Menjaga Kerukunan Bangsa
A
A
A
Pemerintah sebentar lagi akan membentuk sebuah lembaga baru, yaitu Dewan Kerukunan Nasional. Hal tersebut beberapa kali dilontarkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Jenderal TNI (Pur) Wiranto. Pembentukan lembaga tersebut tentu menanggapi kondisi mutakhir yang derajat kerukunan bangsa ini dianggap mulai berkurang.
Mungkin akan banyak yang bertanya-tanya kenapa untuk menjaga kerukunan saja harus dilembagakan? Padahal, kita tahu selama ini kerukunan di Indonesia tercipta bukan karena pelembagaan. Kerukunan tercipta karena ada semangat saling menghargai dan tenggang rasa yang tinggi antarmasyarakat yang berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jadi, melihat sejarah kerukunan masyarakat Indonesia, pelembagaan ini terhitung sesuatu yang baru.
Namun, kalau kita coba untuk melihat dari sudut pandang lain bahwa sudah menjadi kondisi yang nyata, kerukunan itu sedang dalam kondisi yang terganggu. Jika tidak ada tindakan yang out of the box, bisa jadi sangat sulit untuk membuat situasi bisa kondusif dengan kerukunan yang terjaga. Langkah untuk membangun Dewan Kerukunan Nasional ini bisa dianggap sebagai satu di antara langkah out of the box tersebut.
Kita tahu selama ini tokoh-tokoh masyarakat yang berbeda SARA sering duduk bersama untuk menjaga kerukunan. Dengan pelembagaan tersebut, intensitas duduk bersama diharapkan akan semakin tinggi dan kualitasnya akan semakin baik. Dari sana diharapkan akan tercipta kondisi yang saling mengerti di antara tokoh agama dan saling memahami apa yang menjadi masalah di tengah masyarakat.
Dengan melihat potensi positif dari lembaga baru Dewan Kerukunan Nasional, ada beberapa poin yang harus menjadi perhatian pemerintah dan tokoh-tokoh yang akan duduk di dalamnya agar lembaga ini bisa berfungsi dan berefek baik terhadap masyarakat sebagaimana yang diharapkan.
Pertama, komposisi anggota Dewan Kerukunan Nasional menjadi satu di antara faktor determinatif berhasil atau tidak lembaga yang akan dibentuk itu. Kalau mengacu pada SARA saja, kita bisa bayangkan komposisi figur-figur yang harus mewakili situasi SARA tersebut. Sebagai contoh pemerintah harus mempertimbangkan wakil-wakil yang mewakili agama-agama yang ada di Indonesia. Namun, lebih jauh lagi, di dalam satu agama pun ada beberapa ormas, aliran, dan berbagai macam pembeda lain. Pemerintah harus cermat dalam menjaga keterwakilan dalam lembaga baru tersebut. Jangan sampai lembaga baru tersebut seperti mengeksklusi kelompok tertentu karena tidak terwakili.
Kedua, lembaga baru ini harus mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap situasi-situasi yang berkembang di masyarakat. Mereka tidak bisa bersikap abai. Potensi pergesekan yang kecil-kecil saja bahkan harus menjadi perhatian mereka. Dengan kehadiran lembaga seperti ini, ekspektasi masyarakat tentu akan membubung tinggi.
Ketiga, anggota lembaga ini harus memiliki tingkat independensi yang eksepsional. Kalau sampai publik menilai lembaga ini tidak independen, akan dipandang miring. Ketidakindependenan bahkan akan menyebabkan lembaga ini dinilai sengaja dimunculkan untuk mengeksklusi kelompok tertentu.
Keempat, komunikasi dari lembaga ini harus sangat baik. Selain menjaga agar kerukunan tidak tergores apalagi tercabik, lembaga ini juga tentu akan berfungsi seperti pemadam kebakaran saat terjadi masalah dengan kerukunan. Situasi tersebut adalah situasi yang penuh luka. Komunikasi yang buruk akan berefek seperti garam yang ditabur ke luka.
Kelima, kapasitas dari pengisi posisi di lembaga ini harus menjadi perhatian. Dalam kondisi kerukunan yang terganggu, elite-elite atau tokoh utama selalu menjadi pilihan. Jangan sampai pemerintah tergoda untuk menempatkan para medioker di lembaga yang fungsinya penting dan signifikan. Publik akan mencibirnya sebagai pencari jabatan.
