Jejaring Akademik dan Arah Mutu Pendidikan Kita
A
A
A
Cahyo Seftyono
Dosen Ilmu Politik, Editor in Chief Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review-Unnes
BEBERAPA waktu terakhir ini, dunia akademik Indonesia disuguhi riuh rendah kegaduhan berbagai macam berita. Kabar positif yang juga dibarengi dengan informasi-informasi negatif. Sebelumnya, dimulai dari Kemenristek-Dikti mengeluarkan pernyataan yang cukup membanggakan. Secara kuantitas, jumlah publikasi ilmiah Indonesia di ASEAN saat ini menempati peringkat ke-3 di bawah Malaysia dan Singapura.
Dengan asumsi peningkatan yang sama, dalam waktu dekat jumlah itu akan melampaui Singapura yang ada di posisi ke-2. Sementara kita tidak perlu berbicara dulu soal impact, paling tidak capaian ini menunjukkan bahwa geliat akademik: riset dan publikasi kita mulai muncul.
Sayangnya kabar yang menggairahkan itu tercoreng dengan santernya skandal akademik di sebuah PTN, di mana terdapat oknum yang bermudah-mudah dalam proses akademik dan mengobral gelar bagi pihak-pihak yang berpikir pragmatis. Kondisi supply and demand yang tersaji sedemikian vulgar memang menjadikan gelar akademik menjadi sesuatu yang penting untuk didapatkan.
Tanpa menghargai proses ideal yang semestinya dijalani, orang bisa mendapatkan ijazah doktor untuk naik pangkat, untuk kampanye politik, dll. Kasus kedua yang sedang hangat masih berkenaan dengan ketidakjujuran akademik adalah cerita tentang mahasiswa Indonesia di Belanda yang meraih penghargaan dari banyak lembaga. Dengan segala ingar-bingar yang diciptakan mahasiswa tersebut, beberapa lembaga baik yang berkaitan dengan pemerintah maupun korporasi mencitrakan bahwa Indonesia memiliki penerus Prof BJ Habibie di bidang penerbangan. Persoalan muncul, karena segala prestasi yang disampaikan itu ternyata hanya rekayasa.
Tentu saja kita semua senang, jika jumlah doktor bahkan profesor di Indonesia meningkat. Jumlah akademisi level ini menentukan seberapa besar kemampuan akademisi kita untuk melakukan riset secara independen. Harapannya, tentu mutu riset dan publikasi kita juga meningkat.
Ini serupa dengan citra prestasi yang ditunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia baik di dalam negeri maupun luar negeri. Citra prestasi adalah bagian penting dari daya tawar mutu akademik bangsa Indonesia dalam pertarungan global. Akan tetapi, tentu tidak dengan cara tipu-tipu!
Era Teknologi Informasi, Ojo Ngapusi!
Di era kekinian, sebenarnya di Indonesia sudah mulai digiatkan optimalisasi IT dalam pelacakan prestasi dan kejujuran akademik, khususnya bagi sivitas akademika. Di tingkat nasional misalnya, Kemenristek-Dikti menginisiasi pembentukan jejaring Sinta. Sebuah sistem yang akan mampu melacak dan menampilkan profil akademik, baik dosen maupun peneliti. Bahkan lebih jauh, Sinta juga memetakan mutu penerbitan di dalam negeri, maupun prestasi kampus di bidang publikasi.
Dengan adanya Sinta, kita tidak lagi melihat prestasi kampus didasarkan pada akreditasi semata. Akan tetapi secara lebih substantif, bagi pihak terkait yang memiliki visi riset, apa yang ditampilkan di Sinta signifikan untuk diperhatikan. Sinta menghadirkan informasi seberapa banyak publikasi dan impact yang dihasilkan dari seorang penulis atau juga kampus.
Di sisi lain, terdapat juga klasterisasi publikasi terbitan kampus maupun lembaga independen di dalam negeri. Oleh karena itu, Sinta ini nantinya diharapkan bisa menjadi barometer baru dalam membaca peta mutu pendidikan berbasis riset di Indonesia. Sinta menjadi alternatif bagi banyak pihak yang tidak ingin terjebak dalam monopoli Scopus dan juga ISI Thomson. Karena olahan scoring datanya mengombinasikan berbagai indeksasi penerbitan tersebut, plus dengan Google Scholar.
