''Kiamatkah'' Pekerjaan/Profesi Kita?

Senin, 30 Oktober 2017 - 07:50 WIB
Kiamatkah Pekerjaan/Profesi...
''Kiamatkah'' Pekerjaan/Profesi Kita?
A A A
Munawar Kasan
Pengurus Indonesia Risk Management Professional Association (Irmapa)

Pada tanggal 31 Oktober ini, pekerjaan menjaga pintu tol hilang. Pembayaran tol di Indonesia digantikan dengan uang elektronik. Ribuan penjaga pintu tol terkena dampaknya. Untungnya, Ketua Badan Pengatur Jalan Tol memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja.

Sebelum ini, sudah banyak jenis pekerjaan yang (mulai) punah. Fenomena ini akan terus berlanjut. Semakin banyak pekerjaan yang akan diotomasi. Tidak perlu tenaga orang lagi. Menurut World Economic Forum (WEF), ada lima juta pekerjaan yang hilang sebelum tahun 2020 dampak dari kecerdasan artifisial, robot, nanoteknologi, dan faktor sosial ekonomi. Teknologi telah memunahkan banyak jenis pekerjaan sekaligus memunculkan banyak kesempatan baru.

Bagaimana dengan pekerjaan kita? Jika kita merasa aman-aman saja dan merasa pekerjaan kita tak akan tergantikan oleh robot dan komputer, maka itu artinya kita perlu banyak gaul. Sebuah situs www.willrobotstakemyjob.com dapat mendemonstrasikan prediksi pekerjaan/profesi apa yang akan digantikan oleh robot dan seberapa besar ancamannya.

Profesi sebagai auditor atau akuntan misalnya, diprediksi 94% akan diotomasi. Hal serupa terjadi pada sopir taksi yang terancam eksistensinya sebesar 89%. Kemudian juga kredit analis dan kasir yang 98% dan 97% kemungkinan akan diotomasi. Sebaliknya situs tersebut juga menyajikan pekerjaan/profesi yang masih belum terancam oleh otomasi, seperti instruktur, manajer pertanian, dan koreografer. Akurasinya memang tidak 100%, tetapi situs ini dibuat berdasarkan laporan akademis yang dipublikasikan tahun 2013 oleh Carl Benedikt dan Michael A. Osborne dari Universitas Oxford (Fox­news, 2017).

Perubahan akibat teknologi saat ini sudah eksponensial. Sangat cepat. Menurut PricewaterhouseCoopers (2017), dunia menghadapi megatren yang dipicu oleh lima hal, yakni lompatan teknologi, pergeseran demografi, urbanisasi yang cepat, pergeseran kekuatan ekonomi global, dan menipisnya sumber daya alam dan per­ubahan iklim. Otomasi, robot, dan kecerdasan artifisial, secara dramatis mengubah sifat serta jumlah pekerjaan. Teknologi bisa meningkatkan produktivitas dan standar hidup. Tetapi dampaknya bisa memicu kerusuhan sosial dan pergolakan politik apabila tidak dibagi secara adil.

Bagaimana kita menghadapi tantangan dunia kerja ke depan? Bagaimana menyiapkan anak-anak kita agar mampu memenangkan masa depan? Anak-anak kita mungkin tidak menemukan beberapa pekerjaan yang saat ini ada. Selain itu, juga di masa depan akan banyak jenis pekerjaan baru yang saat ini belum terbayangkan.

Dalam sebuah kesempatan, bos Alibaba, Jack Ma menyatakan, dunia sudah berubah banyak oleh teknologi (komputer). Komputer bisa melakukan banyak hal lebih baik daripada yang dilakukan manusia. Dalam mempersiapkan anak-anak 20-30 tahun ke depan, dia menyarankan agar tidak mengajarkan anak-anak dengan keterampilan yang bisa dilakukan oleh komputer lebih baik. Anak-anak harus diajarkan hal yang tidak bisa dilakukan komputer dengan lebih baik, yakni kreatif, inovatif, kerja sama tim, dan terkait budaya.

WEF mencatat ada pergeseran 10 keterampilan yang paling dibutuhkan di tahun 2020 dibandingkan tahun 2015. Tahun 2020, keterampilan di bidang pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, dan kreatif adalah yang paling dibutuhkan. Disusul dengan manajemen sumber daya manusia dan koordinasi dengan orang lain. Lebih lanjut WEF juga memetakan 16 keterampilan yang dibutuhkan di abad 21 dibagi dalam tiga kelompok, yaitu literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakter.

Mengelola Dampak Teknologi
Kita menghadapi risiko akibat lompatan teknologi. Ada sisi ancaman (downside risk) dan ada sisi peluang (upside risk). Menghadapi dunia kerja yang berubah cepat dan tantangan ke depan, kita membutuhkan manajemen risiko yang efektif. Pemerintah bersama aparatur­nya harus melakukan langkah-langkah mitigasi komprehensif. Dari sisi personal, kita juga perlu melakukan hal yang sama (personal risk management).

Setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan risiko masa depan terkait dengan peker­jaan/profesi. Pertama, perlu pendidikan dan pelatihan sejak dini terhadap keterampilan yang dibutuhkan untuk masa depan. Kreativitas, berpikir kritis, dan kebutuhan keterampilan masa depan lainnya, perlu dikuatkan dalam pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Mahasiswa yang akan menghadapi dunia kerja perlu diintensifkan dengan keterampilan tersebut.

Kedua, kita perlu melihat kembali seberapa aman pekerjaan/ profesi kita di masa datang. Jika terancam, kita sudah harus mulai adaptif untuk pekerjaan lain. Sebagai tukang loper koran misalnya, dengan adanya internet dan e-paper, jumlah pelanggan koran yang perlu diantar mulai terus berkurang. Pindah pekerjaan memang sulit, tetapi akan lebih sulit lagi jika tidak disiapkan sejak awal. Hal ini juga berlaku bagi korporasi.

Ketiga
, perlu memantau pekerjaan/profesi apa yang di­butuhkan di masa depan. Bagi (calon) pekerja ini menjadi bekal untuk mempertajam kompetensi yang dimiliki. Pekerjaan/profesi akan makin terspesialisasi. Sensitivitas terhadap pekerjaan di masa depan akan bisa mempertajam rangsangan menciptakan pekerjaan dan peluang baru.

Keempat, senjata 'sapu jagat' yang kita bisa gunakan adalah kita harus terus belajar. Tak pernah berhenti. Ini menjadi senjata ampuh segala zaman dan tantangan. Mengutip kata Alvin Toffler,"The illiterate of the 21st Century are not those who cannot read and write but those who cannot learn, unlearn and relearn."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0512 seconds (0.1#10.140)