Bung Hatta dan 'Kesadaran'
A
A
A
Mudji Sutrisno, SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
KETIKA Sigmund Freud belum menemukan psikoanalisisnya (baca: analisis kejiwaan manusia), penentu kehidupan manusia dan realitas hidupnya. Maka dipiculah sistem pendidikan kesadaran mulai dari tingkat taman kanak-kanak (kini bernama PAUD, pendidikan anak usia dini), SD, SLTP, SMA, lalu akademi atau perguruan tinggi alias universitas. Asumsi di belakangnya adalah semakin dikembangkan kesadaran manusia dengan intinya, yaitu “kecerdasan” atau intelligence, semakin realitas dikembangkan lantaran kesadaran (cerdas budi) menjadi perangkai, bahkan perekayasa sistem hidup bersama. Maka muncul adagium: system is a rational (consciousness) ordering of reality (or ‘something’).
Karena itu, pendidikan bertumpu pada ikhtiar dan kerja-kerja mencerahkan budi, mencerdaskan kesadaran. Inilah menjadi salah satu jawaban mengapa pendulum porsi kognisi dan kecerdasan budi “terlalu besar” diberi ruang untuk sistem pendidikan. Sigmund Freud membalikkan persepsi publik ini dengan psikoanalisisnya yang diteruskan muridnya mulai dari Carl Gustav Jung, Jacques Lacan, dan lain-lain, yang menegaskan “ketidaksadaran” manusia itu lebih menentukan hidup manusia.
Freud menuliskan pengalaman-pengalaman para pasiennya dalam asosiasi bebas lalu menjadi analisis psiko. Dia merangkumkan pengalaman-pengalaman traumatik bawah sadar usia 0-5 tahun saat manusia “belum memakai kesadarannya” menjadi sumber jiwa yang “sakit” apabila tidak diproses dan diangkat ke kesadaran untuk menerima dan mengolah trauma-trauma bawah sadar menjadi disadari dan diterima oleh kesadarannya. Luka di alam bawah sadar menjadi “beban psikis” yang traumatik manakala seseorang pernah diperkosa, diperlakukan dengan kekerasan ataupun dilukai oleh peristiwa traumatik kekerasan kemanusiaan.
Dengan kehadiran Freud sebenarnya keseimbangan sisi sadar rasional budi manusia dan “sisi afektif” bawah sadarnya mengalami proses keseimbangan untuk penyembuhan masalah-masalah traumatik bawah sadarnya untuk mencapai kesadaran yang sehat. Dengan kata lain, ketidaksadaran yang bersumber pada “hasrat”, libido instingtual merupakan realitas atau kenyataan dalam psikis manusia yang harus didialogkan dengan ego sadar untuk memenuhi atau menundanya sesuai kebutuhan nyata. Memenuhi dorongan hasrat (baca: ID) instingtual sesuai kebutuhan, lalu membuka dua macam pemenuhan, yaitu dipenuhi untuk penikmatan (prinsip kenikmatan atau pleasure principle) dan demi pemenuhan kebutuhan yang disesuaikan realitas (reality principle).
Paparan di atas menggarisbawahi dua pokok penting, yaitu manusia itu tetap berpijak dengan kesadaran budinya di mana egonya yang mendiskresi untuk memenuhi tidaknya hasrat nalurinya. Yang kedua, kenyataan endapan-endapan bawah sadar yang luka, yang merupakan hujaman yang “dipaksakan” ditelan mentah-mentah oleh kita semua semasa masih anak-anak (0-5 tahun) yang belum “berkesadaran” untuk berani mengatakan tidak pada pukulan orang tua, guru atau aturan-aturan adat. Itulah superego yang terus kita bawa sebagai “cacat bawaan ketidaksadaran” yang tidak kali membutuhkan proses penyadaran kembali (baca: diangkat ke kesadaran untuk diterima dan si ego berdamai dengannya dalam proses mau menyadari bahwa trauma itu pernah terjadi, menjadi luka batin, ada bekasnya, namun kita proses penyembuhannya terus menerus.
***
Pengalaman bawah sadar Freud dikembangkan oleh Gustav Jung dalam ranah lebih luas, yaitu bangsa. Setiap bangsa memiliki trauma kolektifnya dalam sejarah yang oleh Jung disebut sebagai “shadow“. Contohnya Jerman dengan Hitlernya. Bagaimana mungkin bangsa Jerman dengan komponis-komponis besar dunia Mozart, Beethoven, Bach, Strauss bisa tampil dengan sejarah “holocaust“ perang dunia kedua?
