Utang Terus Bertambah
A
A
A
UTANG luar negeri (ULN) Indonesia tetap terkendali. Demikian ditegaskan Bank Indonesia (BI). Dalam publikasi terbaru bank sentral dibeberkan bahwa rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga kuartal ketiga tahun ini berada di kisaran 34% atau menurun sekitar 2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang bertengger di level 36%.
BI mencatat total ULN mencapai USD343,1 miliar, bila dikonversi dalam rupiah sebesar Rp4.631 triliun. ULN yang terdiri atas utang publik (pemerintah dan bank sentral) dan swasta tumbuh sekitar 4,5% bila dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. ULN pemerintah dan bank sentral tumbuh sekitar 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meningkatnya ULN pemerintah seiring dengan meroketnya kebutuhan pembiayaan untuk proyek infrastruktur. Sementara itu, ULN swasta naik tipis sekitar 0,6% dibandingkan periode sama pada 2016. Komposisi ULN dilihat dari jangka waktu didominasi ULN jangka panjang sekitar 86,2% dari total ULN dengan pertumbuhan sekitar 3,4% pada akhir kuartal ketiga 2017 dibandingkan kuartal ketiga 2016. Disusul ULN jangka pendek yang meningkat 11,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dilihat dari sektor ekonomi, posisi ULN swasta berfokus pada empat sektor, yakni keuangan, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih (LGA), dan pertambangan.
Bicara soal utang memang selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik perhatian khalayak, apalagi berbicara seputar utang pemerintah baik ULN maupun penerbitan surat berharga negara (SBN) yang terus meningkat sejak pemerintahan dijalankan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Belakangan ini sorotan terhadap utang pemerintah semakin tajam sampai Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani merasa jengah untuk memberikan penjelasan setiap saat. Mantan petinggi Bank Dunia itu malah balik bertanya, apakah untuk menilai kinerja pemerintah hanya berdasarkan utang? Sri Mulyani merasa tidak adil jika hanya menyoroti kenaikan angka-angka utang tanpa membedah utang tersebut telah dialokasikan untuk sektor produktif.
Sorotan masyarakat terhadap peningkatan utang pemerintah dalam tiga tahun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi merupakan hal yang wajar karena faktanya memang demikian. Pemerintah justru harus melihat dari sisi positif sebagai sebuah peringatan supaya arah kebijakan pengelolaan utang senantiasa berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian, dan jangan sampai pengalokasiannya melenceng dari sektor produktif. Adapun total utang pemerintah telah menembus Rp3.866,45 triliun per September 2017, dan sebesar Rp1.261,52 triliun dikontribusikan era Presiden Jokowi.
Utang komersial tercatat sekitar 86% dari total utang pemerintah yang meliputi pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, dan penerbitan SBN. Selebihnya dari Bank Dunia sebesar 7%, Jepang sekitar 5%, Asia Development Bank (ADB) 3%, dan lainnya tercatat 4%. Dari tahun ke tahun, rasio utang terhadap PDB terus mencatat peningkatan walau naiknya tidak signifikan, mulai 2013 sebesar 24,9%, lalu 2014 sedikit turun menjadi 24,7%, kemudian naik lagi menjadi 27,4% pada 2015, dan sebesar 28,3% pada 2016 lalu.
Meski angka-angka utang terus membesar, pemerintah selalu mengimbau masyarakat agar tak perlu timbul rasa khawatir yang berlebihan. Pasalnya, rasio utang masih terjaga dan aman. Saat ini rasio utang terhadap PDB sekitar 28,6%. Rasio utang adalah tolok ukur utang sebuah negara untuk menyatakan apakah negara tersebut sudah dalam kategori gawat atau tidak dengan utang yang ada. Adapun batas utang yang dianggap gawat apabila rasio utang sudah menyentuh sekitar 60% terhadap PDB.
Sekadar perbandingan, rasio utang negara tetangga Malaysia kabarnya sudah pada level lampu kuning. Total utang pemerintah Negeri Jiran itu sekitar Rp2.100 triliun memang lebih rendah dari utang pemerintah Indonesia namun rasio utang terhadap PDB sekitar 53%. Bagaimana dengan tahun depan, kira-kira seberapa besar utang yang akan ditarik pemerintah? Yang pasti, pemerintah akan menerbitkan SBN senilai Rp414,5 triliun.
Hal itu sudah disepakati antara pemerintah, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, dan BI. Penerbitan SBN tersebut disesuaikan postur APBN 2018 yang dirancang defisit. Belanja APBN 2018 dipatok sebesar Rp2.220,6 triliun, sedangkan penerimaan ditargetkan Rp1.894,7 triliun. Dengan demikian, terdapat defisit anggaran sekitar Rp325,9 triliun atau 2,19% terhadap PDB. Utang tergantung postur APBN.