Namun demikian, ada hal yang sedikit perlu diperbaiki. Memang betul bahwa Sinta yang diinisiasi Kemenristek-Dikti akan menjadi ujung tombak citra akademik. Kehadirannya yang memang baru saja diresmikan masih ada beberapa kekurangan di beberapa bagian. Sebut saja, identifikasi akademisi yang dapat dimasukkan dalam database Sinta.
Selain tidak mencakup semua penulis, ternyata hingga saat ini masih ada satu identitas yang terduplikasi. Seorang kolega misalnya, menemukan fotonya terpampang atas delapan nama, dengan delapan institusi berbeda. Di sisi lain, masih ada juga akademisi yang tidak atau belum terdaftar di Sinta.
Untuk yang satu ini, faktor akademisi yang bersangkutan ternyata juga menjadi penyebab belum maksimalnya pendataan akademisi di Sinta. Konsekuensi dari duplikasi dan tidak tercatatnya akademisi, tentu akan berimbas pada mutu data faktual dari kualitas akademisi dan kampus tempat mereka berkarya.
Lebih daripada itu, hal lain yang juga perlu dikritisi ketika akademisi menyadari bahwa Sinta adalah ujung tombak citra diri dan kampus yaitu bagaimana mereka jujur dalam mencitrakan diri mereka. Dalam beberapa kasus misalnya, serupa dengan rekayasa prestasi salah seorang mahasiswa yang saya sampaikan sebelumnya, beberapa akademisi bermudah-mudah dalam mengklaim karya.
Akademisi yang dituntut melakukan riset dan publikasi (khususnya), secara sembarangan memasukkan publikasi orang lain sebagai capaian mereka. Hal ini bisa terjadi, disebabkan klaim publikasi memang bisa dilakukan secara manual. Khususnya untuk publikasi yang diindeksi Scholar. Berbeda dengan Scopus dan ISI Thomson yang memang otomatis menjadi daftar publikasi kita ketika kita menerbitkan artikel di penerbit yang terindeksi keduanya.
Berkenaan dengan tipu-tipu ini juga, kampus gencar menggalakkan penerapan software pendeteksi plagiat, khususnya menggunakan Turnitin. Turnitin memang penting untuk mendeteksi orisinalitas karya akademisi. Di luar negeri, khususnya negara maju, kewajiban mengirimkan draf akademik ke laman Turnitin sudah menjadi hal lumrah.
Hanya di Indonesia, ini merupakan hal baru. Oleh karena itu, penggunaan Turnitin yang semula sebagai pendeteksi "kesamaan isi" perlu dipahami oleh pemakainya. Hal ini penting agar tidak terjadi salah paham atas kesamaan isi karya sehingga dihakimi sebagai plagiasi. Karena bagaimanapun, mesin pendeteksi semacam ini memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi karya yang sama oleh penulis yang sama, mengingat karakternya yang memang blind review.
Optimalisasi Kinerja Asosiasi dan Jejaring Akademik
Jika memang Sinta dan Turnitin yang saat ini menjadi dua faktor pengawal citra mutu akademik memiliki titik lemah yang krusial, lalu apa yang perlu dilakukan? Saya melihat bahwa apa yang terjadi dengan keduanya merupakan hal yang wajar dalam sistem IT. Sebagai mesin baik Sinta dan Turnitin memang memiliki kekurangan yang dalam standar IT selalu diperbaiki dengan versi-versi Beta. Akan tetapi, dalam konteks lingkungan akademik, terdapat elemen lain yang penting juga untuk didudukkan dalam menjaga mutu.
Asosiasi keilmuan misalnya, mereka menempati posisi strategi dalam pemetaan kajian yang dilakukan koleganya. Seperti AIPI, APSIPOL maupun CIPR dalam kajian Ilmu Politik. Kita juga memiliki jejaring pegiat akademik seperti Relawan Jurnal Indonesia. Menurut saya, keduanya merupakan aspek penting dalam komunitas akademik.
