Kaum Santri Tulang Punggung NKRI
A
A
A
Dr. H. Jazuli Juwaini, MA
Ketua Fraksi PKS DPR RI
SECARA historis peran ulama dan santri (selanjutnya kita sebut kaum santri) tidak bisa dinafikan atau sekadar dipandang sebelah mata. Perannya tercatat dengan tinta emas sejak zaman pergerakan kemerdekaan melawan penjajah. Peran itu terus berlanjut dalam mempersiapkan kemerdekaan melalui keterlibatan aktif di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menjaga kemerdekaan republik, membangun fondasi negara Indonesia merdeka, hingga peran-peran mengisi kemerdekaan melalui keterlibatan langsung di pemerintahan dan parlemen.
Kaum santri ini lahir dan dididik dalam dunia pesantren yang merupakan sistem dan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul dari satu kearifan lokal (local wisdom) di Nusantara yang telah eksis selama berabad-abad. Di antara peran penting pesantren adalah penjagaannya terhadap karakter moral bangsa serta dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia bangsa sejak zaman pra kemerdekaan (Wardiman Djojonegoro, 1994).
Banyak tokoh besar pejuang dan peletak dasar kemerdekaan (the founding fathers/mothers) lahir dari dunia pesantren, sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, M Natsir, dan Buya Hamka. Pada periode perjuangan fisik dapat disebut pejuang republik yang berasal dari kalangan santri, seperti Jenderal Soedirman, Bung Tomo, KH Wahab Hasballoh, KH Zainal Mustofa, dan KH As’as Syamsul Arifin. Jauh sebelumnya, kita kenal pahlawan masyhur Raden Mas Antawirya yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Tjut Meutia, dan lainnya. Bahkan, Presiden pertama RI Soekarno juga pernah mengenyam pendidikan pesantren pada masa mudanya.
Jauh sebelum kemerdekaan (abad 17 hingga awal abad 19), kita juga menemukan banyak pujangga dan sastrawan sekaligus ulama besar yang dikenal dunia dan lahir dari rahim pesantren sebagai kaum santri. Tercatat nama-nama sekaliber Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yussuf Makassari, Abdul Samad Palimbani, Khatib Minangkabawi, Nawawi Bantani, Arsyad Banjari, dan lain-lain. Mereka adalah founding father pembaruan Islam di Nusantara. Karya-karya besar di bidang fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf, serta hasil kreasi intelektual mereka bukan hanya dalam skala domestik Nusantara, tapi juga sampai diakui di kawasan internasional.
Bahkan, jika ditarik lebih jauh lagi sesungguhnya sepak terjang kaum santri dalam membela kedaulatan Nusantara sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Pada 1512, misalnya, ketika embrio NKRI masih bernama kerajaan-kerajaan. Kerajaan Demak, Adipati Unus yang merupakan santri didikan Wali Sanga dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.
Sekian banyak tokoh besar yang disebut adalah sedikit dari mereka yang ditempa pendidikan pesantren. Lembaga menurut banyak kalangan masih dianggap tradisional, tapi mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, baik itu sosial, budaya, hingga permasalahan ekonomi.
Tulang Punggung NKRI Ulasan tersebut menggambarkan betapa peran pesantren dan kaum santri tidak pernah jeda dalam upaya menjaga NKRI, bahkan bisa dikatakan santri adalah tulang punggung NKRI. Perannya bukan saja sebagai juru dakwah, penjaga moral, pengader masyarakat dan pemimpin, melainkan juga turut berpartisipasi dalam memberikan fondasi bagi lahirnya negara bangsa dan fondasi bagi Indonesia merdeka.
Kaum santri memimpin perlawanan, memimpin pergerakan, bahkan memimpin negara ini mencapai kemerdekaan. Kaum santrilah yang mencetuskan Resolusi Jihad (KH Hasyim Asyari) dan bergerak mengusir penjajah di atas landasan "berperang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah". Kaum santrilah yang melahirkan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dasar negara dan konstitusi yang menjadikan Indonesia negara dijiwai oleh nilai-nilai agama yang diakui dan bukan negara sekuler. Kaum santrilah yang mencetuskan dan mengokohkan Indonesia (kembali) sebagai negara kesatuan melalui "Mosi Integral" Muhammad Natsir setelah sebelumnya ‘dipecah-pecah’ menjadi negara federal oleh Belanda. Dalam fase berikutnya, kaum santri ikut mewarnai kebijakan negara melalui partisipasi mereka dalam pemerintahan dan parlemen. Sementara sebagian yang lain mengabdikan diri dalam mencetak generasi dengan mendirikan ormas pergerakan Islam dan membangun pesantren di seantero negeri.
