Rencana, Eksekusi, dan Dampak
A
A
A
KITA memang boleh berbangga dengan meningkatnya peringkat kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia 2018 melonjak ke peringkat 72 dari sebelumnya di urutan 91. Lonjakan ini merupakan kali dua karena pada EODB 2017 posisi Indonesia juga berhasil naik 15 peringkat dari 106 menjadi 91. Dengan demikian, dalam dua tahun terakhir posisi Indonesia telah naik 34 peringkat. Namun, pemerintah mempunyai target tahun 2020 peringkat kemudahan berbisnis di 40.
Adanya lompatan signifikan tersebut merupakan indikasi pengakuan dunia bahwa Pemerintah Indonesia serius melakukan reformasi perekonomian. Indikator perhitungan EODB diukur dari 10 indikator, yaitu starting a business (memulai usaha), dealing with construction permits (izin mendirikan bangunan), getting electricity (akses listrik), registering property (pendaftaran properti), getting credit (akses kredit), protecting minority investors (perlindungan investor minoritas), paying taxes (pembayaran pajak), trading across borders (perdagangan lintas batas), enforcing contracts (penegakan kontrak), dan resolving insolvency (penyelesaian kepailitan).
Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam, Indonesia masih kalah. Namun, tampaknya tidak apple to apple jika dibandingkan dengan lima negara ASEAN di atas. Karena untuk memenuhi 10 indikator di atas berjalan dengan baik, ada pengaruh signifikan dengan sistem politik negara. Pemerintahan yang cenderung top down akan lebih mudah mengontrol 10 indikator dengan baik. Sedangkan negara demokrasi seperti Indonesia membutuhkan waktu dan pihak yang banyak untuk mengomunikasikan sebuah rencana atau bahkan eksekusi. Jadi, akan fair jika membandingkan Indonesia dengan negara-negara bersistem politik yang hampir sama, contohnya Filipina.
Dalam sisi perencanaan pemerintah memang patut kita berikan apresiasi. Beberapa kali perombakan untuk memudahkan doing business memang dilakukan di antaranya penyederhanaan izin dan pembangunan infrastruktur. Perencanaan yang dilakukan pemerintah tampaknya matang sehingga memudahkan melakukan eksekusi perencanaan. Dalam sebuah program, ada tiga hal yang mesti dilihat. Pertama adalah perencanaan. Pemerintah tampaknya telah melakukan dengan baik, apalagi perencanaan tersebut berorientasi jauh ke depan atau beberapa pihak menyebutkan investasi. Kedua adalah eksekusi. Dengan adanya peningkatan kemudaan bisnis, artinya eksekusi dari perencanaan berhasil cukup baik. Meskipun dari 10 indikator tersebut, ada beberapa yang masih harus digenjot, yaitu soal paying taxes (pembayaran pajak) yang mendapat poin kurang memuaskan meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan dua tahun lalu.
Dari capaian tersebut, ini berarti antara perencanaan dan eksekusi mempunyai kohesi yang bagus. Memang akan menjadi sekadar wacana dan jargon, jika perencanaan tanpa ada eksekusi. Sedangkan eksekusi tanpa ada perencanaan, maka hasilnya juga tidak akan maksimal atau tidak efektif. Sedangkan hal ketiga yang harus benar-benar diperhatikan dan menjadi tujuan sebuah program adalah impact (dampak). Mungkin pertanyaan sederhana adalah setelah peringkat EODB Indonesia naik, apakah investor akan berdatangan? Jika investor berdatangan, apakah akan mengangkat ekonomi Indonesia? Lalu, jika ekonomi tumbuh signifikan, apakah akan membuat masyarakat Indonesia semakin sejahtera?
Impact inilah yang sebenarnya harus menjadi fokus lebih oleh pemerintah. Sebab akan menjadi percuma, jika perencanaan dan eksekusi baik, tapi justru tidak berdampak. Dalam teori delapan langkah perubahan dari John P Kotter, hasil EODB baru masuk pada langkah keenam, yaitu menciptakan kemenangan jangka pendek. Jika belum berdampak, maka perubahan yang dilakukan pemerintah belum berhasil. Tentu dengan adanya perbaikan peringkat ini harus diikuti dengan tumbuhnya nilai investasi, ekonomi, hingga mampu menyejahterakan masyarakat. Dengan begitu, maka kenaikan peringkat EODB akan benar-benar dirasakan masyarakat.
