Menjaga Profesionalisme TNI
A
A
A
INSTITUSI Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menjadi pembahasan hangat setelah Presiden Joko Widodo mengajukan nama Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon pengganti Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada hari Senin (4/12). Isu terkait pergantian ini memang menjadi isu yang santer dibahas karena Panglima TNI sudah mendekati masa pensiun pada Maret 2018.
Isu ini menjadi strategis karena 2018 bisa dikatakan sebagai tahun politik. Pada tahun 2019 akan diadakan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak. Secara tradisional, posisi panglima TNI memiliki peran strategis terkait gelaran demokrasi tersebut.
Dalam konteks pergantian ini, tentunya kita semua harus mengedepankan untuk menjaga profesionalisme TNI. Marsekal Hadi Tjahjanto adalah figur yang menarik dengan rekam jejak yang baik. Besar harapan terhadap figur yang secara personal cukup dekat dengan Presiden Jokowi ini.
Tentara Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup berarti dengan berlakunya UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mau tidak mau institusi yang selalu dekat dengan kekuasaan dan jadi rebutan siapa saja yang hendak berkuasa ini harus menyesuaikan diri dan mengubah pola pikirnya.
Penyesuaian diri tersebut sudah cukup kentara selama 13 tahun berlakunya UU tersebut. Sangat besar pertaruhannya jika kembali menarik-narik atau mendorong-dorong tentara untuk kembali terlibat dalam politik Indonesia.
Perbaikan tersebut harus mendapat dukungan yang penuh dari internal tentara sendiri ataupun dari eksternalnya seperti pemerintah, partai politik, dan masyarakat secara umum. Perjuangan untuk menjauhkan tentara dari barak bukanlah usaha untuk melemahkan tentara, justru merupakan langkah untuk menguatkan tentara dengan menjadikannya lebih profesional.
Tentara saat ini sudah berada di bawah kendali Kementerian Pertahanan dan tidak menampakkan kecenderungan yang besar untuk menggerakkan dirinya sendiri. Tentara pun telah relatif terbuka dengan peran Kemhan yang menjadi pengendalinya.
Walaupun sesekali ada perbedaan pendapat antara panglima masing-masing angkatan mengenai suatu hal, tidak membuat tentara membangkang atas perintah dari menhan. Sudah seharusnya kondisi seperti ini dipertahankan dan dijaga untuk lebih baik lagi. Garis koordinasi ini harus jelas dan jangan sampai dirusak oleh kepentingan individual elite tentara.
Terkait profesionalisme TNI, ada beberapa hal yang penting dikedepankan. Pertama, pemerintah harus lebih keras mengupayakan terus terwujudnya supremasi sipil yang ideal. Kesalahan penanganan bisa saja mengembalikan pola tentara Indonesia ke tentara yang turut campur dalam politik. Pemerintah maupun tentara sendiri harus komitmen untuk hal tersebut.
Kedua, pemerintah harus lebih transparan mengenai tentara Indonesia. Sekalipun bidang tentara ini merupakan bidang yang sangat sensitif karena menyangkut rahasia negara, namun keterbukaan akan mengantarkan suatu kondisi di mana kontrol sipil pada tentara akan lebih efektif.
Selama ini akses sipil untuk mengetahui jumlah anggaran tentara sangat sulit. Padahal bagaimanapun, dalam demokrasi rakyat adalah stakeholder dalam bernegara.
Ketiga, harus dibuatkan kerangka yang lebih kuat mengenai peraturan hubungan antara partai politik dengan institusi tentara. Selama ini partai politik sering kali berhubungan dengan anggota tentara aktif yang dapat mempengaruhi institusi tentara. Padahal, institusi tentara harus dijauhkan dari sentuhan politik karena kemungkinan bisa menyeretnya kembali ke pola lama yang saat ini mati-matian diusahakan untuk dihilangkan sifatnya dari TNI.
Semoga panglima yang nanti akan disahkan bisa menjaga dan membuat TNI lebih profesional!
Isu ini menjadi strategis karena 2018 bisa dikatakan sebagai tahun politik. Pada tahun 2019 akan diadakan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara serentak. Secara tradisional, posisi panglima TNI memiliki peran strategis terkait gelaran demokrasi tersebut.
Dalam konteks pergantian ini, tentunya kita semua harus mengedepankan untuk menjaga profesionalisme TNI. Marsekal Hadi Tjahjanto adalah figur yang menarik dengan rekam jejak yang baik. Besar harapan terhadap figur yang secara personal cukup dekat dengan Presiden Jokowi ini.
Tentara Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup berarti dengan berlakunya UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mau tidak mau institusi yang selalu dekat dengan kekuasaan dan jadi rebutan siapa saja yang hendak berkuasa ini harus menyesuaikan diri dan mengubah pola pikirnya.
Penyesuaian diri tersebut sudah cukup kentara selama 13 tahun berlakunya UU tersebut. Sangat besar pertaruhannya jika kembali menarik-narik atau mendorong-dorong tentara untuk kembali terlibat dalam politik Indonesia.
Perbaikan tersebut harus mendapat dukungan yang penuh dari internal tentara sendiri ataupun dari eksternalnya seperti pemerintah, partai politik, dan masyarakat secara umum. Perjuangan untuk menjauhkan tentara dari barak bukanlah usaha untuk melemahkan tentara, justru merupakan langkah untuk menguatkan tentara dengan menjadikannya lebih profesional.
Tentara saat ini sudah berada di bawah kendali Kementerian Pertahanan dan tidak menampakkan kecenderungan yang besar untuk menggerakkan dirinya sendiri. Tentara pun telah relatif terbuka dengan peran Kemhan yang menjadi pengendalinya.
Walaupun sesekali ada perbedaan pendapat antara panglima masing-masing angkatan mengenai suatu hal, tidak membuat tentara membangkang atas perintah dari menhan. Sudah seharusnya kondisi seperti ini dipertahankan dan dijaga untuk lebih baik lagi. Garis koordinasi ini harus jelas dan jangan sampai dirusak oleh kepentingan individual elite tentara.
Terkait profesionalisme TNI, ada beberapa hal yang penting dikedepankan. Pertama, pemerintah harus lebih keras mengupayakan terus terwujudnya supremasi sipil yang ideal. Kesalahan penanganan bisa saja mengembalikan pola tentara Indonesia ke tentara yang turut campur dalam politik. Pemerintah maupun tentara sendiri harus komitmen untuk hal tersebut.
Kedua, pemerintah harus lebih transparan mengenai tentara Indonesia. Sekalipun bidang tentara ini merupakan bidang yang sangat sensitif karena menyangkut rahasia negara, namun keterbukaan akan mengantarkan suatu kondisi di mana kontrol sipil pada tentara akan lebih efektif.
Selama ini akses sipil untuk mengetahui jumlah anggaran tentara sangat sulit. Padahal bagaimanapun, dalam demokrasi rakyat adalah stakeholder dalam bernegara.
Ketiga, harus dibuatkan kerangka yang lebih kuat mengenai peraturan hubungan antara partai politik dengan institusi tentara. Selama ini partai politik sering kali berhubungan dengan anggota tentara aktif yang dapat mempengaruhi institusi tentara. Padahal, institusi tentara harus dijauhkan dari sentuhan politik karena kemungkinan bisa menyeretnya kembali ke pola lama yang saat ini mati-matian diusahakan untuk dihilangkan sifatnya dari TNI.
Semoga panglima yang nanti akan disahkan bisa menjaga dan membuat TNI lebih profesional!
(whb)