NPI Catat Surplus Lagi
A
A
A
Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi nasional semakin membaik dalam dua kuartal terakhir ini. Dengan melihat kecenderungan positif tersebut, pemerintah diliputi rasa percaya diri yang tinggi bahwa pertumbuhan ekonomi domestik bakal lebih tinggi dari prediksi dua lembaga internasional, yakni International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank). Pergerakan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dibeberkan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution semakin mendekati 5,4% hingga akhir tahun ini. Pernyataan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu senada dengan proyeksi IMF yang menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 5,2%.
Kalau pemerintah dan IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, sebaliknya Bank Dunia mengoreksi dari proyeksi sebelumnya pada kisaran 5,2% menjadi sekitar 5,1%. Koreksi Bank Dunia terhadap pertumbuhan ekonomi tak membuat pemerintah menyimpan rasa khawatir. Pasalnya, koreksi tersebut salah satunya didasarkan pada kebijakan pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga akhir tahun ini. Sementara pemerintah mengklaim bahwa arus investasi semakin kuat, disusul konsumsi rumah tangga yang kian lancar, kinerja ekspor yang mulai berotot dan impor semakin menipis, serta belanja pemerintah berputar terus menjelang akhir tahun ini. Meski demikian, pemerintah mengakui pertumbuhan penyaluran kredit masih lambat atau sekitar 8% hingga 9%, padahal pemerintah menargetkan dua digit lebih.
Memang sangat disayangkan pertumbuhan penyaluran kredit yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi di luar prediksi. Namun, pemerintah cukup terobati dengan perkembangan kinerja Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang semakin kinclong . Publikasi teranyar Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan kinerja NPI per September 2017 mencatat surplus sebesar USD1,76 miliar. Perolehan angka surplus NPI tersebut mengalahkan angka surplus pada Agustus lalu yang tercatat sebesar USD1,76 miliar. Dari mana angka surplus NPI pada September itu meningkat, sebagaimana dijelaskan Kepala BPS Suhariyanto, dihasilkan dari surplus nonmigas yang tercetak sebesar USD2,26 miliar. Sebaliknya sektor migas mengalami defisit USD0,50 miliar.
Lebih detail BPS merinci nilai ekspor pada September 2017 mencapai sebesar USD14,54 miliar, sedangkan nilai impor sekitar USD12,78 miliar. Nilai ekspor September 2017 memang mengalami penurunan sekitar 4,51% dibandingkan pada Agustus 2017 lalu. Namun, dibandingkan periode sama pada tahun lalu terjadi peningkatan sekitar 15,60%. Sedangkan nilai impor September 2017 mengalami penurunan sekitar 5,39% dibandingkan pada Agustus 2017. Adapun nilai ekspor secara kumulatif untuk periode Januari-September 2017 sebesar USD123,36 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 17,36% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Sementara nilai impor secara kumulatif sepanjang periode Januari hingga September 2017 tercatat sebesar USD112,49 miliar atau naik sekitar 13,97% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Dilihat dari sumber impor ternyata China menduduki urutan pertama sekitar 26%, menyusul Jepang sekitar 11,60% , dan Thailand sekitar 7,24%. Sebaliknya, adapun tujuan utama ekspor Indonesia yang mencapai USD1,89 miliar pada September 2017 adalah China. Secara kumulatif sepanjang Januari hingga September 2017 total nilai ekspor ke China tercatat sebesar USD14,57 miliar. Negara lain yang disasar ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat senilai USD1,46 miliar dan disusul Jepang sebesar USD1,31 miliar. Ketiga negara tujuan utama ekspor tersebut berkontribusi sekitar 35,57% dari total ekspor. Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China senilai USD10,23 miliar dan disusul Thailand sebesar USD2,84 miliar pada September 2017.
Sikap pemerintah begitu optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi di atas target yang dipatok cukup beralasan dengan melihat perkembangan NPI selalu memberi surplus. Faktor lain memberi angin segar adalah prediksi dari Asian Development Bank (ADB) bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia akan membaik seiring peningkatan ekspor sebagai dampak dari meningkatnya permintaan dari China menyusul proyeksi perekonomian negeri Tirai Bambu itu tumbuh pada kisaran 6,7% dari perkiraan semula sekitar 6,1% pada tahun ini. Meski demikian, pemerintah jangan sampai lengah sebab dalam sisa tiga bulan terakhir tahun ini masih banyak faktor yang bisa membalikkan keadaan, di antaranya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang makin lemah dan penerimaan pajak baru mencapai 60% dari target sebagai sumber belanja pemerintah.
