Menggenjot Pembangunan Desa

Kamis, 19 Oktober 2017 - 14:11 WIB
Menggenjot Pembangunan...
Menggenjot Pembangunan Desa
A A A
JAKARTA - Membangun dari desa merupakan salah satu prioritas program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Nawa Cita ketiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Penguatan desa-desa dilakukan dengan mengucurkan dana desa yang langsung bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Realisasi dana desa ini sudah memasuki tahun ketiga. Pada 2015, desa mendapat kucuran dari APBN sebesar Rp20,67 triliun. Kemudian pada 2016 naik menjadi Rp46,98 triliun dan tahun ini sebesar Rp60 triliun.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan bahwa selama tiga tahun ini, desa melakukan pembangunan yang sangat masif. Hal ini tidak lepas dari dana desa yang terus meningkat setiap tahunnya. "Belum pernah ada pembangunan di desa semasif ini dalam sejarah Indonesia. Itu terjadi karena bussiness model-nya benar," katanya.

(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Eko mengungkapkan, dalam tiga tahun ini setidaknya terbangun lebih dari 120.000 km jalan, 1.960 km jembatan, 5.220 unit pasar desa, pembangunan tambatan perahu sebanyak 5.116 unit, pembangunan embung 2.047 unit, dan pembangunan irigasi sebanyak 97.176 unit. Selain itu juga pembangunan penahan tanah sebanyak 291.393 unit, pembangunan sarana air bersih 32.711 unit, pembangunan MCK 82.356 unit, pembangunan poliklinik desa 6.041 unit, pembangunan sumur 45.865 unit.

"Pembangunan drainase 590.371 unit, pembangunan PAUD 21.357 unit, pembangunan posyandu 13.973 unit, BUMDes 21.811 unit, dan sarana olahraga sebanyak 2.366 unit," paparnya.

Bahkan menurut dia, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM) di 4.345 desa, dana desa memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan desa. Salah satunya dalam hal perkembangan status desa. Misalnya pada 2015, dari 4.345 desa hanya ada 3 desa mandiri. Angka ini meningkat menjadi 72 desa mandiri di tahun 2016. Desa maju juga meningkat dari 212 di tahun 2015 menjadi 687 di tahun 2016. Lalu, dari 1.675 desa berkembang di tahun 2015 meningkat menjadi 2.029 di tahun 2016.

"Sampling ini menunjukkan bahwa target RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) sampai tahun 2019 sudah tercapai. Tapi kita tunggu data formalnya dari BPS yang sedang mengadakan survei pembangunan desa," ungkapnya.

Lebih lanjut Eko mengatakan pemerintah masih akan memfokuskan pada empat program unggulan yaitu program unggulan kawasan pedesaan, pembuatan embung, BUMDes, dan sarana olahraga desa. Tahun ini ada 23 kabupaten yang sudah memulai menjalankan program unggulan tersebut dan disusul 48 kabupaten masih dalam proses. Dia berharap program ini bias menjadi gerakan nasional.

"Tentunya disamping untuk pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas infrastruktur dasar desa," tandasnya.

Mengenai tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan desa, Eko mengatakan hal tersebut akan selalu ada. Saat ini yang menjadi tantangan antara lain peningkatan kapasitas aparat desa, mengajak komitmen kepala daerah, menyatukan visi semua stakeholeder, dan melawan budaya korupsi.

"Karenanya perlu partisipsi semua pihak untuk ikut mengawasi. Termasuk dari masyarakat dan media. Laporkan ke satgas dana desa di 1500040 kalau ada indikasi penyelewengan atau indikasi kriminalisasi aparat desa," ujarnya.

Meski demikian, Eko tetap optimistis pembangunan desa akan dapat mendorong Indonesia ke arah yang lebih baik. Apalagi hal ini didukung penuh oleh presiden langsung. "Sesuai dengan komitmen beliau (presiden), membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan," kata Eko.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pembina pemerintah daerah juga terus melakukan upaya peningkatan kapasitas aparat desa. Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pemerintahan Desa (Pemdes) Kemendagri Nata Irawan mengatakan, dalam tiga tahun ini pihaknya harus melatih perangkat desa di 74.910 desa seluruh Indonesia.

"Kami targetkan satu desa ada 10 orang. Tapi saat ini baru tiga orang yaitu kepala desa dan dua perangkatnya," ujarnya.