Di dalamnya memungkinkan orang dengan sesama minat akademik saling mengenal, baik secara personal maupun karyanya. Pada titik ini, jejaring akademik mampu memainkan peran sebagai kontrol mutu. Jejaring akademik dapat dimainkan sebagai subjek untuk mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan administrasi, input database, atau bahkan hoax prestasi.
Di dalam Sinta, sebenarnya proses ini sudah berjalan. Dengan sistem yang terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak, apa yang tersaji di Sinta dapat diketahui bersama. Jika ditemukan ada indikasi akademisi melakukan klaim karya, yang menemukan kecurangan dapat melaporkan ke admin untuk diverifikasi. Ini persis dengan apa yang dilakukan teman-teman TU Delft yang berhasil membongkar prestasi fiktif mahasiswa PhD yang mendapat penghargaan dari berbagai pihak.
Di sisi lain, jejaring akademik juga penting dalam mengawal kerja Turnitin. Bukan tidak mungkin, terdapat akademisi melakukan unggah artikel di satu media dan kemudian ketika dicek Turnitin, dianggap plagiat. Padahal, itu tulisan yang sama dengan penulis yang sama, dan salah satunya belum diterbitkan secara resmi. Komunitas akademik perlu terlibat dalam penyelesaian masalah demikian, karena merekalah yang mengetahui kompetensi dan karya koleganya yang serumpun.
Jejaring akademik dan negara juga perlu bekerja lebih keras untuk menjaga marwah dan mutu akademik. Kerja sama antara jejaring akademik dan Kemenristek-Dikti menjadi strategi untuk mengoptimalkan penggunaan Sinta bagi para akademisi dan peneliti. Kesepahaman dengan aktor lain seperti penegak hukum, juga perlu untuk merancang sanksi yang tegas, jelas, dan tepat bagi pelaku pelanggaran akademik sekaligus memberikan efek psikologis berupa efek jera.
Di sisi lain, kolaborasi ini juga untuk menghindari kesalahpahaman atas penggunaan teknologi yang semakin canggih. Sederhananya, jejaring akademik membantu meluruskan kabar, menjernihkan masalah, sekaligus mendukung program pemerintah untuk meningkatkan citra mutu akademik Indonesia di kancah global.
Dosen Ilmu Politik, Editor in Chief Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review-Unnes
BEBERAPA waktu terakhir ini, dunia akademik Indonesia disuguhi riuh rendah kegaduhan berbagai macam berita. Kabar positif yang juga dibarengi dengan informasi-informasi negatif. Sebelumnya, dimulai dari Kemenristek-Dikti mengeluarkan pernyataan yang cukup membanggakan. Secara kuantitas, jumlah publikasi ilmiah Indonesia di ASEAN saat ini menempati peringkat ke-3 di bawah Malaysia dan Singapura.
Dengan asumsi peningkatan yang sama, dalam waktu dekat jumlah itu akan melampaui Singapura yang ada di posisi ke-2. Sementara kita tidak perlu berbicara dulu soal impact, paling tidak capaian ini menunjukkan bahwa geliat akademik: riset dan publikasi kita mulai muncul.
Sayangnya kabar yang menggairahkan itu tercoreng dengan santernya skandal akademik di sebuah PTN, di mana terdapat oknum yang bermudah-mudah dalam proses akademik dan mengobral gelar bagi pihak-pihak yang berpikir pragmatis. Kondisi supply and demand yang tersaji sedemikian vulgar memang menjadikan gelar akademik menjadi sesuatu yang penting untuk didapatkan.
Tanpa menghargai proses ideal yang semestinya dijalani, orang bisa mendapatkan ijazah doktor untuk naik pangkat, untuk kampanye politik, dll. Kasus kedua yang sedang hangat masih berkenaan dengan ketidakjujuran akademik adalah cerita tentang mahasiswa Indonesia di Belanda yang meraih penghargaan dari banyak lembaga. Dengan segala ingar-bingar yang diciptakan mahasiswa tersebut, beberapa lembaga baik yang berkaitan dengan pemerintah maupun korporasi mencitrakan bahwa Indonesia memiliki penerus Prof BJ Habibie di bidang penerbangan. Persoalan muncul, karena segala prestasi yang disampaikan itu ternyata hanya rekayasa.
