RUU Penyiaran

Rabu, 08 November 2017 - 07:36 WIB
RUU Penyiaran
RUU Penyiaran
A A A
Danang S Buwana
Mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

RANCANGAN Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang didesain sejak periode DPR RI lalu, masih mengalami kebuntuan dan berbagai permasalahan. Sebagai Program Legislasi Nasional 2017, RUU ini ditargetkan selesai dan disahkan pada tahun ini. Kini arus utama kebuntuan RUU terletak pada pengelolaan dan model penyelenggaraan multiplexing (mux) dalam proses digitalisasi penyiaran. Setidaknya muncul tiga model yang kini sedang menjadi polemik, yakni single mux operator (pengelolaan tunggal oleh pemerintah yang dalam hal ini Televisi Republik Indonesia/TVRI), multi mux operator (lembaga penyiaran swasta/LPS eksisting yang menjadi pengelola mux), dan model hybrid (pengelolaan campuran, baik oleh TVRI maupun LPS eksisting).

Hadirnya UU Penyiaran yang baru nanti jangan hanya direduksi sebatas akomodasi terhadap tarik-menarik antar kepentingan, tapi lebih jauh, harus mampu mengagregasi dan mengakomodasi kepentingan pelaku penyiaran serta publik yang lebih besar. Sebab substansi aturan digital dalam revisi UU Penyiaran harus merupakan ekstraksi dari upaya penelusuran akademik dan empiris secara komprehensif, terutama memperhatikan kebutuhan dan kepentingan seluruh pihak yang terlibat (stakeholder).

Kaitan dengan stakeholder, niscaya diwaspadai jangan sampai RUU ini menghambat dinamika pertumbuhan iklim industri penyiaran nasional di satu sisi dan merugikan publik di sisi lain. Jika industri penyiaran terhambat, maka iklim penyiaran nasional dan publik secara keseluruhan akan terganggu. Suasana batin ini bisa dipahami, mengingat LPS eksisting yang telah melayani publik melalui pelbagai siaran televisinya selama puluhan tahun dengan beragam infrastruktur yang telah dibangun, harus mendapat jaminan keberlanjutan industrinya.

Jaminan itu hadir jika RUU Penyiaran memastikan ‘tidak ada pemisahan’ antara pengelolaan infrastruktur frekuensi (mux) dengan pengelolaan konten. Pemisahan berdampak kerugian besar, di antaranya: (1) tanah, tower, dan bangunan infrastruktur akan terbengkalai; (2) aset saham (portofolio) akan terdegradasi; dan (3) hambatan pada penggunaan teknologi masa depan.

Jalan Tengah
Hemat penulis, perdebatan harus diusaikan dengan mengacu pada prinsip keadilan dan kemanfaatan bersama, yakni orientasi untuk menyelamatkan semua pihak. Bahwa masing-masing pihak harus sama-sama legowo dan mengambil jalan tengah yang proporsional, adil, dan mempertimbangkan segala dampak yang akan terjadi. Baik dampak teknisoperasional, dampak ekonomi-bisnis, dan terpenting adalah dampak sosial bagi publik. Jalan tengah yang paling akomodatif dan proporsional adalah model campuran.

Dengan model ini, pemerintah melalui TVRI/RTRI bisa mengontrol dan mengelola sistem penyiaran digital sesuai kewenangannya, terutama dalam mengelola digital dividend. Sementara LPS juga tidak dirugikan karena beragam infrastruktur yang sudah ada bisa termanfaatkan dengan baik. Sekali lagi, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kerugian dari pembangunan infrastruktur yang telah dikeluarkan LPS. Jalan tengah ini adalah ikhtiar menyelamatkan dampak pada bisnis LPS di satu sisi dan sekaligus memberikan kewenangan besar kepada pemerintah terhadap pengelolaan penyiaran digital dan digital dividend.

Strategi operasional dari model campuran bisa dirancang dalam dua pola, yakni pertama, pembagian pengelolaan berbasis konsorsium. TVRI/RTRI diberikan kewenangan mengelola mux untuk TVRI, LPP lokal, dan lembaga penyiaran komunitas. Sementara LPS-LPS dalam bentuk konsorsium diberikan kewenangan untuk mengelola mux para anggota konsorsium tersebut.

Kedua, pembagian berbasis grup. Masing-masing grup LPS diberi kewenangan pengelolaan satu mux dan sisanya bisa dikelolakan ke LPS lain di luar grup dengan pola dan sistem transaksi yang diatur pemerintah. Apakah pilihan jatuh pada pola pertama ataukah pola kedua dalam sistem campuran ini, yang terpenting adalah RUU Penyiaran tidak memisahkan antara pengelolaan infrastruktur dan industri konten.

Selamatkan Publik
Sekali lagi, polemik tarik ulur model bisnis multipleksing pada digitalisasi penyiaran harus segera dituntaskan dan dipilih jalan tengah yang proporsional seperti di atas. Selanjutnya hal penting yang justru harus dijadikan main streaming isu pada RUU Penyiaran adalah bagaimana melandingkan digitalisasi ini dengan baik. Penulis mencatat beberapa hal penting harus diperhatikan oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah dalam proses penyusunan revisi UU Penyiaran agar benar-benar menjadi manfaat bagi masyarakat dan menjamin kepentingan publik.

Pertama, revisi UU Penyiaran berbasis pada sistem penyiaran digital diarusutamakan pada struktur lembaga penyiaran, sistem kerja sama, masalah penarifan, masalah pemerataan pembangunan di wilayah ekonomi kurang maju, durasi perizinan, dan terutama perlindungan publik terhadap konten siaran.

Kedua, perencanaan yang matang dan transparan oleh pemerintah dalam menyusun master plan frekuensi untuk penyiaran digital terestrial. Terdapat banyak hal yang dikaji khususnya terkait dengan rasio kebutuhan frekuensi pada saat ini dan kebutuhan di masa datang, terutama adaptasi dan pemenuhan kebutuhan perkembangan teknologi.

Ketiga, teknologi penyiaran digital melalui sistem multipleksing akan mengubah paradigma industri penyiaran di Indonesia akibat kemungkinan bertambahnya jumlah lembaga penyelenggara program siaran. Hal ini secara ekonomi akan menimbulkan persaingan dalam hal pencapaian pendapatan iklan melalui program siaran yang ditayangkan. Agar tidak terjadi penyiaran program siaran tidak sehat secara kualitas dan berdampak kurang baik bagi publik, maka seharusnya program siaran yang akan disiarkan harus ditata sedemikian rupa. Penataan ini juga dimaksudkan menghindarkan terjadinya penyiaran program-program ”murahan” yang hanya bertujuan menayangkan sensasi untuk menarik minat penonton sehingga memiliki rating tinggi.

Keempat, dibutuhkan moratorium perizinan lembaga penyiaran televisi hingga seluruh perangkat regulasi selesai dibuat. Hal ini diperlukan agar para pelaku usaha memperoleh kejelasan sebelum memulai aktivitas usahanya. Kejelasan tersebut juga dibutuhkan untuk melakukan kalkulasi bisnis dengan baik agar industri penyiaran Indonesia tidak terlalu merugi akibat keharusan migrasi dari analog ke digital.

Digitalisasi penyiaran harus diimplementasikan sebagai sebuah keniscayaan adaptasi perkembangan sistem informasi dan teknologi. Pengaturannya di RUU Penyiaran harus mempertimbangkan semua aspek dan dampaknya. Pada akhirnya, RUU Penyiaran tidak boleh menjadi laboratorium percobaan kebijakan karena akan mengancam eksistensi penyiaran nasional.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5926 seconds (0.1#10.140)