Medsos dan Fenomena Post-Truth
A
A
A
Eko Sulistyo Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
MAJALAH The Economist edisi 4 November 2017 membuat laporan utama dengan judul ”Social mediaís threat to democracy”. Tulisan ini seperti mengingatkan kita bahwa media sosial (medsos) bisa memiliki dua muka, sisi baik dan buruk. Medsos bisa bermanfaat untuk pencerahan dan memajukan demokrasi, tapi bisa juga disalahgunakan.
Seperti dikatakan filsuf Jerman Jurgen Habermas, konektivitas medsos akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Medsos bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global serta menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Namun di sisi lain medsos dapat menjadi ancaman bagi demokrasi dan pluralisme.
Di Ukrania, tumbangnya presiden mereka diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di Kiev. Di Mesir, medsos mengambil peran penting dalam penumbangan Presiden Husni Mubarak, 2011.
Sementara di Jerman, partai ultrakanan mendapatkan 12,6% kursi di parlemen dengan cara menyebarkan ketakutan melalui medsos bahwa para pengungsi dari Suriah mendapat lebih banyak keuntungan daripada orang asli Jerman. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte membuat keyboard army untuk menyebarluaskan narasi palsu.
Di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman. Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia.
Referendum Brexit di Inggris secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye memengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.
Fenomena ” Post-Truth”
Dengan fakta politik kontemporer yang terjadi di berbagai negara seperti ditulis The Economist, kita bisa melihat begitu bahayanya ancaman medsos yang disalahgunakan bagi demokrasi dan pluralisme. Memang berkat internet, pertukaran informasi berlangsung sangat cepat tanpa batas ruang dan waktu. Namun kemajuan tersebut telah melahirkan juga apa yang disebut sebagai fenomena post-truth.
Istilah post-truth menjadi populer ketika para penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun 2016. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Tertangkapnya para pengelola ”bisnis hoax” dan kabar bohong Saracen menunjukkan bahwa fenomena post-truth juga terjadi di Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, Indonesia potensial menjadi target fenomena post-truth. Baik untuk tujuan ekonomi maupun kepentingan politik.
Fenomena post-truth di Indonesia dapat meluas karena empat sebab. Pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat. Kedua, adanya kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak Pilpres 2014. Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrem anti-Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Pendekatan Keras dan Lunak
Perkembangan teknologi informasi dan internet tidak bisa dihentikan. Pemerintah selalu berupaya mencari kesimbangan antara kebebasan demokrasi dalam hal informasi dan akses pada internet. Sementara fenomena post-truth tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi, tapi juga bagi kebebasan sipil.
Kita bisa belajar dari berbagai negara dalam merespons era post-truth. Pemerintah Jerman telah mengesahkan undang-undang yang dapat mendenda 50 juta euro bagi platform yang mendistribusikan atau gagal menghapus konten berita palsu.Kementerian Dalam Negeri Jerman juga sedang mengusulkan pembentukan Center of Defense Against Misinformation untuk memberantas berita palsu.
Pemerintah RRC sejak 2013 membuat ”rumor online” untuk melindungi hak dan kepentingan warga negara dan mempromosikan internet sehat. Selain menghapus tulisan di media sosial seperti Wechat, Pemerintah RRC juga telah memaksa operator untuk menghapus konten yang dianggap rumor dan hukuman penjara 3 tahun bagi pelakunya serta kewajiban suspend account untuk penyebar fake-news.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak kalah responsif dalam menerapkan tindakan, baik yang bersifat hard approach maupun soft approach, dalam menanggapi era post-truth. Pendekatan keras dilakukan Pemerintah Indonesia bila fenomena post-truth masuk dalam kategori hate speech seperti termuat dalam KUHAP (Pasal 156-157).
Beberapa undang-undang dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ”ujaran kebencian”. Misalnya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2013 tentang Teknik Penanganan Konflik Sosial.
Kebijakan terbaru, pemerintah mewajibkan setiap pemilik nomor telepon seluler melakukan registrasi ulang dengan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sampai dengan Maret 2018. Kartu akan otomatis nonaktif apabila registrasi tidak dilakukan. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 35,29 juta pengguna ponsel yang melakukan registrasi NIK dalam kartu perdana yang mereka miliki.
Padahal pengguna kartu perdana telepon selular di Indonesia mencapai 128 juta. Pemerintah juga bekerja sama dengan operator telepon seluler terkait dengan penggunaan NIK pada KTP elektronik. Ketentuan khusus juga akan diberlakukan di mana satu orang hanya boleh menggunakan tiga kartu perdana saja.
Ke depan, pendekatan lunak dengan fokus pada literasi digital akan menjadi pekerjaan serius pemerintah. Literasi dan edukasi akan dilakukan terutama kepada kelompok yang dianggap rentan. Pemerintah akan bekerja sama dengan masyarakat sipil menciptakan hoax buster untuk menangkal berita-berita palsu.
Pemerintah berkewajiban melindungi warga negara dan kebinekaan bangsa dari ujaran kebencian, berita palsu, dan hoax yang memecah belah masyarakat. Fenomena post-truth memberikan tantangan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa medsos dapat digunakan dengan bijak, tapi juga bisa menjadi sumber masalah baru.