Adanya lompatan signifikan tersebut merupakan indikasi pengakuan dunia bahwa Pemerintah Indonesia serius melakukan reformasi perekonomian. Indikator perhitungan EODB diukur dari 10 indikator, yaitu starting a business (memulai usaha), dealing with construction permits (izin mendirikan bangunan), getting electricity (akses listrik), registering property (pendaftaran properti), getting credit (akses kredit), protecting minority investors (perlindungan investor minoritas), paying taxes (pembayaran pajak), trading across borders (perdagangan lintas batas), enforcing contracts (penegakan kontrak), dan resolving insolvency (penyelesaian kepailitan).
Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam, Indonesia masih kalah. Namun, tampaknya tidak apple to apple jika dibandingkan dengan lima negara ASEAN di atas. Karena untuk memenuhi 10 indikator di atas berjalan dengan baik, ada pengaruh signifikan dengan sistem politik negara. Pemerintahan yang cenderung top down akan lebih mudah mengontrol 10 indikator dengan baik. Sedangkan negara demokrasi seperti Indonesia membutuhkan waktu dan pihak yang banyak untuk mengomunikasikan sebuah rencana atau bahkan eksekusi. Jadi, akan fair jika membandingkan Indonesia dengan negara-negara bersistem politik yang hampir sama, contohnya Filipina.
Dalam sisi perencanaan pemerintah memang patut kita berikan apresiasi. Beberapa kali perombakan untuk memudahkan doing business memang dilakukan di antaranya penyederhanaan izin dan pembangunan infrastruktur. Perencanaan yang dilakukan pemerintah tampaknya matang sehingga memudahkan melakukan eksekusi perencanaan. Dalam sebuah program, ada tiga hal yang mesti dilihat. Pertama adalah perencanaan. Pemerintah tampaknya telah melakukan dengan baik, apalagi perencanaan tersebut berorientasi jauh ke depan atau beberapa pihak menyebutkan investasi. Kedua adalah eksekusi. Dengan adanya peningkatan kemudaan bisnis, artinya eksekusi dari perencanaan berhasil cukup baik. Meskipun dari 10 indikator tersebut, ada beberapa yang masih harus digenjot, yaitu soal paying taxes (pembayaran pajak) yang mendapat poin kurang memuaskan meskipun masih lebih baik dibandingkan dengan dua tahun lalu.
Dari capaian tersebut, ini berarti antara perencanaan dan eksekusi mempunyai kohesi yang bagus. Memang akan menjadi sekadar wacana dan jargon, jika perencanaan tanpa ada eksekusi. Sedangkan eksekusi tanpa ada perencanaan, maka hasilnya juga tidak akan maksimal atau tidak efektif. Sedangkan hal ketiga yang harus benar-benar diperhatikan dan menjadi tujuan sebuah program adalah impact (dampak). Mungkin pertanyaan sederhana adalah setelah peringkat EODB Indonesia naik, apakah investor akan berdatangan? Jika investor berdatangan, apakah akan mengangkat ekonomi Indonesia? Lalu, jika ekonomi tumbuh signifikan, apakah akan membuat masyarakat Indonesia semakin sejahtera?
Impact inilah yang sebenarnya harus menjadi fokus lebih oleh pemerintah. Sebab akan menjadi percuma, jika perencanaan dan eksekusi baik, tapi justru tidak berdampak. Dalam teori delapan langkah perubahan dari John P Kotter, hasil EODB baru masuk pada langkah keenam, yaitu menciptakan kemenangan jangka pendek. Jika belum berdampak, maka perubahan yang dilakukan pemerintah belum berhasil. Tentu dengan adanya perbaikan peringkat ini harus diikuti dengan tumbuhnya nilai investasi, ekonomi, hingga mampu menyejahterakan masyarakat. Dengan begitu, maka kenaikan peringkat EODB akan benar-benar dirasakan masyarakat.
(pur)