Becermin dengan cara penalaran serupa bangsa kita “selalu” pula dihadapkan pada sulitnya rekonsiliasi untuk kejahatan kemanusiaan kita atas nama “amok” dan culik-menculik semasa revolusi, menusuk dari belakang dengan tega untuk membunuh, serta peristiwa kelam 1965; peristiwa 1996-2005 reformasi sampai Ambon, Poso, Jawa? Bahkan secara bahasa sebagai ekspresi pilihan kalimat “sadar” dalam berbahasa oleh Jacques Lacan dilanjutkan penelitian soal bawah sadarnya gurunya, yaitu Freud dalam fase “cermin” setiap kita mengalami proses mau menjadi sehat psikisnya.
Fase cermin ini merupakan fase anak saat mulai membedakan dirinya di depan cermin, lalu mengucapkan bahasa awal ekspresif yang menjadi kritis bila gagal melewatinya. Karena di situlah si anak melihat mulai sadar bahwa yang di cermin itu cerminan dirinya sekaligus bukan dirinya tetapi “yang lain”, yang lalu menjadi “the other“ atau “sesama”. Antara merumuskan dengan bahasa kata dalam kesadaran budi yang masih terus dibayangi oleh bawah sadar pengalaman-pengalaman “unpleasant“ (negatif, tidak nyaman) sangat kelihatan dalam ungkapan memperhalus bahasa (eufemisme). Ada dua macam penghalusan bahasa yang satu untuk “menutupi” kenyataan dan “displacement“ mengalihkannya pada topeng kesantunan, namun “dusta” karena untuk membungkus, menutupi kenyataan.
Yang kedua, ekspresi bahasa yang menghaluskan karena “bawah sadar” kita diperintahkan oleh “super ego tata sopan berbicara” untuk mengucapkannya tidak sesuai kenyataan. Namun, karena bahasa adalah media ucap dan literasi yang dikonstruksi oleh “apa yang dipandang, dipersepsi bernilai menurut masanya”, maka ekspresi “sadar” bahasa diberi bobot menurut nilai aktualnya. Contohnya: karena kita dikonstruksi oleh tingginya nilai ekonomi, maka pelacur kita sebut “pekerja seks komersial” untuk contoh kesantunan nomor satu yang “dusta” di atas pelacur disebut “tuna susila”. Hanya tuna saja kesusilaannya. Sama seperti busung lapar sebagai kenyataan kita haluskan secara “dusta” sebagai “kurang gizi”.
***
Paparan-paparan di atas membawa kita pada pentingnya kesadaran untuk menjadi sehat jiwa sebagai pribadi maupun bangsa dengan “mengolah trauma-trauma: pengalaman negatif luka batin kita”, sebagai simpulan satu. Simpulan kedua, erat padunya antara kesadaran dan bahasa kita dalam mengungkapkan pendapat atau yang di dalam hati dan budi kita, terutama endapan bawah sadar luka kita. Pepatah yang teruji sejarah berbahasa merangkumkan antara kesadaran berucap berbahasa dan yang di hati sebagai sumbernya, entah luka entah suka. “Ex abundantia cordis“, artinya dari relung hati terdalam bila itu berisi beban luka akan muncul ekspresi pahit menyakitkan. Dari beban hatilah terucap jujur apa yang sedang ada di bawah sadar dan diucapkan oleh kesadaran, namun difilter oleh akal budi.
Kini kita memahami sekali mengapa Bung Hatta setelah dibuang di Boven Digul dengan banyak teman yang mati gugur, terutama hancur psikis dan kesadarannya. Karena keadaan Boven Digul yang “mengerikan” dan menghancurkan kemanusiaan sadar dan psikis sampai hancur, ia menulis Sejarah Pemikiran Yunani! Sebab utamanya, beliau menjelaskan perlunya bangsa Indonesia ini kuat rasionalitas budinya dengan kesadarannya untuk menghadapi tantangan emosi, frustrasi dan putus asa eksistensial.
Dengan kesadaran budi jernihlah pandu diri manusia dibentuk, dikuatkan dan dididik. Yang lebih fenomenal karena Bung Hatta memberikan buku tulisan itu sebagai mas kawin untuk istrinya, Rahmi Hatta. Sebuah simbolik visioner untuk persoalan mentalitas bangsa ini yang selalu susah mengolah trauma masa lalunya sejak revolusi, tahap sejarah kelam 1965, lalu 1996-2000 dan yang sekarang.
