Beri Masyarakat Kepercayaan untuk Kelola Hutan

Selasa, 24 Oktober 2017 - 06:07 WIB
Beri Masyarakat Kepercayaan...
Beri Masyarakat Kepercayaan untuk Kelola Hutan
A A A
Herryadi
Direktur Lembaga Ekolabel Indonesia

PRESIDEN Joko Widodo telah bertekad memberi prioritas pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa seperti tertuang dalam Nawacita. Ini menjadi harapan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang kerap dipinggirkan dan diabaikan.

Saat ini masyarakat di beberapa tempat di Indonesia telah berhasil memprakarsai dan mempraktikkan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML). Pada sebagian masyarakat, tujuan ekonomi dicapai dengan menerapkan cara berproduksi yang berkelanjutan dengan memperhitungkan siklus pemulihan sumber daya hutan.

Mereka paham dan terampil melindungi hutan agar daya dukung tanah, tata air, dan lingkungan hidup secara keseluruhan terjaga. Mereka juga pandai menata hubungan antarkelompok masyarakat yang hidup di dalam dan bergantung pada sumber daya hutan, bahkan memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Keberhasilan juga dicontohkan oleh masyarakat lain di mana perlindungan hutan, atau bahkan konservasi hutan menjadi tujuan utama, dan manfaat ekonomi dari hutan tidak menjadi prioritas.

Namun, keberhasilan tersebut baru sebatas praktik di tingkat masyarakat, sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan peluang perhutanan sosial di 12,7 juta hektare kawasan, dan di 3.603.111 ha hutan adat. Penyebab utama adalah minimalisnya pelaksanaan kebijakan yang menciptakan prakondisi berupa kejelasan legalitas dan legitimasi atas alas hak untuk mengelola hutan berbasis masyarakat. Persoalan ini, dari satu sisi dilihat sebagai ketidakadilan pemenuhan hak kontrol dan hal akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Dari sisi lain, ketika negara tidak memberikan kepastian alas hak, berarti melemahkan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagai sebuah usaha jangka panjang.

PHBML yang Berhasil
Penerapan gagasan kelestarian pengelolaan hutan pada model PHBM dalam tulisan ini berlaku baik pada unit pengelolaan yang berada di kawasan hutan negara maupun hutan hak yang meliputi hutan adat dan hutan rakyat. Bukti bahwa masyarakat berkinerja baik dalam mengelola hutan secara lestari dapat ditunjukkan dengan keberhasilan mereka menempuh proses sertifikasi. Dalam hal ini, skema sertifikasi yang dipercaya dapat dijadikan bukti keberhasilan adalah PHBML-LEI, FSC Smallholder, dan skema sertifikasi karbon PlanVivo.

Secara umum tiga skema tersebut merupakan bagian dari sistem sertifikasi yang dibangun secara terbuka dan multipihak, penilaian atau audit dilakukan oleh pihak ketiga yang terakreditasi, dan menjalankan mekanisme pemantauan oleh publik. Standard disusun dalam prinsip, kriteria, dan indikator yang ketat untuk memastikan kinerja kelestarian secara substantif dipenuhi oleh unit manajemen.

Masyarakat pengelola hutan rakyat yang telah memenuhi standar dan mendapat sertifikat PHBML-LEI adalah Komunitas Petani Selopuro dan Komunitas Petani Sumberejo pada 2004. Selanjutnya untuk hutan adat, sertifikasi PHBML diberikan kepada unit manajemen Rumah Panjae Menua Sungai Utik seluas 9.453 hektare. Sementara hutan kemasyarakatan (HKm) diterapkan pada 2013 di dua unit yakni Koperasi Tani Wana Lestari Sambelia dan Koperasi Maju Bersama Santong dengan luas total 990 hektare.

Sertifikasi Forest Steward­ship Council (FSC) yang telah dikenal baik di pasar internasional produk kayu dan lebih menyasar unit manajemen hutan skala besar juga memiliki skema sertifikasi untuk hutan tanaman skala kecil. Saat ini di Indonesia untuk model PHBML terdapat lima unit hutan rakyat besertifikat FSC dengan luas mencapai 2.535 hektare. Skema sertifikasi lain yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan model PHBML adalah sertifikasi karbon PlanVivo yang cukup dikenal di pasar perdagangan karbon. Hingga saat ini terdapat delapan unit pengelola hutan berbasis masyarakat dengan luasan 38.714 hektare yang telah besertifikat.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa masyarakat pada generasi saat ini telah dan diproyeksikan dalam jangka panjang terus berupaya menjaga keberlanjutan. Termasuk dengan kesadaran agar masyarakat pada generasi anaknya, generasi cucunya, dan generasi berikutnya tetap dapat menikmati seluruh manfaat hutan. Upaya dilakukan secara terencana dengan praktik yang memenuhi prinsip-prinsip utama pengertian berkelanjutan.