Kaum santri bukan sekadar pribadi dan/atau institusi, tapi dia adalah spirit tentang kecintaan pada negeri. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa kemerdekaan Indonesia dijiwai oleh spirit kaum santri. Bangunan Indonesia merdeka pun diilhami spirit kaum santri. Hingga dasar negara Pancasila secara sempurna mencerminkan nilai-nilai kaum santri sejak sila pertama hingga kelima. Pesantren bukan saja sebagai institusi pendidikan, tetapi merupakan institusi pengaderan pejuang dan pemimpin bangsa. Robert W. Hefner (1993) dan Bahtiar Effendy (1995) dengan tegas mengatakan bahwa santri sebagai sosok yang lahir dari pesantren merupakan salah satu sarana pendukung kemandirian dan pembaruan di bangsa ini.
Dengan bacaan sejarah tersebut, tegas kita katakan bahwa Indonesia merdeka adalah warisan kaum santri pejuang. Karena itu, sudah selayaknya umat Islam merasa memiliki dan bertanggung jawab atas negeri ini dengan sepenuh hati dan segenap cinta untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Sudah selayaknya pula bangsa ini mengapresiasi dan menempatkan kaum santri pada posisi yang terhormat. Salah besar jika ada persepsi atau opini meragukan kadar nasionalisme kaum santri dalam membela negeri ini. Bagaimana mungkin mereka akan berkhianat kepada negeri yang susah payah mereka perjuangkan sendiri? Tuduhan yang dialamatkan kepada kaum santri itu jelas tidak masuk akal atau bahkan perlu kita waspadai sebagai upaya pecah belah bangsa Indonesia agar tercerabut dari akar sejarahnya.
Data Kementerian Agama (2012/2013) menyebutkan jumlah pesantren di Indonesia mencapai 27.230 pesantren dengan jumlah 3,65 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi pesantren di Indonesia dengan sistemnya dalam mencetak generasi tangguh dan memproduksi tokoh pemimpin masa depan. Selain itu, ke depan pendidikan di pesantren akan semakin berkembang seiring perkembangan dunia pendidikan dan tantangan global, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkarakter.
Kita berharap kebijakan negara terhadap pendidikan pesantren semakin kuat. Kita apresiasi pemerintah saat ini yang telah mencanangkan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Hal ini tentu harus kita sambut sebagai momentum untuk merevitalisasi peran kaum santri. Revitalisasi peran ini dirasakan semakin penting bahkan mendesak untuk mengatasi berbagai problematika negeri ini. Wallahua’lam bisshawab.
Ketua Fraksi PKS DPR RI
SECARA historis peran ulama dan santri (selanjutnya kita sebut kaum santri) tidak bisa dinafikan atau sekadar dipandang sebelah mata. Perannya tercatat dengan tinta emas sejak zaman pergerakan kemerdekaan melawan penjajah. Peran itu terus berlanjut dalam mempersiapkan kemerdekaan melalui keterlibatan aktif di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menjaga kemerdekaan republik, membangun fondasi negara Indonesia merdeka, hingga peran-peran mengisi kemerdekaan melalui keterlibatan langsung di pemerintahan dan parlemen.
Kaum santri ini lahir dan dididik dalam dunia pesantren yang merupakan sistem dan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul dari satu kearifan lokal (local wisdom) di Nusantara yang telah eksis selama berabad-abad. Di antara peran penting pesantren adalah penjagaannya terhadap karakter moral bangsa serta dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia bangsa sejak zaman pra kemerdekaan (Wardiman Djojonegoro, 1994).
Banyak tokoh besar pejuang dan peletak dasar kemerdekaan (the founding fathers/mothers) lahir dari dunia pesantren, sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, M Natsir, dan Buya Hamka. Pada periode perjuangan fisik dapat disebut pejuang republik yang berasal dari kalangan santri, seperti Jenderal Soedirman, Bung Tomo, KH Wahab Hasballoh, KH Zainal Mustofa, dan KH As’as Syamsul Arifin. Jauh sebelumnya, kita kenal pahlawan masyhur Raden Mas Antawirya yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Tjut Meutia, dan lainnya. Bahkan, Presiden pertama RI Soekarno juga pernah mengenyam pendidikan pesantren pada masa mudanya.
Jauh sebelum kemerdekaan (abad 17 hingga awal abad 19), kita juga menemukan banyak pujangga dan sastrawan sekaligus ulama besar yang dikenal dunia dan lahir dari rahim pesantren sebagai kaum santri. Tercatat nama-nama sekaliber Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yussuf Makassari, Abdul Samad Palimbani, Khatib Minangkabawi, Nawawi Bantani, Arsyad Banjari, dan lain-lain. Mereka adalah founding father pembaruan Islam di Nusantara. Karya-karya besar di bidang fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf, serta hasil kreasi intelektual mereka bukan hanya dalam skala domestik Nusantara, tapi juga sampai diakui di kawasan internasional.