Kalau pemerintah dan IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, sebaliknya Bank Dunia mengoreksi dari proyeksi sebelumnya pada kisaran 5,2% menjadi sekitar 5,1%. Koreksi Bank Dunia terhadap pertumbuhan ekonomi tak membuat pemerintah menyimpan rasa khawatir. Pasalnya, koreksi tersebut salah satunya didasarkan pada kebijakan pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga akhir tahun ini. Sementara pemerintah mengklaim bahwa arus investasi semakin kuat, disusul konsumsi rumah tangga yang kian lancar, kinerja ekspor yang mulai berotot dan impor semakin menipis, serta belanja pemerintah berputar terus menjelang akhir tahun ini. Meski demikian, pemerintah mengakui pertumbuhan penyaluran kredit masih lambat atau sekitar 8% hingga 9%, padahal pemerintah menargetkan dua digit lebih.
Memang sangat disayangkan pertumbuhan penyaluran kredit yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi di luar prediksi. Namun, pemerintah cukup terobati dengan perkembangan kinerja Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang semakin kinclong . Publikasi teranyar Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan kinerja NPI per September 2017 mencatat surplus sebesar USD1,76 miliar. Perolehan angka surplus NPI tersebut mengalahkan angka surplus pada Agustus lalu yang tercatat sebesar USD1,76 miliar. Dari mana angka surplus NPI pada September itu meningkat, sebagaimana dijelaskan Kepala BPS Suhariyanto, dihasilkan dari surplus nonmigas yang tercetak sebesar USD2,26 miliar. Sebaliknya sektor migas mengalami defisit USD0,50 miliar.
Lebih detail BPS merinci nilai ekspor pada September 2017 mencapai sebesar USD14,54 miliar, sedangkan nilai impor sekitar USD12,78 miliar. Nilai ekspor September 2017 memang mengalami penurunan sekitar 4,51% dibandingkan pada Agustus 2017 lalu. Namun, dibandingkan periode sama pada tahun lalu terjadi peningkatan sekitar 15,60%. Sedangkan nilai impor September 2017 mengalami penurunan sekitar 5,39% dibandingkan pada Agustus 2017. Adapun nilai ekspor secara kumulatif untuk periode Januari-September 2017 sebesar USD123,36 miliar. Angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 17,36% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Sementara nilai impor secara kumulatif sepanjang periode Januari hingga September 2017 tercatat sebesar USD112,49 miliar atau naik sekitar 13,97% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Dilihat dari sumber impor ternyata China menduduki urutan pertama sekitar 26%, menyusul Jepang sekitar 11,60% , dan Thailand sekitar 7,24%. Sebaliknya, adapun tujuan utama ekspor Indonesia yang mencapai USD1,89 miliar pada September 2017 adalah China. Secara kumulatif sepanjang Januari hingga September 2017 total nilai ekspor ke China tercatat sebesar USD14,57 miliar. Negara lain yang disasar ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat senilai USD1,46 miliar dan disusul Jepang sebesar USD1,31 miliar. Ketiga negara tujuan utama ekspor tersebut berkontribusi sekitar 35,57% dari total ekspor. Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China senilai USD10,23 miliar dan disusul Thailand sebesar USD2,84 miliar pada September 2017.
Sikap pemerintah begitu optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi di atas target yang dipatok cukup beralasan dengan melihat perkembangan NPI selalu memberi surplus. Faktor lain memberi angin segar adalah prediksi dari Asian Development Bank (ADB) bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia akan membaik seiring peningkatan ekspor sebagai dampak dari meningkatnya permintaan dari China menyusul proyeksi perekonomian negeri Tirai Bambu itu tumbuh pada kisaran 6,7% dari perkiraan semula sekitar 6,1% pada tahun ini. Meski demikian, pemerintah jangan sampai lengah sebab dalam sisa tiga bulan terakhir tahun ini masih banyak faktor yang bisa membalikkan keadaan, di antaranya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang makin lemah dan penerimaan pajak baru mencapai 60% dari target sebagai sumber belanja pemerintah.
(wib)