan kuat mengeksekusi kasus Setya Novanto.
Alasannya, melulu soal aspek legal formal ketetapan hukum pengadilan. Padahal, kasus korupsi Setya Novanto menguras energi seluruh rakyat Indonesia. Mestinya ada tindakan nyata DPR menyelamatkan institusi bermartabat ini.
Di negara yang demokrasinya sudah maju, lembaga legislatif diharapkan mampu berperan besar dalam penguatan sistem demokrasi, terutama sebagai agen (agent) penyampai dan menyerap aspirasi yang mengaksentuasi kepentingan rakyat.
Bukan sebaliknya vis a vis melawan kehendak rakyat. Jose Maria Maravall dalam Accountability and Manipulation (1999), menyebut politisi parlemen layaknya seorang agen yang bertugas menyampaikan kepentingan rakyat. Mandat utamanya ialah sebagai penyalur aspirasi rakyat yang harus diprioritaskan. Relasi keduanya bersifat mutualisme simbiosis yang saling membutuhkan.
Dalam konteks pola relasional ini, rakyat memiliki peran strategis sebagai pemberi hadiah (reward) dan hukuman (punishment) kepada agen rakyat tersebut. Jika sang agen mampu menjalankan fungsi dengan baik, bisa dipastikan rakyat akan memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, jika gagal maka rakyat berhak menghakimi dengan tidak memilih mereka kembali.
Sayangnya, hubungan legislator sebagai agen dengan rakyat tak berjalan mulus. Pasca pemilu, rakyat sebagai basis konstituen kerap dilupakan. Anggota dewan itu tak lagi membutuhkan dukungan rakyat, sebab dukungan rakyat bisa dimanipulasi saat pencoblosan melalui janji palsu, money politics, dan praktik kotor lainnya.
Pada tahap inilah, rakyat mesti kembali menjelma sebagai pengadil bagi DPR yang tak amanah. Sudah saatnya anggota dewan dan fraksi-fraksi di DPR yang tak memiliki sikap tegas dalam kasus Setya Novanto tak dipilih kembali pada pemilu yang akan datang.
Rakyat tak lagi sebatas objek kepentingan politik belaka, tetapi sudah bertransformasi menjadi kekuatan yang mengendalikan prospek politik masa depan. Apalagi di tengah iklim demokrasi yang kian terbuka, rakyat bisa tampil sebagai pengadil bagi para politisi dan partai politik dalam setiap perhelatan kontestasi elektoral.
Etika Politik Dewan
Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Public Office (1987) mengungkap pentingnya aspek etika sebagai sesuatu yang inheren dalam politik. Dalam jabatan politik terkandung tanggung jawab moral etis untuk berbuat sesuai kepantasan umum.
Pejabat publik tak dibenarkan berbuat atas dasar kehendak hawa nafsu pribadi.
Tanpa panduan etis politik, politisi cenderung berperilaku menyimpang akibat kekuasaan tanpa batas.
Bangsa ini kerap terjebak dalam situasi sulit tanpa jalan keluar akibat perilaku tak etis pejabat publik. Sebuah situasi tanpa kejelasan, penuh kegamangan, dan ketidaknyamanan.
Kasus korupsi Setya Novanto tentu menjadi pukulan telak bagi supremasi etis bagi pejabat publik di negeri ini. Meski terindikasi melakukan praktik korupsi, Setya Novanto tak jua mau mundur, malah melakukan berbagai upaya mengelabui agar terbebas dari jeratan hukum.
Di berbagai negara, pejabat yang terindikasi melakukan tindakan tak pantas memilih mundur sebelum ada vonis tetap pengadilan. Misalnya Wakil Ketua Parlemen Prancis Denis Baupin, yang memutuskan mundur karena terindikasi melakukan pelecehan seksual; maupun sikap jantan Perdana Menteri Islandia Sigmundur Gunnlaugsson yang memilih mundur karena namanya masuk daftar skandal Panama Papers.
Sejauh ini Mahkamah Kehormatan Dewan tak berkutik menghadapi kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto. Padahal, UU MD3 nomor 17 Tahun 2014 Pasal 87 ayat 2 menyebut tujuh alasan pemberhentian pimpinan DPR.
Tiga dari tujuh alasan tersebut yakni melanggar janji dan kode etik anggota dewan, dinyatakan bersalah dengan vonis tetap pengadilan, dan usulan dari partai politik pengusung.
Sepak terjang Setya Novanto dalam kasus KTP elektronik jelas menabrak tatanan kode etik anggota dewan. Mahkamah Kehormatan Dewan DPR mestinya cepat mengambil langkah tegas, bukan malah mengulurulur waktu.
Tak perlu lagi berkonsultasi dengan pimpinan fraksi-fraksi karena DPR sejatinya representasi dari semua fraksi di DPR.
Di tengah trust publik yang kian melorot, balada kasus korupsi Setya Novanto membuat citra lembaga kedewanan berada di titik nadir.
Manuver Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang kerap vulgar 'menyerang' penegak hukum, makin menebalkan keyakinan bahwa parlemen tak ubahnya sarang koruptor yang kerap memainkan hukum.
Dengan kekuasaan, jabatan politik, hukum kerap dibuat bertekuk lutut tanpa daya. Itulah realitas politik terkini yang jamak diyakini rakyat. Beruntung, rakyat terus memonitor kasus korupsi seiring keberlimpahan kemajuan teknologi informasi.
Tanpa terasa, daya rusak kasus korupsi Setya Novanto mengalir deras dari hulu hingga hilir yang meruntuhkan kredibilitas kedewanan. Sebab itulah, perlu langkah cepat mengembalikan marwah DPR dari ancaman sinisme publik yang kian membuncah.
Solusinya meminta mundur atau mengganti Setya Novanto dengan proses-proses politik di DPR. Toh, DPR tak merugi juga mencopot Setya Novanto dari posisi ketua DPR.
Sangat jelas pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Setya Novanto. Apa pun itu, etika politik mesti ditegakkan sekali pun dunia runtuh demi mengembalikan marwah DPR.
(nag)