Bahkan, jika ditarik lebih jauh lagi sesungguhnya sepak terjang kaum santri dalam membela kedaulatan Nusantara sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Pada 1512, misalnya, ketika embrio NKRI masih bernama kerajaan-kerajaan. Kerajaan Demak, Adipati Unus yang merupakan santri didikan Wali Sanga dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.
Sekian banyak tokoh besar yang disebut adalah sedikit dari mereka yang ditempa pendidikan pesantren. Lembaga menurut banyak kalangan masih dianggap tradisional, tapi mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, baik itu sosial, budaya, hingga permasalahan ekonomi.
Tulang Punggung NKRI Ulasan tersebut menggambarkan betapa peran pesantren dan kaum santri tidak pernah jeda dalam upaya menjaga NKRI, bahkan bisa dikatakan santri adalah tulang punggung NKRI. Perannya bukan saja sebagai juru dakwah, penjaga moral, pengader masyarakat dan pemimpin, melainkan juga turut berpartisipasi dalam memberikan fondasi bagi lahirnya negara bangsa dan fondasi bagi Indonesia merdeka.
Kaum santri memimpin perlawanan, memimpin pergerakan, bahkan memimpin negara ini mencapai kemerdekaan. Kaum santrilah yang mencetuskan Resolusi Jihad (KH Hasyim Asyari) dan bergerak mengusir penjajah di atas landasan "berperang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah". Kaum santrilah yang melahirkan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dasar negara dan konstitusi yang menjadikan Indonesia negara dijiwai oleh nilai-nilai agama yang diakui dan bukan negara sekuler. Kaum santrilah yang mencetuskan dan mengokohkan Indonesia (kembali) sebagai negara kesatuan melalui "Mosi Integral" Muhammad Natsir setelah sebelumnya ‘dipecah-pecah’ menjadi negara federal oleh Belanda. Dalam fase berikutnya, kaum santri ikut mewarnai kebijakan negara melalui partisipasi mereka dalam pemerintahan dan parlemen. Sementara sebagian yang lain mengabdikan diri dalam mencetak generasi dengan mendirikan ormas pergerakan Islam dan membangun pesantren di seantero negeri.
Kaum santri bukan sekadar pribadi dan/atau institusi, tapi dia adalah spirit tentang kecintaan pada negeri. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa kemerdekaan Indonesia dijiwai oleh spirit kaum santri. Bangunan Indonesia merdeka pun diilhami spirit kaum santri. Hingga dasar negara Pancasila secara sempurna mencerminkan nilai-nilai kaum santri sejak sila pertama hingga kelima. Pesantren bukan saja sebagai institusi pendidikan, tetapi merupakan institusi pengaderan pejuang dan pemimpin bangsa. Robert W. Hefner (1993) dan Bahtiar Effendy (1995) dengan tegas mengatakan bahwa santri sebagai sosok yang lahir dari pesantren merupakan salah satu sarana pendukung kemandirian dan pembaruan di bangsa ini.
Dengan bacaan sejarah tersebut, tegas kita katakan bahwa Indonesia merdeka adalah warisan kaum santri pejuang. Karena itu, sudah selayaknya umat Islam merasa memiliki dan bertanggung jawab atas negeri ini dengan sepenuh hati dan segenap cinta untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Sudah selayaknya pula bangsa ini mengapresiasi dan menempatkan kaum santri pada posisi yang terhormat. Salah besar jika ada persepsi atau opini meragukan kadar nasionalisme kaum santri dalam membela negeri ini. Bagaimana mungkin mereka akan berkhianat kepada negeri yang susah payah mereka perjuangkan sendiri? Tuduhan yang dialamatkan kepada kaum santri itu jelas tidak masuk akal atau bahkan perlu kita waspadai sebagai upaya pecah belah bangsa Indonesia agar tercerabut dari akar sejarahnya.
Data Kementerian Agama (2012/2013) menyebutkan jumlah pesantren di Indonesia mencapai 27.230 pesantren dengan jumlah 3,65 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi pesantren di Indonesia dengan sistemnya dalam mencetak generasi tangguh dan memproduksi tokoh pemimpin masa depan. Selain itu, ke depan pendidikan di pesantren akan semakin berkembang seiring perkembangan dunia pendidikan dan tantangan global, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkarakter.
Kita berharap kebijakan negara terhadap pendidikan pesantren semakin kuat. Kita apresiasi pemerintah saat ini yang telah mencanangkan Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Hal ini tentu harus kita sambut sebagai momentum untuk merevitalisasi peran kaum santri. Revitalisasi peran ini dirasakan semakin penting bahkan mendesak untuk mengatasi berbagai problematika negeri ini. Wallahua’lam bisshawab.
(mhd)