Semoga ke depan kerukunan kita makin kuat demi kemajuan bangsa ini.
Mungkin akan banyak yang bertanya-tanya kenapa untuk menjaga kerukunan saja harus dilembagakan? Padahal, kita tahu selama ini kerukunan di Indonesia tercipta bukan karena pelembagaan. Kerukunan tercipta karena ada semangat saling menghargai dan tenggang rasa yang tinggi antarmasyarakat yang berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jadi, melihat sejarah kerukunan masyarakat Indonesia, pelembagaan ini terhitung sesuatu yang baru.
Namun, kalau kita coba untuk melihat dari sudut pandang lain bahwa sudah menjadi kondisi yang nyata, kerukunan itu sedang dalam kondisi yang terganggu. Jika tidak ada tindakan yang out of the box, bisa jadi sangat sulit untuk membuat situasi bisa kondusif dengan kerukunan yang terjaga. Langkah untuk membangun Dewan Kerukunan Nasional ini bisa dianggap sebagai satu di antara langkah out of the box tersebut.
Kita tahu selama ini tokoh-tokoh masyarakat yang berbeda SARA sering duduk bersama untuk menjaga kerukunan. Dengan pelembagaan tersebut, intensitas duduk bersama diharapkan akan semakin tinggi dan kualitasnya akan semakin baik. Dari sana diharapkan akan tercipta kondisi yang saling mengerti di antara tokoh agama dan saling memahami apa yang menjadi masalah di tengah masyarakat.
Dengan melihat potensi positif dari lembaga baru Dewan Kerukunan Nasional, ada beberapa poin yang harus menjadi perhatian pemerintah dan tokoh-tokoh yang akan duduk di dalamnya agar lembaga ini bisa berfungsi dan berefek baik terhadap masyarakat sebagaimana yang diharapkan.
Pertama, komposisi anggota Dewan Kerukunan Nasional menjadi satu di antara faktor determinatif berhasil atau tidak lembaga yang akan dibentuk itu. Kalau mengacu pada SARA saja, kita bisa bayangkan komposisi figur-figur yang harus mewakili situasi SARA tersebut. Sebagai contoh pemerintah harus mempertimbangkan wakil-wakil yang mewakili agama-agama yang ada di Indonesia. Namun, lebih jauh lagi, di dalam satu agama pun ada beberapa ormas, aliran, dan berbagai macam pembeda lain. Pemerintah harus cermat dalam menjaga keterwakilan dalam lembaga baru tersebut. Jangan sampai lembaga baru tersebut seperti mengeksklusi kelompok tertentu karena tidak terwakili.
Kedua, lembaga baru ini harus mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap situasi-situasi yang berkembang di masyarakat. Mereka tidak bisa bersikap abai. Potensi pergesekan yang kecil-kecil saja bahkan harus menjadi perhatian mereka. Dengan kehadiran lembaga seperti ini, ekspektasi masyarakat tentu akan membubung tinggi.
Ketiga, anggota lembaga ini harus memiliki tingkat independensi yang eksepsional. Kalau sampai publik menilai lembaga ini tidak independen, akan dipandang miring. Ketidakindependenan bahkan akan menyebabkan lembaga ini dinilai sengaja dimunculkan untuk mengeksklusi kelompok tertentu.
Keempat, komunikasi dari lembaga ini harus sangat baik. Selain menjaga agar kerukunan tidak tergores apalagi tercabik, lembaga ini juga tentu akan berfungsi seperti pemadam kebakaran saat terjadi masalah dengan kerukunan. Situasi tersebut adalah situasi yang penuh luka. Komunikasi yang buruk akan berefek seperti garam yang ditabur ke luka.
Kelima, kapasitas dari pengisi posisi di lembaga ini harus menjadi perhatian. Dalam kondisi kerukunan yang terganggu, elite-elite atau tokoh utama selalu menjadi pilihan. Jangan sampai pemerintah tergoda untuk menempatkan para medioker di lembaga yang fungsinya penting dan signifikan. Publik akan mencibirnya sebagai pencari jabatan.
Semoga ke depan kerukunan kita makin kuat demi kemajuan bangsa ini.
(zik)