Tentu saja kita semua senang, jika jumlah doktor bahkan profesor di Indonesia meningkat. Jumlah akademisi level ini menentukan seberapa besar kemampuan akademisi kita untuk melakukan riset secara independen. Harapannya, tentu mutu riset dan publikasi kita juga meningkat.
Ini serupa dengan citra prestasi yang ditunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia baik di dalam negeri maupun luar negeri. Citra prestasi adalah bagian penting dari daya tawar mutu akademik bangsa Indonesia dalam pertarungan global. Akan tetapi, tentu tidak dengan cara tipu-tipu!
Era Teknologi Informasi, Ojo Ngapusi!
Di era kekinian, sebenarnya di Indonesia sudah mulai digiatkan optimalisasi IT dalam pelacakan prestasi dan kejujuran akademik, khususnya bagi sivitas akademika. Di tingkat nasional misalnya, Kemenristek-Dikti menginisiasi pembentukan jejaring Sinta. Sebuah sistem yang akan mampu melacak dan menampilkan profil akademik, baik dosen maupun peneliti. Bahkan lebih jauh, Sinta juga memetakan mutu penerbitan di dalam negeri, maupun prestasi kampus di bidang publikasi.
Dengan adanya Sinta, kita tidak lagi melihat prestasi kampus didasarkan pada akreditasi semata. Akan tetapi secara lebih substantif, bagi pihak terkait yang memiliki visi riset, apa yang ditampilkan di Sinta signifikan untuk diperhatikan. Sinta menghadirkan informasi seberapa banyak publikasi dan impact yang dihasilkan dari seorang penulis atau juga kampus.
Di sisi lain, terdapat juga klasterisasi publikasi terbitan kampus maupun lembaga independen di dalam negeri. Oleh karena itu, Sinta ini nantinya diharapkan bisa menjadi barometer baru dalam membaca peta mutu pendidikan berbasis riset di Indonesia. Sinta menjadi alternatif bagi banyak pihak yang tidak ingin terjebak dalam monopoli Scopus dan juga ISI Thomson. Karena olahan scoring datanya mengombinasikan berbagai indeksasi penerbitan tersebut, plus dengan Google Scholar.
Namun demikian, ada hal yang sedikit perlu diperbaiki. Memang betul bahwa Sinta yang diinisiasi Kemenristek-Dikti akan menjadi ujung tombak citra akademik. Kehadirannya yang memang baru saja diresmikan masih ada beberapa kekurangan di beberapa bagian. Sebut saja, identifikasi akademisi yang dapat dimasukkan dalam database Sinta.
Selain tidak mencakup semua penulis, ternyata hingga saat ini masih ada satu identitas yang terduplikasi. Seorang kolega misalnya, menemukan fotonya terpampang atas delapan nama, dengan delapan institusi berbeda. Di sisi lain, masih ada juga akademisi yang tidak atau belum terdaftar di Sinta.
Untuk yang satu ini, faktor akademisi yang bersangkutan ternyata juga menjadi penyebab belum maksimalnya pendataan akademisi di Sinta. Konsekuensi dari duplikasi dan tidak tercatatnya akademisi, tentu akan berimbas pada mutu data faktual dari kualitas akademisi dan kampus tempat mereka berkarya.
Lebih daripada itu, hal lain yang juga perlu dikritisi ketika akademisi menyadari bahwa Sinta adalah ujung tombak citra diri dan kampus yaitu bagaimana mereka jujur dalam mencitrakan diri mereka. Dalam beberapa kasus misalnya, serupa dengan rekayasa prestasi salah seorang mahasiswa yang saya sampaikan sebelumnya, beberapa akademisi bermudah-mudah dalam mengklaim karya.
Akademisi yang dituntut melakukan riset dan publikasi (khususnya), secara sembarangan memasukkan publikasi orang lain sebagai capaian mereka. Hal ini bisa terjadi, disebabkan klaim publikasi memang bisa dilakukan secara manual. Khususnya untuk publikasi yang diindeksi Scholar. Berbeda dengan Scopus dan ISI Thomson yang memang otomatis menjadi daftar publikasi kita ketika kita menerbitkan artikel di penerbit yang terindeksi keduanya.