Mulai tahun 2015 sampai tahun ini telah dilatih sebanyak 147.325 aparat desa. Terdiri atas 48.144 kepala desa, 44.233 sekretaris desa, 43.214 bendahara desa, dan 2.942 aparat desa lain, serta 54 pejabat kades. Termasuk juga 8.738 aparat kecamatan yang bertugas sebagai pendamping aparat desa.

"Subtansi yang kami berikan adalah terkait manajemen pemerintahan desa, materi terkait menyusun peraturan desa, pengelolaan keuangan desa, perencanaan pembangunan desa. Ini sudah dilakukan di tahun ketiga,” ungkapnya.

Selain pelatihan, berbagai payung hukum juga telah diterbitkan dalam bentuk peraturan menteri dalam negeri (permendagri). Mulai permendagri tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, sampai permendagri tentang kerja sama desa. "Ini juga yang akan terus kita sosialisasikan kepada kepala desa dan aparat desa," paparnya.

Nata menilai, pasca pelatihan yang begitu masif bagi aparat desa, persoalan tata kelola pemerintahan desa sudah dapat diminimalisasi. Menurut dia, banyak desa yang sudah mulai mampu menyusun perencanaan pembangunan secara mandiri. "Dulu cukup sering desa hanya melakukan copy paste rencana pembangunan dengan desa lain. Sekarang saya kira sudah tidak," ungkapnya.

Ketua Komite I DPD, Ahmad Muqowam mengatakan, UU Desa lahir sebagai antitesis dari apa yang telah terjadi sebelumnya. "UU Desa ini bentuk keberpihakan kepada desa. Desa sebagai subjek pembangunan. Tapi hari ini nampaknya hal tersebut bukannya tercapai malah semakin menjauh," katanya.

Mantan ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa ini menilai, pemerintah dalam tiga tahun ini cenderung mengabaikan semangat UU Desa. Salah satu yang diabaikan adalah asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

"Di situ diberikan kewenangan desa untuk mengurus dirinya sendiri melalui musyawarah desa dan rembuk desa. Bukan semuanya diatur dari pusat," ungkapnya.

Saat ini, menurut dia, semua sudah diatur pusat termasuk terkait fokus pembangunan. Pengaturan-pengaturan ini seperti bentuk lain dari penyeragaman desa. Padahal, UU Desa sudah mengakui adanya hak asal-usul desa.

"Pemerintah harusnya mengeluarkan sebuah pedoman bukan pengaturan. Kalau pengaturan hanya akan ada penyeragaman lagi," paparnya.

Selain pelaksanaan UU Desa yang cenderung top down, Muqowam juga mengkritisi pembangunan desa yang cenderung bersifat material. Dia menilai selama tiga tahun pembangunan infrastruktur yang terus digencarkan. Sementara persoalan desa tidak hanya selalu pembangunan fisik.

"Tahun pertama memang difokuskan untuk infrastruktur. Tapi pemerintah hari ini lebih mengandalkan infrastruktur. Apakah bisa menyejahterakan masyarakat? Itu belum tentu. Ini masih harus didiskusikan lagi," tandasnya.

Muqowam pun mengatakan UU Desa tidak hanya mengamanatkan adanya pembangunan infrastruktur semata. Perlu juga dibangun sebuah kehidupan di desa. Dalam hal ini bagaimana membuat masyarakat desa berdaya secara sosial, ekonomi, dan budaya. "Persepsi pemerintah harus dibenarkan. Pemberdayaan desa ini penting terutama untuk sumber daya manusianya. Pelatihan saja tidak cukup karena hanya untuk aparat dan pendamping desa. Bagaimana dengan masyarakat desanya?" tanyanya.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sujito mengatakan, adanya dana desa telah memberikan dampak baik di beberapa aspek. Mulai dari pembangunan sarana prasarana sampai peningkatan layanan publik. "Saya kira ada beberapa capaian positif berkaitan dengan dana desa. Banyak desa yang berkembang," ungkapnya.

Meski demikian, dia menilai ada hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Salah satunya adalah regulasi dan halhal lain yang berkaitan dengan manajemen tata kelola dana desa. Menurut dia, persoalan-persoalan dalam implementasi dana desa tidaklah lepas dari sumbangsih pemerintah pusat dan kabupaten.

"Sekarang ini kalau evaluasi soal kapasitas, moralitas, dan disorientasi yang terjadi di desa itu akarnya dari pusat dan kabupaten/kota," ujarnya.

Menurut dia, tiga kementerian yaitu Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus duduk bersama. Tiga kementerian tersebut belum terlihat solid dalam mengimplementasikan UU Desa dan dana desa.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1538 seconds (0.1#10.140)