Semuanya memang fakta peristiwa yang dialami pahit dan menjadi luka bangsa. Namun, rupanya harus berani “rendah hati” untuk memosisikan kita semua sebagai “sama-sama korban” oleh hasrat liar sesama sebangsa yang mestinya menurut renung religi dan religiositas selalu diundang untuk “rekonsiliasi” dan menyelesaikannya dalam kesadaran dewasa untuk mau menatap maju ke depan.
***
Sewaktu saya menjadi komisioner Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dan Timor Leste saya mendapatkan pengalaman berharga. Seluruh proses hukum, pendataan kerugian nyawa, materi dan sidang-sidang penyelidikan di lapangan, bolak-balik ditekuni dan dihayati bersama. Namun, yang bagi saya menyentuh dan menyapa hati serta nurani secara mendalam adalah life wisdom saudara dan saudari di Timor Leste yang menangis karena kehilangan saudara, keluarga, dan hartanya semasa perang, tetapi dengan terbata-bata mereka mengungkap ke saya untuk mau mengampuni, karena kami beriman pada Yesus Kristus yang mengajari untuk mengampuni musuh-musuh serta memberi ampun maaf tujuh puluh tujuh kali.
Rupanya kesediaan menerima posisi yang sama-sama jadi korban dan mau mengampuni itu melampaui jalan hukum yang selalu minta hukuman setimpal dengan perbuatan. Jalan hukum memang perlu untuk nilai keadilan agar cukup sudah peristiwa ini sampai di sini saja. Cukup sudah era balas membalas dengan darah sampai di sini. Cukup sudah kejahatan kemanusiaan yang sama-sama kita lakukan, kita stop di sini agar energi daya hidup kreatif ke masa depan bisa kita tenun dan rajut terus justru dengan rekonsiliasi tindakan keadaban sebagai manusia kita.
Justru di titik inilah jari tangan saya bergetar, lantaran memahami dengan mendalam sekali mengapa Bung Hatta pula yang menorehkan kalimat kunci “mencerdaskan kehidupan bangsa” di alinea pokok pembukaan konstitusi dan sebagai sumber serta dasar edukasi kesadaran cerdas perikehidupan bangsa kita, bila mau menapaki jalan peradaban dan bukan kebiadaban mengikuti naluri-naluri bawah sadar hasrat-hasrat liar yang butuh edukasi-edukasi kesadaran!
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
KETIKA Sigmund Freud belum menemukan psikoanalisisnya (baca: analisis kejiwaan manusia), penentu kehidupan manusia dan realitas hidupnya. Maka dipiculah sistem pendidikan kesadaran mulai dari tingkat taman kanak-kanak (kini bernama PAUD, pendidikan anak usia dini), SD, SLTP, SMA, lalu akademi atau perguruan tinggi alias universitas. Asumsi di belakangnya adalah semakin dikembangkan kesadaran manusia dengan intinya, yaitu “kecerdasan” atau intelligence, semakin realitas dikembangkan lantaran kesadaran (cerdas budi) menjadi perangkai, bahkan perekayasa sistem hidup bersama. Maka muncul adagium: system is a rational (consciousness) ordering of reality (or ‘something’).
Karena itu, pendidikan bertumpu pada ikhtiar dan kerja-kerja mencerahkan budi, mencerdaskan kesadaran. Inilah menjadi salah satu jawaban mengapa pendulum porsi kognisi dan kecerdasan budi “terlalu besar” diberi ruang untuk sistem pendidikan. Sigmund Freud membalikkan persepsi publik ini dengan psikoanalisisnya yang diteruskan muridnya mulai dari Carl Gustav Jung, Jacques Lacan, dan lain-lain, yang menegaskan “ketidaksadaran” manusia itu lebih menentukan hidup manusia.
Freud menuliskan pengalaman-pengalaman para pasiennya dalam asosiasi bebas lalu menjadi analisis psiko. Dia merangkumkan pengalaman-pengalaman traumatik bawah sadar usia 0-5 tahun saat manusia “belum memakai kesadarannya” menjadi sumber jiwa yang “sakit” apabila tidak diproses dan diangkat ke kesadaran untuk menerima dan mengolah trauma-trauma bawah sadar menjadi disadari dan diterima oleh kesadarannya. Luka di alam bawah sadar menjadi “beban psikis” yang traumatik manakala seseorang pernah diperkosa, diperlakukan dengan kekerasan ataupun dilukai oleh peristiwa traumatik kekerasan kemanusiaan.