BI mencatat total ULN mencapai USD343,1 miliar, bila dikonversi dalam rupiah sebesar Rp4.631 triliun. ULN yang terdiri atas utang publik (pemerintah dan bank sentral) dan swasta tumbuh sekitar 4,5% bila dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. ULN pemerintah dan bank sentral tumbuh sekitar 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meningkatnya ULN pemerintah seiring dengan meroketnya kebutuhan pembiayaan untuk proyek infrastruktur. Sementara itu, ULN swasta naik tipis sekitar 0,6% dibandingkan periode sama pada 2016. Komposisi ULN dilihat dari jangka waktu didominasi ULN jangka panjang sekitar 86,2% dari total ULN dengan pertumbuhan sekitar 3,4% pada akhir kuartal ketiga 2017 dibandingkan kuartal ketiga 2016. Disusul ULN jangka pendek yang meningkat 11,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dilihat dari sektor ekonomi, posisi ULN swasta berfokus pada empat sektor, yakni keuangan, industri pengolahan, listrik-gas-air bersih (LGA), dan pertambangan.
Bicara soal utang memang selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik perhatian khalayak, apalagi berbicara seputar utang pemerintah baik ULN maupun penerbitan surat berharga negara (SBN) yang terus meningkat sejak pemerintahan dijalankan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Belakangan ini sorotan terhadap utang pemerintah semakin tajam sampai Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani merasa jengah untuk memberikan penjelasan setiap saat. Mantan petinggi Bank Dunia itu malah balik bertanya, apakah untuk menilai kinerja pemerintah hanya berdasarkan utang? Sri Mulyani merasa tidak adil jika hanya menyoroti kenaikan angka-angka utang tanpa membedah utang tersebut telah dialokasikan untuk sektor produktif.
Sorotan masyarakat terhadap peningkatan utang pemerintah dalam tiga tahun di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi merupakan hal yang wajar karena faktanya memang demikian. Pemerintah justru harus melihat dari sisi positif sebagai sebuah peringatan supaya arah kebijakan pengelolaan utang senantiasa berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian, dan jangan sampai pengalokasiannya melenceng dari sektor produktif. Adapun total utang pemerintah telah menembus Rp3.866,45 triliun per September 2017, dan sebesar Rp1.261,52 triliun dikontribusikan era Presiden Jokowi.
Utang komersial tercatat sekitar 86% dari total utang pemerintah yang meliputi pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, dan penerbitan SBN. Selebihnya dari Bank Dunia sebesar 7%, Jepang sekitar 5%, Asia Development Bank (ADB) 3%, dan lainnya tercatat 4%. Dari tahun ke tahun, rasio utang terhadap PDB terus mencatat peningkatan walau naiknya tidak signifikan, mulai 2013 sebesar 24,9%, lalu 2014 sedikit turun menjadi 24,7%, kemudian naik lagi menjadi 27,4% pada 2015, dan sebesar 28,3% pada 2016 lalu.
Meski angka-angka utang terus membesar, pemerintah selalu mengimbau masyarakat agar tak perlu timbul rasa khawatir yang berlebihan. Pasalnya, rasio utang masih terjaga dan aman. Saat ini rasio utang terhadap PDB sekitar 28,6%. Rasio utang adalah tolok ukur utang sebuah negara untuk menyatakan apakah negara tersebut sudah dalam kategori gawat atau tidak dengan utang yang ada. Adapun batas utang yang dianggap gawat apabila rasio utang sudah menyentuh sekitar 60% terhadap PDB.
Sekadar perbandingan, rasio utang negara tetangga Malaysia kabarnya sudah pada level lampu kuning. Total utang pemerintah Negeri Jiran itu sekitar Rp2.100 triliun memang lebih rendah dari utang pemerintah Indonesia namun rasio utang terhadap PDB sekitar 53%. Bagaimana dengan tahun depan, kira-kira seberapa besar utang yang akan ditarik pemerintah? Yang pasti, pemerintah akan menerbitkan SBN senilai Rp414,5 triliun.
Hal itu sudah disepakati antara pemerintah, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, dan BI. Penerbitan SBN tersebut disesuaikan postur APBN 2018 yang dirancang defisit. Belanja APBN 2018 dipatok sebesar Rp2.220,6 triliun, sedangkan penerimaan ditargetkan Rp1.894,7 triliun. Dengan demikian, terdapat defisit anggaran sekitar Rp325,9 triliun atau 2,19% terhadap PDB. Utang tergantung postur APBN.
(thm)