Pertama, masyarakat memanen kayu dan hasil hutan lainnya dengan mengikuti hasil perhitungan jatah pemanenan untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya hutan. Kedua, masyarakat mempertahankan fungsi ekologis hutan dengan cara-cara pemanenan yang ramah lingkungan disertai kegiatan melindungi areal sekitar mata air, pinggiran sungai, daerah berlereng curam, ekosistem khas, serta melarang perburuan satwa dilindungi.

Selanjutnya, masyarakat pengelola memastikan usaha pengelolaan hutan memberikan manfaat sosial dengan terlebih dahulu melakukan proses penyelesaian bilamana ada sengketa lahan dan sengketa lainnya. Usaha pengelolaan hutan juga dipastikan mendukung peningkatan kesejahteraan anggota kelompok dan keluarganya, memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitarnya dalam perbaikan prasarana sosial dan kesempatan berusaha dengan distribusi manfaat yang lebih adil.

Prakondisi yang Minimalis
Keberhasilan pada tingkat masyarakat sebagaimana disebutkan di atas menunjukkan bahwa apabila masyarakat memiliki kepastian hak atas lahan atau izin pengelolaan, masyarakat memiliki motivasi yang kuat untuk mengelola hutan dalam jangka panjang. Apabila pemenuhan hak atau pemberian izin berjalan lambat, terjadi ketidakselarasan antarbagian dan inkonsistensi, yang tercipta adalah kondisi ketidakpastian tentang siapa yang berhak, berhak untuk melakukan apa, dan untuk jangka waktu berapa lama. Kondisi ini yang seringkali memunculkan konflik antarpihak, termasuk masyarakat dan memicu eksploitasi bahkan perusakan sumber daya hutan.

Pelaksanaan program perhutanan sosial (PS) saat ini sudah terdapat progres dalam formulasi kebijakan. Namun, dalam penerapannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat sendiri bahwa sejak 2007 hingga 2014 baru menetapkan areal perhutanan sosial seluas 449.104,23 hektare, kemudian dipercepat dalam periode 2014 hingga 2017 ini dengan mendistribusikan 604.373,26 hektare. Dengan kecepatan kira-kira 200.000 hektare per tahun tersebut, kementerian tetap menyatakan bahwa target 12,7 juta hektare alokasi perhutanan sosial dapat segera tercapai. Kenyataannya angka-angka tersebut menunjukkan masih sangat sedikit hutan berbasis masyarakat yang memiliki legalitas. Hal ini mempersulit proses lebih lanjut untuk memperoleh legitimasi berupa kejelasan batas-batas wilayah yang diakui para pihak dan untuk mengurus legalitas usaha.

Keberhasilan PHBML pada tingkat masyarakat juga dipacu oleh motivasi ekonomi dari kegiatan usaha memproduksi barang dan jasa dari hutan. Karena itu, pemerintah juga perlu menciptakan prakondisi untuk memudahkan masyarakat meningkatkan usaha produktifnya. Keterbukaan akses terhadap pendanaan untuk investasi skala kecil dan fasilitasi hubungan dengan pilihan pasar yang lebih luas menjadi hal yang penting. Persoalan tersebut secara bersamaan menjadi hambatan bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas ekonominya.

Pada prakondisi yang cukup baik, motivasi ekonomi sinergis dengan upaya pemulihan lingkungan hidup. Pada contoh hutan rakyat di Pulau Jawa ditemukan pengaruhnya pada peningkatan kerapatan pohon dan penutupan tajuk yang hampir mendekati kondisi di hutan alam. Berkaitan dengan hal tersebut ditemukan juga perbaikan tata air dengan meredam aliran puncak sehingga mengurangi risiko banjir dan meningkatkan simpanan air pada saat musim hujan sehingga persediaan air lebih terjamin. Khususnya pada hutan rakyat yang meluas di wilayah hulu, manfaat perbaikan tersebut juga dinikmati oleh masyarakat di wilayah hilir dalam bentang alam yang sama.

Dengan demikian, pemerintah terutama pemerintah pusat harus lebih bergegas memberi kepercayaan kepada masyarakat menciptakan prakondisi dasar dan pendukung sebagaimana disarankan. Apabila tidak, negara akan kehilangan kesempatan mencapai tujuan pembangunan yang dapat dikontribusikan dari peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat melalui usaha pemanfaatan sumber daya hutan.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0642 seconds (0.1#10.140)