Dengan kehadiran Freud sebenarnya keseimbangan sisi sadar rasional budi manusia dan “sisi afektif” bawah sadarnya mengalami proses keseimbangan untuk penyembuhan masalah-masalah traumatik bawah sadarnya untuk mencapai kesadaran yang sehat. Dengan kata lain, ketidaksadaran yang bersumber pada “hasrat”, libido instingtual merupakan realitas atau kenyataan dalam psikis manusia yang harus didialogkan dengan ego sadar untuk memenuhi atau menundanya sesuai kebutuhan nyata. Memenuhi dorongan hasrat (baca: ID) instingtual sesuai kebutuhan, lalu membuka dua macam pemenuhan, yaitu dipenuhi untuk penikmatan (prinsip kenikmatan atau pleasure principle) dan demi pemenuhan kebutuhan yang disesuaikan realitas (reality principle).
Paparan di atas menggarisbawahi dua pokok penting, yaitu manusia itu tetap berpijak dengan kesadaran budinya di mana egonya yang mendiskresi untuk memenuhi tidaknya hasrat nalurinya. Yang kedua, kenyataan endapan-endapan bawah sadar yang luka, yang merupakan hujaman yang “dipaksakan” ditelan mentah-mentah oleh kita semua semasa masih anak-anak (0-5 tahun) yang belum “berkesadaran” untuk berani mengatakan tidak pada pukulan orang tua, guru atau aturan-aturan adat. Itulah superego yang terus kita bawa sebagai “cacat bawaan ketidaksadaran” yang tidak kali membutuhkan proses penyadaran kembali (baca: diangkat ke kesadaran untuk diterima dan si ego berdamai dengannya dalam proses mau menyadari bahwa trauma itu pernah terjadi, menjadi luka batin, ada bekasnya, namun kita proses penyembuhannya terus menerus.
***
Pengalaman bawah sadar Freud dikembangkan oleh Gustav Jung dalam ranah lebih luas, yaitu bangsa. Setiap bangsa memiliki trauma kolektifnya dalam sejarah yang oleh Jung disebut sebagai “shadow“. Contohnya Jerman dengan Hitlernya. Bagaimana mungkin bangsa Jerman dengan komponis-komponis besar dunia Mozart, Beethoven, Bach, Strauss bisa tampil dengan sejarah “holocaust“ perang dunia kedua?
Becermin dengan cara penalaran serupa bangsa kita “selalu” pula dihadapkan pada sulitnya rekonsiliasi untuk kejahatan kemanusiaan kita atas nama “amok” dan culik-menculik semasa revolusi, menusuk dari belakang dengan tega untuk membunuh, serta peristiwa kelam 1965; peristiwa 1996-2005 reformasi sampai Ambon, Poso, Jawa? Bahkan secara bahasa sebagai ekspresi pilihan kalimat “sadar” dalam berbahasa oleh Jacques Lacan dilanjutkan penelitian soal bawah sadarnya gurunya, yaitu Freud dalam fase “cermin” setiap kita mengalami proses mau menjadi sehat psikisnya.
Fase cermin ini merupakan fase anak saat mulai membedakan dirinya di depan cermin, lalu mengucapkan bahasa awal ekspresif yang menjadi kritis bila gagal melewatinya. Karena di situlah si anak melihat mulai sadar bahwa yang di cermin itu cerminan dirinya sekaligus bukan dirinya tetapi “yang lain”, yang lalu menjadi “the other“ atau “sesama”. Antara merumuskan dengan bahasa kata dalam kesadaran budi yang masih terus dibayangi oleh bawah sadar pengalaman-pengalaman “unpleasant“ (negatif, tidak nyaman) sangat kelihatan dalam ungkapan memperhalus bahasa (eufemisme). Ada dua macam penghalusan bahasa yang satu untuk “menutupi” kenyataan dan “displacement“ mengalihkannya pada topeng kesantunan, namun “dusta” karena untuk membungkus, menutupi kenyataan.
Yang kedua, ekspresi bahasa yang menghaluskan karena “bawah sadar” kita diperintahkan oleh “super ego tata sopan berbicara” untuk mengucapkannya tidak sesuai kenyataan. Namun, karena bahasa adalah media ucap dan literasi yang dikonstruksi oleh “apa yang dipandang, dipersepsi bernilai menurut masanya”, maka ekspresi “sadar” bahasa diberi bobot menurut nilai aktualnya. Contohnya: karena kita dikonstruksi oleh tingginya nilai ekonomi, maka pelacur kita sebut “pekerja seks komersial” untuk contoh kesantunan nomor satu yang “dusta” di atas pelacur disebut “tuna susila”. Hanya tuna saja kesusilaannya. Sama seperti busung lapar sebagai kenyataan kita haluskan secara “dusta” sebagai “kurang gizi”.