MAJALAH The Economist edisi 4 November 2017 membuat laporan utama dengan judul ”Social mediaís threat to democracy”. Tulisan ini seperti mengingatkan kita bahwa media sosial (medsos) bisa memiliki dua muka, sisi baik dan buruk. Medsos bisa bermanfaat untuk pencerahan dan memajukan demokrasi, tapi bisa juga disalahgunakan.
Seperti dikatakan filsuf Jerman Jurgen Habermas, konektivitas medsos akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Medsos bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global serta menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Namun di sisi lain medsos dapat menjadi ancaman bagi demokrasi dan pluralisme.
Di Ukrania, tumbangnya presiden mereka diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di Kiev. Di Mesir, medsos mengambil peran penting dalam penumbangan Presiden Husni Mubarak, 2011.
Sementara di Jerman, partai ultrakanan mendapatkan 12,6% kursi di parlemen dengan cara menyebarkan ketakutan melalui medsos bahwa para pengungsi dari Suriah mendapat lebih banyak keuntungan daripada orang asli Jerman. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte membuat keyboard army untuk menyebarluaskan narasi palsu.
Di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman. Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia.
Referendum Brexit di Inggris secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye memengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.
Fenomena ” Post-Truth”
Dengan fakta politik kontemporer yang terjadi di berbagai negara seperti ditulis The Economist, kita bisa melihat begitu bahayanya ancaman medsos yang disalahgunakan bagi demokrasi dan pluralisme. Memang berkat internet, pertukaran informasi berlangsung sangat cepat tanpa batas ruang dan waktu. Namun kemajuan tersebut telah melahirkan juga apa yang disebut sebagai fenomena post-truth.
Istilah post-truth menjadi populer ketika para penyunting Kamus Oxford menjadikannya sebagai word of the year tahun 2016. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Tertangkapnya para pengelola ”bisnis hoax” dan kabar bohong Saracen menunjukkan bahwa fenomena post-truth juga terjadi di Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, Indonesia potensial menjadi target fenomena post-truth. Baik untuk tujuan ekonomi maupun kepentingan politik.
Fenomena post-truth di Indonesia dapat meluas karena empat sebab. Pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat. Kedua, adanya kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak Pilpres 2014. Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrem anti-Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Pendekatan Keras dan Lunak
Perkembangan teknologi informasi dan internet tidak bisa dihentikan. Pemerintah selalu berupaya mencari kesimbangan antara kebebasan demokrasi dalam hal informasi dan akses pada internet. Sementara fenomena post-truth tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi, tapi juga bagi kebebasan sipil.
Kita bisa belajar dari berbagai negara dalam merespons era post-truth. Pemerintah Jerman telah mengesahkan undang-undang yang dapat mendenda 50 juta euro bagi platform yang mendistribusikan atau gagal menghapus konten berita palsu.Kementerian Dalam Negeri Jerman juga sedang mengusulkan pembentukan Center of Defense Against Misinformation untuk memberantas berita palsu.
Pemerintah RRC sejak 2013 membuat ”rumor online” untuk melindungi hak dan kepentingan warga negara dan mempromosikan internet sehat. Selain menghapus tulisan di media sosial seperti Wechat, Pemerintah RRC juga telah memaksa operator untuk menghapus konten yang dianggap rumor dan hukuman penjara 3 tahun bagi pelakunya serta kewajiban suspend account untuk penyebar fake-news.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak kalah responsif dalam menerapkan tindakan, baik yang bersifat hard approach maupun soft approach, dalam menanggapi era post-truth. Pendekatan keras dilakukan Pemerintah Indonesia bila fenomena post-truth masuk dalam kategori hate speech seperti termuat dalam KUHAP (Pasal 156-157).
Beberapa undang-undang dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ”ujaran kebencian”. Misalnya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2013 tentang Teknik Penanganan Konflik Sosial.
Kebijakan terbaru, pemerintah mewajibkan setiap pemilik nomor telepon seluler melakukan registrasi ulang dengan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sampai dengan Maret 2018. Kartu akan otomatis nonaktif apabila registrasi tidak dilakukan. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 35,29 juta pengguna ponsel yang melakukan registrasi NIK dalam kartu perdana yang mereka miliki.
Padahal pengguna kartu perdana telepon selular di Indonesia mencapai 128 juta. Pemerintah juga bekerja sama dengan operator telepon seluler terkait dengan penggunaan NIK pada KTP elektronik. Ketentuan khusus juga akan diberlakukan di mana satu orang hanya boleh menggunakan tiga kartu perdana saja.
Ke depan, pendekatan lunak dengan fokus pada literasi digital akan menjadi pekerjaan serius pemerintah. Literasi dan edukasi akan dilakukan terutama kepada kelompok yang dianggap rentan. Pemerintah akan bekerja sama dengan masyarakat sipil menciptakan hoax buster untuk menangkal berita-berita palsu.
Pemerintah berkewajiban melindungi warga negara dan kebinekaan bangsa dari ujaran kebencian, berita palsu, dan hoax yang memecah belah masyarakat. Fenomena post-truth memberikan tantangan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa medsos dapat digunakan dengan bijak, tapi juga bisa menjadi sumber masalah baru.
(kri)