Berkenaan dengan tipu-tipu ini juga, kampus gencar menggalakkan penerapan software pendeteksi plagiat, khususnya menggunakan Turnitin. Turnitin memang penting untuk mendeteksi orisinalitas karya akademisi. Di luar negeri, khususnya negara maju, kewajiban mengirimkan draf akademik ke laman Turnitin sudah menjadi hal lumrah.
Hanya di Indonesia, ini merupakan hal baru. Oleh karena itu, penggunaan Turnitin yang semula sebagai pendeteksi "kesamaan isi" perlu dipahami oleh pemakainya. Hal ini penting agar tidak terjadi salah paham atas kesamaan isi karya sehingga dihakimi sebagai plagiasi. Karena bagaimanapun, mesin pendeteksi semacam ini memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi karya yang sama oleh penulis yang sama, mengingat karakternya yang memang blind review.
Optimalisasi Kinerja Asosiasi dan Jejaring Akademik
Jika memang Sinta dan Turnitin yang saat ini menjadi dua faktor pengawal citra mutu akademik memiliki titik lemah yang krusial, lalu apa yang perlu dilakukan? Saya melihat bahwa apa yang terjadi dengan keduanya merupakan hal yang wajar dalam sistem IT. Sebagai mesin baik Sinta dan Turnitin memang memiliki kekurangan yang dalam standar IT selalu diperbaiki dengan versi-versi Beta. Akan tetapi, dalam konteks lingkungan akademik, terdapat elemen lain yang penting juga untuk didudukkan dalam menjaga mutu.
Asosiasi keilmuan misalnya, mereka menempati posisi strategi dalam pemetaan kajian yang dilakukan koleganya. Seperti AIPI, APSIPOL maupun CIPR dalam kajian Ilmu Politik. Kita juga memiliki jejaring pegiat akademik seperti Relawan Jurnal Indonesia. Menurut saya, keduanya merupakan aspek penting dalam komunitas akademik.
Di dalamnya memungkinkan orang dengan sesama minat akademik saling mengenal, baik secara personal maupun karyanya. Pada titik ini, jejaring akademik mampu memainkan peran sebagai kontrol mutu. Jejaring akademik dapat dimainkan sebagai subjek untuk mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan administrasi, input database, atau bahkan hoax prestasi.
Di dalam Sinta, sebenarnya proses ini sudah berjalan. Dengan sistem yang terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak, apa yang tersaji di Sinta dapat diketahui bersama. Jika ditemukan ada indikasi akademisi melakukan klaim karya, yang menemukan kecurangan dapat melaporkan ke admin untuk diverifikasi. Ini persis dengan apa yang dilakukan teman-teman TU Delft yang berhasil membongkar prestasi fiktif mahasiswa PhD yang mendapat penghargaan dari berbagai pihak.
Di sisi lain, jejaring akademik juga penting dalam mengawal kerja Turnitin. Bukan tidak mungkin, terdapat akademisi melakukan unggah artikel di satu media dan kemudian ketika dicek Turnitin, dianggap plagiat. Padahal, itu tulisan yang sama dengan penulis yang sama, dan salah satunya belum diterbitkan secara resmi. Komunitas akademik perlu terlibat dalam penyelesaian masalah demikian, karena merekalah yang mengetahui kompetensi dan karya koleganya yang serumpun.
Jejaring akademik dan negara juga perlu bekerja lebih keras untuk menjaga marwah dan mutu akademik. Kerja sama antara jejaring akademik dan Kemenristek-Dikti menjadi strategi untuk mengoptimalkan penggunaan Sinta bagi para akademisi dan peneliti. Kesepahaman dengan aktor lain seperti penegak hukum, juga perlu untuk merancang sanksi yang tegas, jelas, dan tepat bagi pelaku pelanggaran akademik sekaligus memberikan efek psikologis berupa efek jera.
Di sisi lain, kolaborasi ini juga untuk menghindari kesalahpahaman atas penggunaan teknologi yang semakin canggih. Sederhananya, jejaring akademik membantu meluruskan kabar, menjernihkan masalah, sekaligus mendukung program pemerintah untuk meningkatkan citra mutu akademik Indonesia di kancah global.
(whb)