***
Paparan-paparan di atas membawa kita pada pentingnya kesadaran untuk menjadi sehat jiwa sebagai pribadi maupun bangsa dengan “mengolah trauma-trauma: pengalaman negatif luka batin kita”, sebagai simpulan satu. Simpulan kedua, erat padunya antara kesadaran dan bahasa kita dalam mengungkapkan pendapat atau yang di dalam hati dan budi kita, terutama endapan bawah sadar luka kita. Pepatah yang teruji sejarah berbahasa merangkumkan antara kesadaran berucap berbahasa dan yang di hati sebagai sumbernya, entah luka entah suka. “Ex abundantia cordis“, artinya dari relung hati terdalam bila itu berisi beban luka akan muncul ekspresi pahit menyakitkan. Dari beban hatilah terucap jujur apa yang sedang ada di bawah sadar dan diucapkan oleh kesadaran, namun difilter oleh akal budi.
Kini kita memahami sekali mengapa Bung Hatta setelah dibuang di Boven Digul dengan banyak teman yang mati gugur, terutama hancur psikis dan kesadarannya. Karena keadaan Boven Digul yang “mengerikan” dan menghancurkan kemanusiaan sadar dan psikis sampai hancur, ia menulis Sejarah Pemikiran Yunani! Sebab utamanya, beliau menjelaskan perlunya bangsa Indonesia ini kuat rasionalitas budinya dengan kesadarannya untuk menghadapi tantangan emosi, frustrasi dan putus asa eksistensial.
Dengan kesadaran budi jernihlah pandu diri manusia dibentuk, dikuatkan dan dididik. Yang lebih fenomenal karena Bung Hatta memberikan buku tulisan itu sebagai mas kawin untuk istrinya, Rahmi Hatta. Sebuah simbolik visioner untuk persoalan mentalitas bangsa ini yang selalu susah mengolah trauma masa lalunya sejak revolusi, tahap sejarah kelam 1965, lalu 1996-2000 dan yang sekarang.
Semuanya memang fakta peristiwa yang dialami pahit dan menjadi luka bangsa. Namun, rupanya harus berani “rendah hati” untuk memosisikan kita semua sebagai “sama-sama korban” oleh hasrat liar sesama sebangsa yang mestinya menurut renung religi dan religiositas selalu diundang untuk “rekonsiliasi” dan menyelesaikannya dalam kesadaran dewasa untuk mau menatap maju ke depan.
***
Sewaktu saya menjadi komisioner Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dan Timor Leste saya mendapatkan pengalaman berharga. Seluruh proses hukum, pendataan kerugian nyawa, materi dan sidang-sidang penyelidikan di lapangan, bolak-balik ditekuni dan dihayati bersama. Namun, yang bagi saya menyentuh dan menyapa hati serta nurani secara mendalam adalah life wisdom saudara dan saudari di Timor Leste yang menangis karena kehilangan saudara, keluarga, dan hartanya semasa perang, tetapi dengan terbata-bata mereka mengungkap ke saya untuk mau mengampuni, karena kami beriman pada Yesus Kristus yang mengajari untuk mengampuni musuh-musuh serta memberi ampun maaf tujuh puluh tujuh kali.
Rupanya kesediaan menerima posisi yang sama-sama jadi korban dan mau mengampuni itu melampaui jalan hukum yang selalu minta hukuman setimpal dengan perbuatan. Jalan hukum memang perlu untuk nilai keadilan agar cukup sudah peristiwa ini sampai di sini saja. Cukup sudah era balas membalas dengan darah sampai di sini. Cukup sudah kejahatan kemanusiaan yang sama-sama kita lakukan, kita stop di sini agar energi daya hidup kreatif ke masa depan bisa kita tenun dan rajut terus justru dengan rekonsiliasi tindakan keadaban sebagai manusia kita.
Justru di titik inilah jari tangan saya bergetar, lantaran memahami dengan mendalam sekali mengapa Bung Hatta pula yang menorehkan kalimat kunci “mencerdaskan kehidupan bangsa” di alinea pokok pembukaan konstitusi dan sebagai sumber serta dasar edukasi kesadaran cerdas perikehidupan bangsa kita, bila mau menapaki jalan peradaban dan bukan kebiadaban mengikuti naluri-naluri bawah sadar hasrat-hasrat liar yang butuh edukasi-edukasi kesadaran!
(wib)